MK: Syarat Capres Menang 20% Tiap Provinsi Tak Berlaku Jika 2 Paslon

30 September 2019 18:37 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman memimpin sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman memimpin sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan terkait uji materi UU Pemilu dengan nomor perkara 39/PUU-XVII/2019. Gugatan itu dilayangkan oleh tiga orang yakni Ignatius Supriyadi, Antonius Cahyadi, dan Gregorius Yonathan Deowikaputra.
ADVERTISEMENT
Dalam putusannya, MK mengabulkan seluruh permohonan pemohon yang mempersoalkan syarat terpilihnya presiden dan wakil presiden di Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Berikut bunyi pasalnya:
Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Majelis hakim MK menyatakan Pasal tersebut tidak berlaku jika Pilpres hanya diikuti 2 pasangan calon.
"Mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (30/9).
ADVERTISEMENT
"Menyatakan Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak berlaku untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon'," lanjut Anwar.
Majelis hakim MK menyatakan ketentuan di Pasal 416 ayat (1) sama dengan bunyi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang telah dibatalkan melalui putusan nomor 50/PUU-XII/2014.
"Menimbang bahwa dengan memaknai secara tepat dan benar serta tidak terdapat alasan yang kuat untuk menghidupkan kembali norma yang telah pernah dinyatakan inkonstitusional," ucap majelis MK.
Joko Widodo dan Prabowo Subianto memberikan keterangan pers di stasiun MRT Senayan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sebelumnya MK dalam putusan nomor 50/PUU-XII/2014 menegaskan jika Pilpres hanya diikuti dua paslon, maka paslon yang terpilih adalah paslon yang memperoleh suara terbanyak. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Sehingga tidak perlu dilakukan putaran kedua sebagaimana ketentuan di Pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya para pemohon menggugat Pasal tersebut lantaran ketentuan yang ada di dalamnya menimbulkan polemik di masyarakat.
Sebab beredar informasi yang menyebutkan Jokowi-Ma'ruf Amin tidak dapat dilantik sebagai presiden dan wapres jika tidak memenuhi syarat-syarat di Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu. Padahal Pilpres 2019 hanya diikuti dua paslon. Terlebih ketentuan di Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu hanya copy-paste Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres.
"Adanya polemik atau perdebatan itu semakin membuat keadaan atau kondisi berbangsa dan bernegara ini tidak dapat segera pulih setelah dalam beberapa bulan masa kampanye terpolarisasi. Dan bahkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah menimbulkan gesekan psikologis dari elemen anak bangsa yang harus segera dihentikan demi utuhnya bangsa dan negara," ucap pemohon.
ADVERTISEMENT
"Jadi, sangat tidak terbayangkan apa yang akan terjadi jika Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti dua pasangan calon harus diulang berkali-kali karena tidak ditentukan melalui suara terbanyak melainkan syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu," tutupnya.