Menristekdikti Perbolehkan Mahasiswa Kaji Paham Marxisme dan Khilafah

31 Juli 2019 4:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan mahasiswa diperbolehkan untuk melakukan kajian terhadap paham-paham seperti marxisme dan khilafah di kampus. Dengan catatan, pembahasan itu hanya sebatas untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan di bawah bimbingan dosen.
ADVERTISEMENT
"Mengkaji ilmu pengetahuan di kampus silakan, yang tidak boleh adalah memilih itu sebagai ideologi, karena negara telah menetapkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Pancasila," kata Nasir dikutip dari Antara, Rabu (31/7).
Nasir mengungkapkan Indonesia telah memiliki empat pilar kebangsaan yakni NKRI, Pancasila sebagai ideologi bangsa, Undang-undang Dasar (UUD) 1945, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar itu harus dipegang teguh oleh seluruh masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menristek Muhammad Nasir di DPR. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Nasir menjelaskan, paham-paham di luar Pancasila dapat dibahas dan dikaji dalam bentuk kajian akademik. Paham itu dapat dibahas baik secara terbuka atau di mimbar akademik.
"Batasannya adalah mengkomparasikan. Katakan kalau orang berbicara tentang Pancasila berbicara tentang ideologi suatu negara, bagaimana negara-negara lain yang punya pengalaman ideologinya katakan marxisme, negara pakai ideologi kapitalis, ada satu negara khilafah, kenapa mereka melakukan itu, sejarahnya bagaimana mereka terjadi, tapi Indonesia tidak pernah memilih itu, Indonesia telah memilih NKRI, Pancasila sebagai ideologi negara, Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar negara dan semboyan Bhineka Tunggal Ika," jelas Nasir.
ADVERTISEMENT
Meski memperbolehkan mahasiswa untuk membahas dan mengkaji paham-paham seperti marxisme, Nasir menegaskan hasil kajian itu tidak boleh disebarluaskan kepada publik. Kajian itu hanya untuk kalangan internal antara mahasiswa dan dosen.
"Ini hanya untuk konsumsi internal di dalam kajian akademik, kalau kajiannya dibawa keluar berarti propaganda, itu tidak boleh," tegas Nasir.
Selain itu Nasir meminta kepada seluruh rektor perguruan tinggi dan direktur politeknik di seluruh Indonesia untuk mendata nomor kontak telepon dan media sosial baik dosen, pegawai maupun mahasiswa. Hal itu untuk mencegah tumbuhnya paham radikalisme.
"Kalau mereka terpapar radikalisme katakan tergabung HTI (Hizbut-Tahrir), maka nanti kita akan cek apakah benar, melalui profiling, kalau datanya sudah ada maka profilingnya akan lebih cepat. Kalau memang itu terbukti, maka kita harus edukasi mereka, harus kembali ke NKRI," tutup Nasir.
ADVERTISEMENT