Merkuri: Bom Waktu Tambang Emas Nusantara

20 Maret 2017 6:00 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Helikopter Super Puma milik TNI Angkatan Udara terbang rendah di atas Pulau Buru, Maluku, Februari 2015. Heli itu mengangkut Presiden Joko Widodo dan rombongannya yang bertolak dari Ambon menuju Kecamatan Waeapo, Pulau Buru.
ADVERTISEMENT
Kala itu Jokowi hendak meresmikan Pulau Buru sebagai salah satu lumbung padi di Indonesia Timur. Ironis, sebab pada saat yang sama, para petani di Buru beralih profesi menjadi penambang emas akibat rayuan keuntungan besar dari penambangan emas liar yang makin marak di Buru.
Tahun itu pula, 2015, penambangan emas ilegal di Buru mencapai puncaknya, dengan 50.000 orang penambang bergumul di 800 tambang emas liar.
Salah satu lokasi tambang emas ilegal yang penting di Buru ialah Gunung Botak di Desa Wansait. Di situ, ratusan tenda biru milik ribuan penambang terpasang pada cekungan-cekungan besar --bopeng Gunung Botak akibat aktivitas penggalian yang tak henti. (Baca: )
Suasana Gunung Botak dilihat dari atas. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sekitar 9 bulan setelah kedatangan Jokowi ke Buru, November 2015, Gubernur Maluku Said Assagaff menutup tambang emas ilegal di Gunung Botak tersebut.
ADVERTISEMENT
Penutupan tambang liar itu didukung oleh Panglima Komando Daerah Militer XVI/Pattimura, Mayor Jenderal Doni Monardo, yang saat itu baru 4 bulan menjabat sebagai Pangdam.
Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus dan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden itu sempat merotasi beberapa perwira dan personel TNI di Buru, dari level Komandan Distrik Militer (Kodim) sampai Bintara Pembina Desa (Babinsa). (Baca: )
Doni juga mengerahkan pasukannya untuk mem-back up Polri, membantu aparat polisi memaksa turun para penambang.
Sebanyak 50.000 orang penambang emas liar itu ditaruh di truk-truk yang mengangkut mereka ke pelabuhan. Sekitar 90 persen dari penambang yang berasal dari luar Buru itu lantas dipulangkan dengan armada kapal yang telah disiapkan.
ADVERTISEMENT
Gunung Botak lantas ditutup dan dijaga oleh polisi, tentara, Satpol PP, masyarakat adat, dan perwakilan LSM agar para penambang liar tak kembali ke sana.
Sayangnya, pilkada Februari 2017 membuat personel penjaga gunung emas itu ditarik turun. Alhasil, penambang liar balik lagi, dan emas dikeruk lagi dari Buru.
Saat kumparan (kumparan.com) bertandang ke Gunung Botak, Jumat (10/3), sedikitnya 3.000 orang penambang ilegal sedang beraktivitas di sana.
Rendaman yang mengandung merkuri dan sianida. (Foto: Dok. Istimewa)
Kegiatan penambangan ilegal di Gunung Botak harus kembali ditutup. Perintah kini datang langsung dari Presiden Joko Widodo. Saat berkunjung ke Ambon pada Februari 2017, Jokowi memerintahkan kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Gubernur Maluku Said Assagaff untuk menutup tambang emas ilegal.
Alasannya: ada merkuri yang digunakan oleh para penambang liat tersebut.
ADVERTISEMENT
Merkuri, unsur logam berwarna perak dengan lambang Hg itu, dikenal juga dengan sebutan air raksa.
Larutan kimia beracun itu jadi pilihan penambang ilegal karena dianggap punya kemampuan mengikat emas sangat baik. Pasir emas yang dicampur merkuri akan menghasilkan emas murni dalam jumlah lebih banyak.
Masalahnya, merkuri punya dampak kesehatan dan lingkungan luar biasa buruk. (Baca: )
“Saya sudah perintahkan ke Kapolri agar penambangan emas yang menggunakan merkuri dihentikan,” kata Jokowi dalam rapat kabinet terbatas di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/3).
Maka Surat Instruksi Gubernur Maluku Nomor 48 Tahun 2017 tentang penutupan operasi tambang di Gunung Botak dan Gogorea, Pulau Buru, sesuai dengan perintah Jokowi. (Baca: )
ADVERTISEMENT
“Pencemaran merkuri mengakibatkan kerusakan lingkungan parah berupa pencemaran lingkungan, udara, air maupun tanah,” ujar Jokowi. (Baca: )
Sejumlah penambang mandi di area tambang emas. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Merkuri bukan cuma mengancam Buru, tapi berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan informasi yang diterima Jokowi, merkuri digunakan di 850 lokasi tambang emas rakyat. Akibatnya, 250 ribu penambang, keluarga penambang, dan masyarakat sekitar daerah pertambangan menjadi populasi yang terancam.
Masalahnya, masyarakat biasa menyepelekan risiko hingga bencana benar-benar terjadi. Padahal, musibah akibat merkuri bukan perkara remeh. (Baca: )
Di negara lain, tragedi nyata akibat merkuri pernah terjadi di Minamata, Jepang. Di kota itu pada 1958, ratusan orang mati setelah diserang kelumpuhan, dan ribuan balita tumbuh cacat.
ADVERTISEMENT
Setelah diselidiki, terungkap bahwa warga Minamata keracunan merkuri dari ikan-ikan yang mereka makan. Ikan-ikan di Teluk Minamata mengandung merkuri dari pabrik batu baterai Chisso Corporation.
Pencemaran di Minamata sesungguhnya terjadi sejak 1905, namun dampaknya baru terlihat pada 1956. Kasus itu meledak, dan sejak itu kelainan pertumbuhan balita karena keracunan merkuri dikenal dengan Sindrom Minamata.
Kasus serupa pernah terjadi di Indonesia, tepatnya di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Di sana pada tahun 2005, diketahui ada anak yang mengidap Sindrom Minamata. Kasus itu diduga timbul karena aktivitas pertambangan emas oleh PT. Newmont Minahasa Raya yang beroperasi di sana sejak 1996.
Sindrom Minamata. (Foto: Dok. student.unud.ac.id)
Bahaya yang timbul akibat merkuri alias air raksa seperti bom waktu. Gejalanya tak muncul seketika. Gejala-gejala orang yang keracunan merkuri baru kelihatan 5 tahun setelah terpapar.
ADVERTISEMENT
Untuk orang dewasa, biasanya akan muncul gejala serupa parkinson --ditandai dengan gemetaran dan melemahnya otot, penurunan relfleks, dan tremor atau gerakan anggota tubuh tak terkontrol. Karang gigi pun tak jarang akan berubah warna menjadi keperak-perakan atau hitam logam.
Paling ekstrem adalah pada anak-anak yang terpapar merkuri sejak kandungan. Mereka akan mengidap Sindrom Minamata seperti diceritakan di atas.
Tak heran, ancaman merkuri mendapat tanggapan dunia. Pada 2013, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus kelestarian lingkungan, United Nations Environment Programme, membuat perjanjian internasional sebagai inisiatif bersama untuk mengurangi hingga melarang total merkuri.
Kesepakatan internasional yang disebut Konvensi Minamata itu dirancang demi melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari senyawa merkuri.
Indonesia, sayangnya, meski ikut menandatangani Konvensi Minamata, tapi belum meratifikasinya. Padahal selain di Teluk Buyat, kasus anak yang diduga mengidap Sindrom Minamata juga terjadi di daerah lain seperti Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
ADVERTISEMENT
Lebih parah lagi, Indonesia bukan cuma tak meratifikasi Konvensi Minamata, melainkan menjadi produsen merkuri. Bahan baku merkuri yang tersedia di Maluku, sinabar --batu cokelat kemerahan berisi sulfida merkuri, memicu munculnya tempat-tempat produksi merkuri di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu yang terbesar di Sukabumi, Jawa Barat.
“Temuan tim kami yang ke sana membenarkan, sinabar yang diolah berasal dari Pulau Seram, Maluku,” kata Koordinator Blacksmitch Institute Indonesia, Budi Susilorini. (Baca: )
Blacksmitch Institute ialah organisasi nirlaba internasional yang bergerak di sektor lingkungan di negara-negara berkembang.
Penambang emas di Gunung Botak, Kabupaten Buru. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Salah satu daerah dengan masalah pencemaran merkuri ialah Maluku. Maluku, selain menghasilkan sinabar yang notabene bahan baku merkuri, juga menggunakan merkuri pada tambang-tambang emas ilegal yang berada di Buru.
ADVERTISEMENT
Data Medicuss Foundation, organisasi kemanusiaan beranggotakan dokter dan tenaga medis, menunjukkan bahwa darah penduduk Pulau Buru yang tinggal dekat penambangan sudah mengandung merkuri melampaui ambang batas.
Beberapa warga pun ditemukan telah terdampak langsung merkuri, seperti bayi yang lahir cacat, dan penyakit-penyakit lain yang kini menyerang masyarakat setempat.
Namun upaya pemerintah menutup tambang emas ilegal yang menggunakan merkuri di Buru sebelum 2017 itu, berlarut-larut. Tambang liar di Gunung Botak yang beroperasi sejak 2011, baru ditutup akhir 2015 --dan diserbu kembali setahun kemudian ketika aparat ditarik turun dari sana.
Sulitnya menutup area tambang bermekuri ialah karena tak ada perintah tegas dari pemerintah tegas dari pemerintah pusat. Selama ini, penutupan hanya diserahkan kepada pemerintah daerah, sedangkan oknum pemerintah sendiri, termasuk aparat, ada yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya amat penting upaya penutupan tambang bermekuri diambil alih langsung oleh pemerintah pusat. Meski menutup tambang rakyat berskala kecil ialah kebijakan tak populis, hal tersebut penting dilakukan demi masa depan bangsa --yang terancam limbah merkuri.
Mengangkat karung isi batuan di Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Selain kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan yang ditimbulkan, tambang emas ilegal juga membawa kerugian besar bagi pemerintah. Sebab tak satu rupiah pun uang hasil penambangan itu masuk ke kas negara, baik dalam bentuk retribusi atau pajak.
Belum lagi dampak sosial yang tak kalah meresahkan. Beberapa pegawai Rumah Sakit Umum Namlea di Buru mengatakan, mereka sering menerima korban bacokan karena pertikaian di lahan tambang ilegal pada 2012.
“Kasus HIV pun meningkat sejak ada tambang,” kata Kepala Bagian Pelayanan dan Perawatan Medis RSU Namlea, Una Soamole, kepada kumparan di kantornya, Sabtu (11/3).
ADVERTISEMENT
Situasi tersebut mendapat perhatian dari Pangdam Pattimura Mayjen Doni Monardo. Selain membantu pengamanan area tambang liar dengan menurunkan pasukan, ia juga menginisiasi usulan program Emas Hijau dan Emas Biru. (Baca: )
Emas Biru yakni budi daya ikan kerapu di Maluku, sedangkan Emas Hijau ialah program penghijauan meliputi pembibitan, pembudidayaan, dan penanaman pohon. (Baca: )
Dengan Emas Biru dan Emas Hijau, Doni bersama Pemerintah Daerah Maluku hendak mengembalikan para penambang ke profesi semula mereka sebagai petani dan nelayan.
Keramba ikan di Kab. Seram Barat, Maluku. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Selain upaya daerah, pemerintah pusat perlu pula menyusun berbagai solusi strategis dengan memperhatikan kepentingan warga sekitar.
Meski saat ini tambang emas Gunung Botak di Buru telah ditutup, masih ada 800-an lagi pertambangan emas bermerkuri di seluruh Indonesia yang juga harus segera ditutup.
ADVERTISEMENT
Jangan biarkan pencemaran merkuri membunuh generasi mendatang.
Penertiban penambang liar di Gunung Botak. (Foto: Dok. Kapolres Kepulauan Buru)