Menyelisik Suplai Senjata Militer Myanmar, Penindas Rohingya

2 September 2017 18:04 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Data impor senjata & kematian di konflik Myanmar. (Foto: Dok. newmandala.org)
zoom-in-whitePerbesar
Data impor senjata & kematian di konflik Myanmar. (Foto: Dok. newmandala.org)
ADVERTISEMENT
Peningkatan drastis impor senjata militer Myanmar tertaut erat dengan peningkatan jumlah orang terbunuh dalam berbagai konflik di negeri itu.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut terpampang gamblang dalam grafik di atas, yang penjelasannya dipaparkan oleh Jacob Sommer dalam artikel Myanmar’s Military: Money and Guns di New Mandala, Desember 2013. Bukan hal baru, memang. Namun relevan sebagai pisau analisis atas peristiwa terkini di Myanmar: genosida Rohingya.
Suplai senjata yang mengalir deras ke Myanmar, ujar Sommer, terjadi setelah junta militer pada tahun 2010 mengumumkan mereka bersedia memulai transisi menuju demokrasi dan menerapkan reformasi demokrasi.
Sejak saat itu, impor senjata dari China, Rusia, dan negara-negara lain meningkat dramatis. “Niat baik” junta militer berbalas paket-paket senjata ke Myanmar.
Impor senjata ke Myanmar pada tahun 2011 melonjak ke level tertinggi sepanjang sejarah negeri itu, mencapai hampir 700 juta dolar AS, naik dua kali lipat dari angka impor tertinggi sejak 1989. Tahun berikutnya, 2012, angka itu tetap nyaris sama tinggi.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun-tahun itu ketika impor senjata bertambah besar-besaran, angka kematian dalam konflik bersenjata di Myanmar juga meningkat setelah satu dekade sebelumnya turun atau setidaknya cenderung stagnan.
Hasilnya, militer Myanmar saat ini jauh lebih kuat dari yang dahulu--seperti juga kebanyakan militer-militer negara lain.
Sejak keran impor mengucur deras, Myanmar menerima sejumlah senjata yang cukup mutakhir seperti jet tempur Mikoyan MiG-29 asal Rusia dan pesawat tempur supersonik lain, juga helikopter serang, tank tempur berat, artileri, serta senjata-senjata lain dilengkapi suku cadang dan amunisi.
Status senjata-senjata itu tak dicadangkan, namun hampir semuanya digunakan dalam medan “perang” berbagai konflik di Myanmar.
Jenderal Min Aung Hlaing. (Foto: Dok. Facebook Senior General Min Aung Hlaing)
zoom-in-whitePerbesar
Jenderal Min Aung Hlaing. (Foto: Dok. Facebook Senior General Min Aung Hlaing)
ADVERTISEMENT
Adalah Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemegang kendali pasukan Myanmar, yang menyerukan modernisasi militer besar-besaran pada parade peringatan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar yang ke-72 di ibu kota negeri itu, Naypyidaw, 27 Maret 2017.
“Kita harus membangun Tatmadaw (nama Angkatan Bersenjata Myanmar) untuk meraih kejayaan dalam peperangan modern abad ke-21,” ujar sang jenderal, seperti dilansir Myanmar Times.
Di hadapan lebih dari 10.000 tentara Myanmar, ia menegaskan, “Kita harus belajar, berlatih, dan membangun strategi militer agar dapat berpacu dengan perkembangan dunia.”
Seakan menunjukkan keseriusan ucapannya, ribuan prajurit Myanmar berparade diarak jet-jet tempur yang melintas di langit Naypyidaw. Di belakang mereka, kendaraan lapis baja dan tank-tank unjuk kekuatan.
Militer Myanmar bukan sekadar militer. Ini institusi paling kuat di Myanmar, dengan kekuasaan politik dalam genggaman mereka--terjamin lewat konstitusi yang mencantumkan jatah seperempat kursi parlemen untuk mereka, dan berhak atas tiga kursi menteri bidang pertahanan keamanan.
ADVERTISEMENT
Tatmadaw memiliki gabungan kekuatan militer dan politik--bahkan ekonomi, macam Dwifungsi ABRI di Indonesia pada era Orde Baru. Ia mendominasi seluruh lini kehidupan masyarakat, pun meski pemerintahan Myanmar secara de facto dipegang sipil.
Hal itu disebutkan jelas oleh Min Aung Hlaing. “Tentara, yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga kedaulatan negara dan keamanan publik, ambil bagian dalam urusan politik, militer, dan nasional, untuk menyelamatkan bangsa dari kesulitan.”
Jika kedaulatan negara dan keamanan publik dilanggar, sambung sang jenderal, Angkatan Bersenjata akan bertindak terhadap para teroris.
“Pertempuran di Negara Bagian Rakhine pada 2016, di Kachin dan Shan, adalah operasi yang dilakukan Angkatan Bersenjata terhadap penyerang kedaulatan negara.”
Rakhine adalah negara bagian di pantai barat Myanmar yang menjadi tempat tinggal etnis Muslim Rohingya--yang tidak diakui Myanmar sebagai warga negara.
Perempuan dan anak-anak Rohingya mengungsi. (Foto: Reuters/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan dan anak-anak Rohingya mengungsi. (Foto: Reuters/Mohammad Ponir Hossain)
“Tidak ada ras bernama ‘Rohingya’ di Myanmar. Orang-orang Bengal (Bangladesh) di Rakhine bukan warga Myanmar, tapi imigran,” tegas Min Aung Hlaing.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa Rohingya adalah keturunan Bangladesh. Namun mereka telah menetap selama beberapa generasi di Myanmar. Sementara Myanmar menolak mereka, Bangladesh pun sama--tidak mengakui mereka sebagai warga negara.
Status stateless itu membuat Rohingya mendapat perlakuan buruk. Mereka tak dianggap ada. Daerah tempat tinggal mereka belum lama ini diblokade, sehingga mereka sulit bekerja bahkan hanya untuk membeli bahan pangan di pasar.
Jenderal Min Aung Hlaing. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Jenderal Min Aung Hlaing. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
Seiring peningkatan suplai senjata untuk militer Myanmar, orang-orang yang terbunuh dalam konflik makin banyak. Namun, korelasi ini tak membuat militer Myanmar tersudut di dunia internasional. Sebaliknya, “karpet merah” digelar untuk jenderal mereka, Min Aung Hlain.
Krisis Rohingya Oktober-Desember 2016 yang membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk tim investigasi dan menghasilkan kesimpulan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia oleh militer Myanmar, tak membuat Min Aung Hlaing canggung di dunia internasional. Ia tenang saja dua kali melawat ke Eropa sejak krisis itu.
ADVERTISEMENT
Lawatan pertama, seperti dicatat The Diplomat, berlangsung November 2016, di mana ia bertemu dengan Komite Militer Uni Eropa di Belgia untuk membahas hubungan militer antara Myanmar dan Eropa. Ia juga mengunjungi sejumlah perusahaan pertahanan, memenuhi undangan Kepala Angkatan Bersenjata Jerman, Jenderal Volker Weiker.
Lawatan kedua berlangsung belum lama ini, April 2017, ke Jerman dan Austria. Seperti kunjungan sebelumnya, Min Aung Hlain bertemu dengan sejumlah pejabat dan mengunjungi perusahaan-perusahaan pertahanan.
Saat singgah di Austria, ia disambut oleh Kepala Staf Pertahanan Angkatan Bersenjata Austria, Jenderal Othmar Commenda, di Kantor Kementerian Pertahanan. Min Aung Hlain dan Othmar Commenda membahas berbagai hal, termasuk tentang prajurit Myanmar yang menghadiri kursus pelatihan militer di Eropa.
Setelahnya, Min Aung Hlain menyambangi Museum Prajurit Austria dan perusahaan industri pertahanan--Diamond Aircraft yang memproduksi pesawat.
Jenderal Min Aung Hlaing di Austria. (Foto: Dok. Facebook Senior General Min Aung Hlaing)
zoom-in-whitePerbesar
Jenderal Min Aung Hlaing di Austria. (Foto: Dok. Facebook Senior General Min Aung Hlaing)
Di Jerman, Min Aung Hlain memenuhi undangan rekan sejawatnya. Kunjungan ini sekaligus untuk menjajaki prospek masa depan dalam mempererat kerja sama militer antara Myanmar dan Eropa setelah embargo atas negeri itu kian dilonggarkan sejak 2013--dengan pengecualian pada embargo senjata.
ADVERTISEMENT
Sang jenderal juga membahas hubungan pertahanan antara kedua negara. Sejak lama, hubungan bilateral Myanmar-Jerman memang terjalin baik, dan belakangan kembali hangat.
The Irrawaddy melaporkan, militer Myanmar dan Jerman memiliki hubungan mesra di masa lalu. Pada masa kediktatoran Jenderal Ne Win, ia menandatangani perjanjian kemitraan dengan perusahaan peralatan industri Jerman, Fritz Werner Industrie-Ausruestungen GmbH.
Perusahaan itu pada 1960 memproduksi senapan tempur G3 di Myanmar, kemudian mendirikan pabrik senjata pertamanya di pinggiran Yangon (ibu kota Myanmar dahulu) dengan bantuan perusaaan senjata Jerman Barat, Heckler & Koch.
Data impor senjata pemerintah Myanmar. (Foto: http://www.newmandala.org)
zoom-in-whitePerbesar
Data impor senjata pemerintah Myanmar. (Foto: http://www.newmandala.org)
Nyatanya, terlepas dari rekam jejak buruk dalam soal hak asasi manusia dan embargo senjata yang dijatuhkan Uni Eropa dan Amerika Serikat, Myanmar dipandang sebagai pasar dan pelanggan potensial oleh perusahaan-perusahaan senjata di sejumlah negara.
ADVERTISEMENT
Negara-negara mana saja yang memasok senjata untuk Myanmar? Cukup banyak, terentang dari Asia hingga Eropa. Beberapa di antaranya, seperti dilaporkan Associated Press pada Oktober 2007, adalah India, Korea Utara, Rusia, China, Ukraina, Israel.
Deretan negara itu, meski mungkin dikritik karena menjual senjata ke Myanmar, tapi tak melanggar aturan dan kesepakatan internasional apapun.
“Negara-negara itu dapat memasok apapun yang mungkin diinginkan Myanmar, dan mereka sudah melakukannya 15 tahun terakhir,” ujar Siemon Wezeman, peneliti Arms Transfers Project di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). Itu artinya, 25 tahun sampai saat ini.
Sebagian besar impor senjata ke Myamar adalah legal, dan beberapa di antaranya bahkan dilaporkan ke PBB. Namun sisanya tak jelas, karena sebagian negara berusaha menutupi aktivitas transfer senjata mereka, khawatir memicu opini internasional negatif.
ADVERTISEMENT
Data SIPRI sejak 1990 sampai 2016 menunjukkan penyuplai terbesar senjata Myanmar adalah China. Negeri Tirai Bambu itu antara lain mengimpor kendaraan lapis baja, tank, pesawat tempur, sistem radar, surface-to-air missiles, dan sistem rudal jarak dekat.
Berada di urutan berikutnya setelah China adalah Rusia, disusul Serbia, Ukraina, dan Yugoslavia. Negara-negara eks Blok Timur ini memiliki industri pertahanan besar pada era Perang Dingin, dan kemudian hendak “membuang” peralatan-peralatan tempur tua mereka.
Tentu saja, Myanmar bersedia membeli senjata-senjata lawas berharga miring itu.
Tentara Myanmar. (Foto: Khine Htoo Mrat/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Myanmar. (Foto: Khine Htoo Mrat/AFP)
India muncul dalam data “ekspor senjata ke Myanmar” mulai tahun 2005, dengan jumlah cukup signifikan. India membantah menyuplai senjata untuk Myanmar, hanya mengatakan kedua negara memiliki perjanjian pertahanan untuk memerangi kelompok pemberontak di wilayah perbatasan.
ADVERTISEMENT
Israel juga dianggap para peneliti senjata sebagai salah satu pemasok utama teknologi persenjataan ke Myanmar, meski pemerintah Israel sempat membantahnya.
Terlepas dari sangkalan Israel, Myanmar dan Israel memang memperkuat kerja sama pertahanan. Pada September 2015, Jenderal Min Aung Hlaing melakukan kunjungan empat hari ke Israel. Ia menjadi Panglima Militer Myanmar pertama yang mengunjungi Israel sejak Jenderal Ne Win pada 1959.
Di Israel, Min Aung Hlaing mengunjungi sejumlah perusahaan manufaktur di sektor pertahanan, termasuk Israel Aerospace Industries dan Elbit Systems--perusahaan teknologi tinggi yang menurut laporan Jane’s Intelligence Review memenangi kontrak pada tahun 1997 di Myanmar untuk meng-upgrade tiga skuadron jet tempur buatan China.
Selain India dan Israel, Korea Utara pun memiliki data transaksi senjata dengan Myanmar yang sulit dilacak. Terlebih keduanya termasuk negara paling tertutup di dunia.
ADVERTISEMENT
SIPRI mencatat Korut mengirimkan 16 artileri besar ke Myanmar pada 1999. Di luar itu, menurut Jane’s Intelligence Review dan Far Eastern Economic Review, kedua negara tersebut memiliki kesepakatan yang lebih luas dalam industri pertahanan.
Pyongyang diyakini kalangan internasional telah memasok rudal Scud kepada Myanmar. Namun, menurut Wezemen, “Korut hanya menjadi pilihan kedua jika Myanmar bisa mendapatkan peralatan dengan kualitas lebih baik dari Rusia, China, atau negara lain.”
Tentara Myanmar. (Foto: STR/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Myanmar. (Foto: STR/AFP)
Hentikan pasokan senjata dan peralatan militer apapun untuk Myanmar.
Itulah yang menurut Direktur Burma Campaign UK Mark Farmaner, harus dilakukan untuk menyetop tentara Myanmar membunuhi Rohingya.
Infografis Derita Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Derita Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)