KONTEN SPESIAL: Yang Bisu Tuli, Yang Mengaji

Cara Mereka yang Tuli Mengaji

23 Mei 2019 14:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KONTEN SPESIAL: Yang araBisu Tuli, Yang Mengaji Foto: Argy Pradypta / kumparan
zoom-in-whitePerbesar
KONTEN SPESIAL: Yang araBisu Tuli, Yang Mengaji Foto: Argy Pradypta / kumparan
ADVERTISEMENT
“Saya punya anak tunarungu usia saat ini 10 tahun. Saya mengalami sendiri betapa sulitnya mendapatkan sekolah yang bisa mengajarkan ilmu agama dan umum,” kata Mukhlisin menceritakan alasan yang melatarbelakangi berdirinya Rumah ABATA kepada kumparan. Lembaga pendidikan dengan model pondok pesantren yang para santrinya merupakan anak-anak Tuli itu ia rintis bersama sang istri sejak Oktober 2016 silam.
ADVERTISEMENT
Ustaz Lisin, begitu ia kerap disapa oleh para santrinya, mulanya akan menyekolahkan putri sulungnya di sebuah sekolah asrama di Wonosobo, Jawa Tengah. Namun niat itu urung terwujud. Ia tidak sreg karena sekolah itu tak bisa memfasilitasi pendidikan agama Islam untuk sang putri.
Alih-alih mencari sekolah lain, di benaknya malah muncul ide untuk membuat lembaga pendidikan sendiri. Terlebih, ia prihatin dengan tingginya biaya pendidikan untuk anak Tuli yang tak jarang membuat orang tua kewalahan.
“Anak saya punya teman-teman seusia yang juga tunarungu, kebetulan dari ekonomi yang kurang,” terang Ayah tiga anak itu.
Ia bermimpi membuat pesantren yang bisa memberi ilmu agama kepada anak Tuli secara cuma-cuma. Semenjak saat itu, kediaman pribadi Mukhlisin di Kelurahan Mungseng, Temanggung, disulap menjadi sebuah pondok pesantren bernama Rumah ABATA. Pria 39 tahun itu merancang Rumah ABATA sebagai tempat pendidikan tahfiz--menghafal--Al-Quran bagi anak-anak Tuli.
KONTEN SPESIAL: Rumah ABATA, Pesantren Tunarungu di Temanggung Foto: Dok. Rumah ABATA
Mau tak mau, sebelum anak Tuli menghafal Al-Quran, mereka terlebih dulu harus diajarkan membaca. Upaya untuk membuat anak Tuli bisa membaca Al-Quran dengan suara menjadi tantangannya. Mereka, kata Mukhlisin, tak pernah mendengar input suara.
ADVERTISEMENT
Jadi, ada kesulitan mengucapkan sesuatu yang tidak pernah didengar. Masalahnya, menurut Mukhlisin, masih jarang metode mengajarkan anak Tuli belajar Al-Quran dengan mengucapkan bacaan. Kebanyakan pendekatan yang ada masih menggunakan bahasa isyarat.
Mukhlisin bereksperimen menggunakan huruf hijaiyah untuk melatih santri Rumah ABATA memproduksi suara. Hasilnya ternyata lebih menggembirakan ketimbang menggunakan huruf latin.
“Keunggulan hijaiyah ini lebih cocok untuk anak tunarungu. Alif, Ba, Ta itu kan untuk memacu anak berproduksi suara, menjadi lebih mudah dibandingkan huruf yang biasa,” paparnya.
Metode yang dikembangkan Mukhlisin juga menggunakan bantuan visual dengan gerakan tertentu. Tujuannya, menurut dia, untuk mempermudah anak-anak Tuli membedakan makna kata yang pelafalannya hampir sama.
“‘Pizza’ sama ‘pisang’ itu kalau anak tuna rungu kan melihatnya sama. Tapi bagi kita beda makna, beda maksud. Nah itu perlu dikasih bantuan gerakan misalkan pisang itu ada ‘ng’nya, ‘ng’ itu disentuh bagian wajahnya, (misalnya) hidung,” Mukhlisin mencontohkan metode visual yang dimaksudnya.
ADVERTISEMENT
Meski secara teori mudah diucapkan, penerapannya tak gampang. Santri perlu waktu lama hingga mahir membaca dan melafalkan huruf hijaiyah. Pertama-tama, para santri dibekali kemampuan memproduksi suara. Proses ini saja bisa memakan waktu sampai satu tahun.
Selanjutnya suara yang dihasilkan digunakan untuk membentuk kata hingga kalimat. Targetnya, tiap santri menguasai 500-1.000 kosakata untuk bekal berbahasa. Meski makan waktu lama, Mukhlisin optimistis santri Tuli bisa mahir membaca Al Quran.
Ia mengaku tak memberi target jumlah hafalan Al-Quran santri. Sebab, memang tak mudah mengajarkan anak Tuli, apalagi untuk membaca Al-Quran. Tantangan itu yang sehari-hari dihadapi staf pengajar Rumah ABATA. “Perbandingan capeknya, anak normal 10 sama anak tunarungu 1, masih capek di satu (yang tuli),” kata Mukhlisin.
ADVERTISEMENT
Apalagi, anak Tuli cenderung punya emosi yang meledak-ledak. Mereka sering tak bisa mengungkapkan keinginannya kepada orang lain. Biasanya, santri yang baru masuk akan diberi penanganan aspek emosi terlebih dulu.
KONTEN SPESIAL: Staf pengajar dan para santri Rumah ABATA Foto: Dok. Rumah ABATA
“Di pesantren tunarungu itu banyak barang pecah, lemari pecah, pintu jebol, itu kejadian setiap hari. Setiap hari ada suara diaaar...diaaaar....karena mereka enggak dengar kan, marah dikit pintu ditendang,” tutur Mukhlisin.
Setelah tiga tahun berdiri, Rumah ABATA kini punya 24 orang santri Tuli yang menimba ilmu agama dan mempelajari Al Quran. Mereka bahkan datang dari berbagai kota di luar Jawa Tengah seperti Cikarang, Bogor dan Jakarta.
Selain Mukhlisin, ada pula Tri Purwanti yang berusaha mendekatkan anak Tuli kepada Al-Quran. Wanita asal Yogyakarta itu merupakan pendiri Sekolah Luar Biasa (SLB) Islam Qothrunnada di Bantul pada 2015 lalu. Berbeda dengan Rumah ABATA yang dikhususkan untuk santri tuna rungu, Purwanti juga menerima siswa-siswa penyandang autisme, tuna grahita hingga tuna daksa.
ADVERTISEMENT
Namun, ia mengembangkan metode khusus untuk mengajarkan anak Tuli membaca Al-Quran yang dinamai Amaba. Nama itu diambil dari tiga huruf hijaiyah pertama yang diajarkan kepada murid Tulinya. Metode ini sebenarnya mirip dengan ABATA. Perbedaannya terletak pada urutan huruf yang diajarkan saja.
Bila huruf hijaiyah dimulai dari Alif, Ba, Ta, Tsa, Ja, Ha, Kho…, maka bagi anak Tuli Purwanti memodifikasinya menjadi A, Ma, Ba, Wa, La, Fa, To...dan seterusnya.
“Jadi urutannya itu yang sudah berubah. Berubah disesuaikan dari mudahnya, kan kalau terapi wicara tahap demi tahap,” Purwanti menjelaskan detail soal metode Amaba ciptaannya.
Metode yang sama pernah ia terapkan ketika masih menjadi guru honorer di sebuah SLB negeri. Saat itu, metode Amaba terbukti efektif memudahkan anak-anak mempelajari huruf hijaiyah sekaligus bisa meningkatkan kemampuan wicara. Namun metode ciptaannya itu justru ditentang oleh guru lain.
ADVERTISEMENT
“Kalau senior bilang ‘metode apa itu? metode ecek-ecek’,” kenangnya saat dihubungi kumparan.
Belakangan, metode Amaba malah dilarang digunakan di SLB itu. Tetapi, Purwanti mendapat dukungan dari orang tua murid. Mereka sampai datang ke rumah Purwanti, meminta agar anaknya diajarkan mengaji.
“Di rumah sebenarnya tidak mau buka wong waktu itu anak saya masih bayi, repot juga. Tapi wali murid itu pada minta, pokoknya minta tolong Bu Pur ini anak saya, saya titip,” ujar Purwanti dengan logat Jawanya yang kental.
Guru mengajari siswa penyandang tuna rungu menghafal ayat Al-Quran dengan metode membaca gerak bibir saat mengikuti Pesantren Kilat Pondok Ramadan Tuna Rungu di SLB B Prawestri, Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (17/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Metode Amaba masih menggunakan bantuan isyarat tangan. Menurut Purwanti, tujuannya membantu anak Tuli mengontrol suaranya.
“Setelah kita pelajari mereka bisa mengontrol suaranya dengan bantuan isyarat sehingga bantuan isyarat itu yang kita pakai sebagai titian untuk memudahkan mengingat dan membedakan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Tetapi, metode ini tetap menemui tantangan. Bagaimanapun, bahasa Arab punya karakteristik khas khususnya dalam artikulasi. Apalagi, ada huruf yang harus didengungkan dan diucapkan melalui tenggorokan. Menurut Purwanti, hal semacam itu sulit diajarkan kepada anak Tuli.
Karena itu, ia terus berusaha menyempurnakan metode Amaba. Saking seriusnya, ia punya semacam laboratorium bahasa di rumahnya. Ada beberapa anak yang terlibat di laboratorium itu.
Mereka diberi penanganan yang berbeda, dan dipantau perkembangannya. Dari penerimaan siswa terhadap metode itulah Purwanti bisa mengevaluasi kelebihan dan kekurangan pendekatannya bagi anak Tuli.
“Cuma ada empat anak (tuna rungu) yang kita tangani. Kita fokuskan untuk pengembangan. Laborat lah ibarate,” kata dia.
Dari sana pula Purwanti menciptakan varian-varian metode Amaba. Sebab, menurutnya, setiap anak khas, sehingga perlu pendekatan spesifik. Anak yang satu akan berbeda penerimaannya terhadap metode tertentu dibanding anak yang lain.
ADVERTISEMENT
“Enggak hanya satu cara yang dipatenkan karena subjek yang kita tangani masing-masing anak berbeda,” paparnya.
Guru mengajari siswa penyandang tuna rungu menghafal ayat Al-Quran dengan metode membaca gerak bibir saat mengikuti Pesantren Kilat Pondok Ramadan Tuna Rungu di SLB B Prawestri, Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (17/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Kini, beberapa murid tunarungunya sudah mulai naik kelas dari membaca huruf hijaiyah ke Al-Quran. Selain fokus pada pengembangan metode Amaba, Purwanti juga tengah mempersiapkan SLB Islam Qothrunnada menjadi sekolah percontohan Al-Quran. Untuk segera mewujudkannya, Purwanti pun memadukan metode Amaba dengan metode Ummi yang telah terstandarisasi dan digunakan di sekolah umum.
Purwanti menyimpan mimpi mengubah status SLB Qothrunnada menjadi pondok pesantren bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang tercatat di Kementerian Agama. Namun, cita-cita itu tersandung kebijakan dari Kemenag soal perizinan yang disamakan dengan pesantren umum.
“Harus mengajarkan kitab kuning. Jangankan kitab kuning, kita ngajarkan tahfiz saja, misalnya ada 1.000 anak berkebutuhan khusus, hanya satu yang mampu,” keluh Purwanti.
ADVERTISEMENT
Baginya, anak berkebutuhan khusus punya hak yang sama untuk mempelajari Islam. Ia berharap Kemenag juga peka terhadap kebutuhan mereka.
Yang jelas, perkembangan metode membaca dan menghafal Al-Quran di Indonesia hingga saat ini masih minim sentuhan pemerintah. Inisiatif dari orang-orang seperti Mukhlisin dan Purwanti yang selama ini menjadi penggeraknya.
Muchlis Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kemenag, mengaku lembaganya belum banyak menggarap pemenuhan kebutuhan spiritual bagi kaum Tuli. “Kami belum mempunyai pola untuk pembelajaran Al Quran di kalangan komunitas Tuli,” kata Muchlis.
Muchlis Hanafi. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
Kondisi ini berkebalikan dengan perlakuan pemerintah pada penyandang tuna netra. Kebutuhan mereka telah terfasilitasi lewat Keputusan Menteri Agama No. 25 yang terbit tahun 1984. Keputusan itu menetapkan Mushaf Al Quran braille bagi tunanetra sebagai salah satu Mushaf Alquran Standar Indonesia.
ADVERTISEMENT
Muchlis menjelaskan, hal itu disebabkan minimnya informasi komunitas Tuli ke Kemenag. Ia berjanji akan berkoordinasi dengan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan untuk mengatasi kesenjangan itu.
Ia menegaskan komitmen pemerintah agar komunitas Tuli mendapat hak memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah. “Kalau yang tuna rungu ini kita belum punya polanya, tapi saya kira ke depannya ini menjadi PR kita ya,” terang pria 48 tahun itu.
Simak cerita selengkapnya dalam topik Yang Bisu Tuli Yang Mengaji.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten