news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyelami Relung Jiwa Penghayat Sunda Wiwitan

23 November 2017 19:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Éling éling mangka éling Éling ka diri sorangan Éling ka nu lian Urang jeung alam taya antarana Mun aya antarana urang rék cicing di mana? Hirup ti Pamedalan nepi ka Pangbalikan neda ampun nya paralun neda jembar pangampura hampura sapapanjangna, hampura sapapanjangna...
ADVERTISEMENT
Sadarlah sesadar-sadarnya... Sadar akan keberadaan diri sendiri Sadar akan keberadaan diri yang lain Kita dan alam ini tidak terpisah Sebab bila terpisah kita tinggal di mana? Sejak kelahiran hingga akhir hayat Kami mohon pengampunan (kepada seluruh yang hidup) Pengampunan sebesar dan selamanya...
Syair tersebut berkumandang di tengah gelap yang menyelimuti situs megalitik Gunung Padang. Saat itu sembahyang Purnama Tilem--ritual membersihkan jiwa dan raga--berlangsung di sana, Sabtu (18/11).
Ginanjar Aqil bergumam di depan mimbar yang dipenuhi sesajen. Musik tarawangsa khas Sunda, dengan petikan jentreng dan gesekan rendo, sertu ketukan kendang dan pukulan gong, mengalir meliuk dalam harmoni.
Di sekeliling Ginanjar, yang akrab disapa Kang Gin-gin, ratusan orang dari berbagai kepercayaan mengikuti lantunan puja dan puji.
ADVERTISEMENT
Sembahyang, yang secara literal berarti berdoa kepada Tuhan, bagi penganut Sunda Wiwitan pun bentuk rasa syukur. Tirakat untuk memohon kepada sosok yang tak terlihat.
Sajak yang mendengung menembus malam itu adalah sebuah rajah atau medium berisi pandangan hidup urang Sunda. Penghayat Sunda Wiwitan meyakini kesatuan tunggal kehidupan--sebagaimana maha tunggalnya Yang Kuasa--yang menjadi dasar untuk mencintai lingkungan.
Syair itu lantunan rasa syukur karena “mendapatkan hidup dari kehidupan lainnya”.
“Kami meminta dianugerahi pengampunan atas segala ketergantungan kami terhadap lingkungan, yang karena ketergantungan tersebut, kami sering membebani kehidupan lain,” tutur Gin-gin.
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Nugraha Satia P/kumparan)
Peradaban manusia melahirkan banyak cara berketuhanan. Masyarakat Indonesia didominasi pemeluk agama besar dunia seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Namun sebagian lainnya memilih untuk menghayati ajaran spiritual warisan leluhur yang telah ada sebelum agama-agama besar itu datang.
ADVERTISEMENT
Terdapat 187 kepercayaan dan jumlah penghayat yang mencapai 12 juta orang. Kang Gin-gin adalah salah satu penghayat kepercayaan yang masih konsisten menyelami ajaran leluhurnya. Ia memilih Jaro Rajah yang masih satu aliran dengan Sunda Wiwitan--kepercayaan leluhur masyarakat Sunda, tanah tempat Gin-gin lahir dan hidup.
Sunda Wiwitan menjawab pergulatan batin dalam mencari jati diri Gin-gin. Ia yang lahir di tanah Sunda merasa perlu untuk melihat kembali ke dalam diri.
“Ada hal yang terus menjadi pertanyaan, yaitu bagaimana saya mengenal lingkungan saya sendiri, sementara datangnya agama-agama yang dianut di Indonesia itu tidak menceritakan tempat di mana lingkungan saya berdiam,” ucap Gin-gin.
Sesederhana dan semendasar itu pertanyaan yang bergayut di benaknya, namun sebegitu panjang pencariannya dalam menemukan apa yang ia inginkan.
ADVERTISEMENT
Ajaran leluhur lantas menjadi pilihan. Ajaran itu mampu mendekatkan jiwa dan raga Gin-gin kepada alam dan segala isinya, baik yang mampu diraba pancaindra atau yang tidak.
Akal manusia, ujar manusia, ada batasnya. Kesadaran akan batasan inilah yang kemudian melahirkan ritual untuk memupuk rasa. Rasa kemudian diterjemahkan dalam laku keseharian, mewujud tindakan menjalin hubungan baik manusia dengan sesama ataupun makhluk hidup lain.
Ritual tak boleh berhenti pada seremoni belaka. Kebaikan tak berakhir ketika lantunan puja-puji selesai disuarakan, buku ajaran rampung dibaca, dan sembahyang ditutup. Falsafah mesti mewujud dalam gerak dan sikap.
“Saya hanya menjaga agar ajaran leluhur itu konsisten di dalam hati saya maupun tindakan saya,” ujar Gin-gin.
Kang Gin-gin, Penghayat Ajaran Leluhur (Foto: Nugraha Satia/kumparan)
Berikut petikan kisah hidup Gin-gin dalam proses pencariannya, yang melabuhkan dia ke ajaran leluhur sendiri:
ADVERTISEMENT
Saya biasa dipanggil Gin-gin. Nama lengkap Ginanjar Akil. Usia hampir 50 tahun. Saya tinggal di Bandung sejak lahir sampai sekarang.
Saya pada dasarnya belajar semua agama. Apalagi latar belakang lingkungan saya mayoritas Islam, jadi saya belajar Islam. Ada hal yang terus menjadi pertanyaan saya, yaitu bagaimana saya mengenal lingkungan saya sendiri, sementara datangnya agama-agama yang dianut di Indonesia itu tidak menceritakan tempat di mana lingkungan saya berdiam.
Sampai (suatu waktu) saya ketemu keluarga yang masih satu hubungan saudara. Dia bilang seperti ini:
Tuhan itu tidak bisa terbagi. Kalau begitu, semua manusia Tuhannya sama. Terus mengapa kita merasa berbeda dalam menyembah Tuhan. Tuhan kan meliputi semua. Kalau Tuhan meliputi semua, berarti Tuhan memberi petunjuk di semua tempat, tidak hanya di satu tempat.
ADVERTISEMENT
Lalu saya mencari tahu, apa maksud saudara saya ngomong seperti itu.
Saya melihat suasana kejatuhan Pak Harto, suasana kejatuhan Gus Dur. Berpikir sebagai anak muda mendambakan keadilan dan sebagainya. Kami mempelajari ideologi yang menjadi alternatif untuk berhadapan dengan kekuasaan yang sangat menindas pada saat itu.
Kami simpulkan, penguasa adalah kapitalisme. Maka kami harus belajar sosialisme. Semua teman-teman saat mahasiswa sangat idealis. Tapi setelah perubahan terjadi, ternyata kami tidak punya akar cukup kuat untuk melakukan perubahan. Tetap saja muaranya ke wilayah yang tidak lagi membuat apa yang kami cita-citakan mendapatkan jalan terang.
Itu semua berhubungan dengan pertanyaan yang saya simpan di kepala. Satu hal yang menggelitik saya adalah “Mengapa kita harus berdoa dalam bahasa asing?” Padahal di tanah air ini, kita berbahasa dalam bahasa ibu yang memang lebih mudah kita mengerti.
ADVERTISEMENT
Panjang cerita, saya belajar banyak hal. Ada yang (saya rasa) kurang, yaitu perhatian terhadap nilai-nilai luhur bangsa ini yang kemudian bisa kita bangun untuk modal kita percaya terhadap diri sendiri.
Ada pernyataan yang luar biasa, “Eweuh kanyataan ngaleuwihan pagawéan”--tidak ada kenyataan yang melebihi perbuatan.
Kata-kata itu sangat inspiratif buat saya. Ini punya api spirit yang besar. Karena sekali orang menyatakan benar dan salah berdasarkan teks yang dia sendiri tidak tahu bahwa teks itu dibuat dari apa, seperti apa, siapa yang membuat, di mana dibuatnya, dan untuk situasi seperti apa. Pada akhirnya orang tidak berpijak kepada kenyataan.
Orang sibuk berpikir soal surga dan neraka yang belum dialami. Tapi di depan mata, banyak orang menderita, dan banyak orang berlebihan, tapi tidak dikoneksikan. Semua hanya merasa sudah berbuat baik dengan melakukan ritual yang dia sendiri tidak mengerti untuk apa.
ADVERTISEMENT
Itu yang menurut saya membuat bangsa ini sulit sekali bangkit. Kita tidak benar-benar menyatakan seperti yang dinyanyikan setiap hari di Indonesia Raya. Karena faktanya, dia tidak mencintai dan menyucikan tanah airnya. Faktanya, dia menyucikan dan mencintai tanah air yang ada dalam pikirannya, hanya karena cerita-cerita yang mengagumkan.
Coba semua orang berpikir seperti yang ada di dalam lagu Indonesia Raya itu, kemudian dia menghubungkan dirinya dengan pernyataannya, “Saya mencintai ini dan saya menyucikan tanah air ini”. Maka tidak mungkin orang sembarangan menggali dan merusak alam.
Ketika saya mempelajari semuanya, pada akhirnya saya melihat bahwa sikap indah dan kreatif itu ada dalam nilai yang sangat dekat dengan kita. Kita bisa lebih mudah menata sesajen.
ADVERTISEMENT
Soal sajen, banyak orang berpikir ini mau ngasih sajen makhluk yang tidak terlihat atau leluhur yang sudah mati. (Padahal tidak). Sajen ini sebenarnya sebuah sastra, pujian, pemujaan, tentang bagaimana Tuhan menciptakan semua yang kita persembahkan.
Alat musik tradisional Sunda. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Sunda Wiwitan hanya nama, tapi pada dasarnya ini adalah ajaran leluhur. Kenapa dinamakan ajaran leluhur, karena ini sudah lama ada di sini. Kami nggak mempelajarinya saja. Kami menilai sebelum mengenal lebih dalam
Saya nggak bisa membohongi wujud saya, eksistensi saya yang dilahirkan sebagai orang Sunda. Jadi apa yang harus saya lakukan kalau saya orang Sunda? (Apakah) saya menolak anugerah diberi Bahasa Sunda, menolak anugerah diberi kekayaan yang begitu luar biasa--makanan, kesuburan tanah, dan sebagainya, di lingkungan saya sendiri?
ADVERTISEMENT
Itu yang membuat saya semakin mendalami apa yang diturunkan oleh leluhur. Dan kami nggak kehilangan ajaran, karena banyak sekali orang-orang yang merawat (warisan leluhur) ini secara turun-temurun. Bahkan di Jawa Barat, ada sebuah kelompok masyarakat yang mempertahankan ajaran leluhur dan menyatakannya dengan perbuatan.
Kalau kita ke desa adat, misal Baduy (di Lebak, Banten). Mereka mencintai alam ini bukan soal omong. Mereka mencintai alam ini dengan benar-benar menjaga hutan di sekitarnya.
Mereka merawat tanah ini bukan cuma omong. Tapi mereka membangun rumah saja, tidak mau merusak atau mengubah kontur tanahnya.
Bagaimana kita bisa tidak kagum melihat orang yang hanya dengan pernyataan dan perbuatan yang sederhana, tapi konsisten dan tidak pernah merasa kekurangan dibandingkan dengan orang-orang lain di kota.
ADVERTISEMENT
Kami berjuang untuk terus membangun, gotong royong, untuk alam, untuk kepentingan sosial, untuk berbagi pengetahuan. Semua dibangun dengan cita-cita yang baik, dan kita lakukan bersama-sama. Ini amalan, bekerja bersama-sama secara nyata.
Penghayat Sunda Wiwitan bermain musik. (Foto: Nugraha Satia/kumparan)
Orang yang berketuhanan, pasti berkemanusiaan. Orang yang berkemanusiaan, pasti berkebangsaan. Orang yang berkebangsaan, pasti kerakyatan. Orang yang kerakyatan, pasti mengarah pada keadilan.