news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyibak Musabab Perkembangan Ateisme di Timur Tengah

12 Desember 2017 8:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ada hantu yang bergentayang di Timur Tengah: hantu itu bernama ateisme.
ADVERTISEMENT
Majalah National Geographic pada 2016 pernah merilis sebuah artikel berjudul, The World Newest Major Religion: No Religion, yang mengulas bagaimana di tengah masyarakat sekuler, pamor ateisme yang naik secara perlahan membuat agama-agama tak lagi relevan.
Artikel itu agaknya memang benar. Berdasarkan laporan lembaga riset Amerika PEW Research Center pada 2010 lalu, setidaknya 16 persen populasi di dunia menyatakan diri tidak terikat dengan agama apapun. Dengan persentase yang sedemikian besar, tidak mengherankan kalau jumlah pengikut ateisme ataupun agnostik menempati peringkat ketiga di antara agama-agama besar lain di dunia.
Laporan PEW itu juga memproyeksikan beberapa hal lain. Salah satunya adalah prediksi bahwa pada 2050 nanti, persentase pengikut ateisme di seluruh populasi dunia akan berkurang. Dari sebesar 16 persen pada 2010, persentase tersebut akan turun menjadi 13 persen saja.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, jumlah keseluruhan penganut ateis justru akan meningkat cukup pesat. Diprediksi, jumlah kaum ateis akan naik 100 juta orang --dari 1.1 miliar menjadi 1,2 miliar jiwa.
Lebih lanjut, data tersebut menunjukkan bahwa persentase pengikut ateisme di negara-negara Barat, seperti Eropa dan Amerika Utara, akan terus meningkat bahkan mengancam eksistensi agama-agama besar konvensional. PEW memperkirakan, pada 2050 nanti, persentase ateis atau agnostik akan meningkat dari 16% menjadi 26% di Amerika Serikat.
Fenomena meningkatnya Ateisme di negara sekuler Barat sebenarnya wajar. Lewat buku Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide (2004), Ronald Inglehart dan Pippa Norris mengajukan tesis soal bagaimana nilai-nilai agama akan mulai ditinggalkan di negara-negara Barat yang masyarakatnya maju. Sebaliknya, nilai-nilai agama akan terus menguat di masyarakat dengan tingkat kemiskinan atau masalah sosial yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Menurut mereka, terdapat hubungan erat antara nilai-nilai agama dengan suatu hal yang mereka sebut sebagai kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman dapat diperoleh dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti pendidikan, kesehatan, pangan, kebebasan, dan lain-lain.
Masyarakat yang telah mampu memenuhi kebutuhuan akan rasa aman mereka, bisa merasa tak lagi membutuhkan agama. Sementara pada masyarakat miskin, agama masih berperan penting dalam menjamin keberlangsungan hidup seseorang. Melalui agama, orang-orang miskin akan merasa aman karena tetap mendapat perlindungan Tuhan.
Okelah apabila ateisme merupakan fenomena lumrah di negara sekuler. Namun, bagaimana penjelasan mengenai tren berkembangnya ateisme di Timur Tengah --tempat kelahiran agama besar sekaligus tempat paling tidak sekuler di dunia itu?
Wanita di Arab (Foto: AFP/Karim Sahib)
Ateisme di Timur Tengah
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, jumlah pengikut ateis di Timur-Tengah belum benar-benar diketahui secara pasti. Pasalnya, kebanyakan dari mereka takut untuk mengungkap keyakinan ateisme mereka. Ketakutan itu didasari oleh potensi ancaman terhadap keselamatan diri mereka, entah itu berasal dari negara, organisasi fundamentalis, atau pengikut fanatik agama lain.
Di Timur Tengah, ada budaya “don’t ask, don’t tell” (tak usah bertanya, tak usah bercerita), ketika sesama ateis --atau seseorang yang mau menerima mereka-- mengetahui identitas keyakinan satu sama lain.
Berbeda dengan negara Barat yang sekuler --yang memposisikan ekspresi keyakinan bukan sebagai suatu masalah besar-- mengekspresikan diri sebagai ateis di Timur Tengah sama saja bunuh diri.
Meski begitu, terdapat setidaknya beberapa penelitian yang mampu memberikan gambaran mengenai jumlah pengikut ateis di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Pada 2012 silam, WIN/Gallup International merilis laporan soal persentase masyarakat yang meragukan nilai-nilai agama mereka. Laporan tersebut mengungkap, bahwa dari total 3.131 responden di negara-negara Arab, 77 persen di antaranya mengaku sebagai seorang religius. Sementara itu, 17 persen lainnya mengaku tidak religius, dan 2 persen sisanya mengaku sebagai ateis kafah.
Sedangkan, apabila ditinjau dari lingkup negara, 5 persen dari 502 responden di Arab Saudi mengaku sebagai ateis. Sementara di Palestina, dari 626 responden, terdapat 4 persen yang mengaku ateis
Masjid di Pakisan. (Foto: PIXABAY/Hswajid)
Selanjutnya, pada Desember 2014, institut Dar Al-Ifta merilis hasil survei mereka mengenai pengikut Ateis di Timur Tengah. Berdasarkan surveri tersebut, terdapat 325 ateis di Maroko, 320 di Tunisia, 242 di Irak, 178 di Arab Saudi, 170 di Yordania, 70 di Sudan, 56 di Suriah, 34 di Libya, dan 32 di Yaman. Secara keseluruhan, terdapat 2.293 orang yang mengaku tak beragama di Timur Tengah
ADVERTISEMENT
Hasil polling yang dirilis oleh Dar Al Ifta itu kemungkinan besar tidak begitu tepat. Pasalnya, pada 2011 saja, berdasarkan survei yang dilakukan media Kurdi AKnews, terdapat setidaknya 7 persen masyarakat Irak yang mengaku tidak percaya Tuhan. Sementara, 4 persen lainnya bahkan menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Demografi ateis di Timur Tengah juga bisa diintip lewat sebuah data statistik yang dirilis pengadilan Mesir. Laporan pada 2014 itu mengungkap, bahwa terdapat ribuan perempuan yang menggugat cerai suami mereka karena suami mereka ateis --salah satu kondisi dalam hukum mereka ketika seorang perempuan Islam diperbolehkan menggugat cerai suami suaminya.
Sementara itu, laporan PEW Research Center mengenai proyeksi pertumbuhan agama-agama besar di kawasan Timur-Tengah dan Afrika Utara memberikan petunjuk lain soal jumlah ateis di Timur Tengah. Pada 2010 lalu, diperkirakan terdapat sekitar 2,1 juta penganut ateisme. Sedangkan, pada 2050 yang akan datang, jumlah penganut ateis di kawasan itu diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 3,2 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Apabila data-data tersebut kurang meyakinkan, maka tengoklah ke internet dan sosial media. Terdapat berjibun laman Facebook tentang ateisme di negara-negara Timur-Tengah, yang anggotanya berkisar dari ratusan hingga ribuan orang. Atau lihatlah kanal Youtube, The Black Ducks yang dibuat seorang Ateis muda asal Mesir, Ismail Mohamed; atau kanal lain yang membahas ateisme dalam bahasa Arab, yang dibuat oleh Brother Rachid, ateis asal Maroko yang mempunyai 45 ribu pelanggan.
Seorang pemuda menagis di sebuah gereja di Mesir. (Foto: Reuters)
Alasan Menjadi Ateis
Apa latar belakang masyarakat di Timur-Tengah beralih ke ateisme? Apakah mereka lupa dengan nasib manusia-manusia ingkar di Sodom dan Gommora; atau tentang mahapralaya yang menimpa umat Noah itu?
Kolumnis New York Times, Thomas L. Friedman pernah mengajukan analisanya mengenai bagaimana tren ateisme menjangkiti masyarakat, terutama anak muda, asal Timur-Tengah. Menurutnya, fenomena itu erat kaitannya dengan perkembangan ISIS di regional tersebut.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, ISIS telah menarik ribuan anak muda dari seluruh pelosok dunia untuk bergabung dengan mereka. Di sisi lain, ISIS juga menjadi alasan yang melatarbelakangi perlawanan anak-anak muda di Timur-Tengah terhadap penerapan hukum syariah. Bahkan, lebih jauh lagi, hal tersebut membuat mereka memutuskan untuk menganut ateisme.
Friedman meminjam analisa peneliti senior New America Foundation, Nadia Oweidat untuk memperkuat argumennya. Menurut Oweidat, fenomena globalisasi teknologi, utamanya penggunaan internet di kalangan anak muda Timur Tengah membuat mereka sadar terhadap aksi barbarisme ISIS. Hal itu justru membuat anak muda muslim beralih dari agama mereka.
Selain itu, Friedman juga berpendapat bahwa banyak anak muda di Timur Tengah yang merasa muak pada pemerintah dan pengkhotbah-pengkhotbah radikal yang tidak merepresentasikan identitas Islam mereka.
ADVERTISEMENT
Jadi, menurutnya, tidak mengherankan apabila anak muda seperti Brother Rachid memutuskan pindah dari Islam dan mengajak kawan-kawannya untuk mengikuti jejaknya. Terlebih dengan adanya internet, ateis relatif memiliki platform alternatif yang aman untuk saling bertukar ide.
Seorang anggota ISIS. (Foto: REUTERS/Stringer )
Meski begitu, analisis Friedman tentang hubungan ISIS dan perkembangan ateisme di Timur Tengah dibantah oleh jurnalis The Guardian, Brian Whitaker.
Whitaker, penulis buku Arabs Without God (2014) itu, menyatakan bahwa selama proses penelitian penulisan bukunya, ia tidak pernah mendengar satu orang pun yang menyatakan bahwa alasan terkuat yang melatarbelakangi mereka pindah dari Islam adalah karena terorisme.
Menurutnya, alasan utama orang-orang meninggalkan Islam di Timur-Tengah adalah karena mereka menolak prinsip-prinsip dasar dalam Islam --yang mereka dapatkan di sekolah dan dari pengkhotbah-pengkhotbah resmi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Whitaker mengungkap, banyak ateis yang diwawancarainya perlu menjalani proses panjang sebelum meninggalkan agama mereka dan menganut ateisme. Menurutnya, banyak orang memutuskan menjadi ateis setelah mempertanyakan beberapa prinsip dasar agama yang mereka anggap tidak logis --dan ini seringkali membawa mereka menyelidiki lebih jauh ajaran agama.
Isu utama yang seringkali menjadi langkah awal bagi orang-orang Arab untuk menjadi ateis adalah ketidakadilan Tuhan dalam agama mereka. Menurut Whitaker, orang-orang ateis Arab ini menganggap Tuhan mereka sebagai sosok pemberang dan irasional. Mereka menemukan kesamaan kelakuan yang sesuai dengan profil diktator-diktator Arab, seperti senang mengambil keputusan semena-mena dan tampak selalu bersemangat untuk menghukum orang pada kesempatan terkecil sekalipun.
Seorang ateis Mesir yang diwawancara Whitaker, Mohammed Ramadhan, memberikan sedikit wawasan soal alasanya menjadi ateis. “Ide tentang neraka yang kekal begitu menggangguku. Ketika aku berusia enam tahun, aku bertanya ke kedua orang tuaku, ‘Mengapa Tuhan menghukum kita selamanya padahal kita hanya hidup kira-kira selama 7-0an tahun?’”
ADVERTISEMENT
Anak-anak negara Arab. (Foto: REUTERS/Bassam Khabieh)
Sementara itu, cerita Waleed al-Husseini menawarkan wawasan lain soal mengapa ateisme dipandangnya sebagai jalan keluar. Laki-laki asal Palestina menceritakan bahwa alasannya menganut ateis adalah karena banyak pertanyaannya soal Tuhan dan agama yang tak terjawab.
Dulu, ketika dia masih remaja, dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari guru maupun pemuka agama di kota Qalqilya, Palestina, tentang persoalan mengenai kehendak bebas dan takdir. Pertanyaanya adalah, apakah manusia bisa bebas memilih, sedangkan hidup kita ditentukan oleh takdir?
Ketika bertanya tentang masalah itu ke guru dan imam masjid, respons yang dia dapat hanya, “Yang kau tanyakan itu haram.” Akibat tidak memperoleh jawaban memuaskan, Husseini akhirnya mencari jawaban itu sendiri, dengan melakukan riset di perpustakaan sekolah dan perpustakaan kota.
ADVERTISEMENT
Namun Husseini tetap tidak menemukan jawabannya, karena semua buku di perpustakaan adalah buku-buku agama, bukan buku yang mengkritisi agama. Husseini terus mencari jawaban atas pertanyaan itu, sepenggal demi sepenggal, sampai akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari agama yang dia anut di tahun pertamanya di universitas.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!