Menjaga Puncak, Mencegah Ibu Kota Dilanda Bencana

2 Maret 2018 0:14 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kengerian melanda Puncak awal Februari, Senin (5/2), ketika empat-lima titik di kawasan itu longsor berbarengan pada hari yang sama, memakan empat korban jiwa. Longsor itu akumulasi dari alih fungsi lahan yang awut-awutan. Bila dibiarkan, Puncak dan kawasan sekitarnya terancam dilanda bencana besar di masa depan.
ADVERTISEMENT
Jakarta jelas tak bakal luput dari amukan itu. Sebab kerusakan alam di Puncak, hulu daerah aliran Sungai Ciliwung, menyebabkan tanah tak mampu lagi menyerap air. Akibatnya, air hujan yang seharusnya terserap ke dalam tanah, jadi langsung masuk ke sungai.
Sungai pun tak mampu menerima limpahan volume air tersebut, dan ketinggian air di Bendungan Katulampa, Kota Bogor, akan naik hingga batas tertinggi--siaga 1. Artinya, warga DKI Jakarta harus siap menerima kiriman berkubik-kubik liter air.
Bendungan Katulampa siaga 1 (Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara)
“Air yang masuk ke sungai banyak sekali, dan ini berpotensi menimbulkan banjir di hilir. Kawasan Puncak itu hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung. Jadi DAS yang hulunya di Gunung Pangrango, menyusuri Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok, hingga hilir di Jakarta,” kata Ernan Rustiadi, Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
ADVERTISEMENT
Padahal, air tak bakal meluap demikian dahsyat apabila hutan dijaga, sehingga tanah dapat menyerap masuk air hujan, dan menyimpannya sebagai air tanah.
Kepada kumparan di kantornya, Bogor, Kamis (15/2), Ernan menjelaskan bahwa melimpahnya aliran Sungai Ciliwung bukanlah karena tingginya intensitas hujan di musim hujan. Berdasarkan penelitian lembaganya, P4W LPPM IPB, curah hujan di Puncak selama dua dekade--1990 sampai 2012--tak berubah signifikan dari tahun ke tahun.
Alih-alih hujan, ketidakberesan penataan kawasan di hulu Ciliwung diyakini Ernan jadi biang kerok. Sebab, masih menurut riset yang sama, perubahan fungsi lahan justru jadi faktor terbesar dalam menyumbang bencana.
Misalnya, di dua desa yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai kawasan resapan air, Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan di Cisarua. Lahan permukiman di kedua daerah itu meluas drastis, yakni 39 persen di Desa Tugu Utara dan 70 persen di Desa Tugu Selatan.
Penanganan Lonsor di Puncak (Foto: ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya)
Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, akhir Desember sempat menyatakan, 95 persen bencana yang terjadi di Indonesia tergolong bencana hidrometeorologi.
ADVERTISEMENT
Bencana hidrometeorologi, menurut Konservasi DAS--situs Laboratorium Konservasi DAS Fakultas Kehutanan UGM--ialah bencana yang dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin.
Intensitas bencana hidrometeorologi tersebut, menurut Sutopo, kian meningkat karena kerusakan lingkungan yang makin parah.
“Sudah darurat ekologis akibat ulah manusia. Merusak hutan hingga DAS kritis meluas. Akibatnya banjir, longsor, dan puting beliung makin merajalela,” kata Sutopo dikutip dari Mongabay.
Dan kenapa bisa sampai darurat ekologis? Tak lain karena laju deforestasi yang gila-gilaan di Indonesia, hingga 750.000 hektare per tahun--termasuk yang tertinggi di dunia berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia.
Padahal, kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi hutan hanya 250.000 hektare per tahun. Maka, kata Sutopo, “Ada defisit yang lalu terakumulasi. Jadi ketika hujan deras, terjadilah longsor, banjir, dan lain-lain.”
ADVERTISEMENT
Belum lagi tata ruang buruk yang membuat sekitar 150 juta orang tinggal di daerah rawan bencana. Deretan permasalahan itu akhirnya berkelindan, siap meledak.
Puncak yang kehilangan hutan (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Terkait soal buruknya tata ruang, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar mengatakan penataan kawasan Puncak harus jadi prioritas demi mencegah bencana. Meski demikian, menurutnya pemerintah tak bisa langsung mengambil langkah keras.
“Persoalannya sekarang kan sudah (terlanjur) ada kampung, masa harus dipindahin? (Yang bisa dilakukan) paling mengisolasi agar (permukiman) tak berkembang lagi,” kata Rudy.
Ia menegaskan, permukiman di Puncak tak dapat dibiarkan tumbuh secara serampangan, dan alih fungsi lahan harus dihentikan untuk mencegah rentetan bencana, seperti tertutupnya jalur Puncak akibat longsor yang terjadi beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
“Alih fungsi lahan sangat berpengaruh terhadap gerakan tanah. Kalau terus alih fungsi, nanti (risiko) makin tinggi,” kata Rudy.
Ironisnya, justru alih fungsi lahan itulah yang terus terjadi. Ia bahkan memiliki payung hukum. Terbaru, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2016-2036 mengubah 200 hektare hutan lindung menjadi hutan konservasi, 300 hektare hutan lindung menjadi hutan produksi, dan 700 hektare hutan lindung menjadi area perkebunan.
Padahal, bahkan sebelum RTRW baru itu diterapkan, menipisnya hutan di Puncak telah membawa bencana nyata bagi ibu kota. Sebut saja banjir besar tahun 2013, yang--seperti dikutip dari Kompas--melanda 31 dari 44 kecamatan yang ada di DKI Jakarta, dengan kerugian Rp 20 triliun.
Manusia berbuat, manusia merasakan akibatnya. Kerusakan di hulu, akan mengalir hingga hilir. Sudah siap?
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.