Muhammadiyah: Hati-hati Memberi Stempel Radikal

8 Juni 2018 6:42 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Umat Islam melaksanakan Salat di Masjid Istiqlal. (Foto:  Aditia Noviansyah)
zoom-in-whitePerbesar
Umat Islam melaksanakan Salat di Masjid Istiqlal. (Foto: Aditia Noviansyah)
ADVERTISEMENT
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyebut ada 30 masjid di Jakarta yang terpapar radikalisme. Isu yang ternyata berasal dari data Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid itu menuai pro kontra.
ADVERTISEMENT
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidangi Pustaka dan Informasi, Dadang Kahmad, mengingatkan agar pemerintah atau siapa saja tidak mudah memberi label radikal pada kelompok masyarakat atau orang.
"Pertama, sangat memprihatinkan bila itu terjadi bahwa masjid dipakai sebagai persemaian radikalisme. Tapi kita harus hati-hati mengecap atau memberi stempel radikal kepada kelompok orang, harus hati-hati," ucap Dadang Kahmad dalam keterangannya, Kamis (7/6).
"Indikatornya harus jelas dan kuat, berdasarkan hasil penelitian dan mungkin tidak didasarkan pada kebencian pada satu kelompok," imbuh Guru Besar Sosiologi Agama UIN Bandung itu.
Dadang khawatir pemberian stempel radikal --yang dikonotasikan dengan terorisme-- karena kedengkian atau ketidaksenangan kepada suatu kelompok. Dia mengingatkan jangan sampai orang yang ingin menegakkan syariat Islam dianggap radikal.
ADVERTISEMENT
"Radikal itu sendiri dalam konteks filsafat berpikir yang sangat dasar dan keakar-akarnya, tapi sekarang radikal itu diartikan sesuatu yang intoleran, dan lain sebagainya," ucapnya.
Dadang enggan mengamini isu masjid terpapar radikalisme karena belum ada konfirmasi, baru klaim sepihak Sandi atau Allisa Wahid. Begitu juga Muhammadiyah belum menguji isu tersebut. Menurutnya, isu ini lebih tepat dirilis oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Sekarang banyak orang-orang yang keislamannya mulai tumbuh, dan mereka sangat punya keinginan melaksanakan ajaran Islam secara individu untuk mendekatkan kepada Allah SWT. Itu jangan dianggap sebagai orang yang ingin menegakkan syariat Islam atau ingin menjadikan negara Islam," paparnya.
ADVERTISEMENT
"Harus dipisahkan antara kesalehan individu yang ingin mendekatkan diri kepada Allah mungkin, dengan menampilkan ukuran-ukuran zaman Rasulullah dalam berpakaian, dan sebagainya," imbuh pengurus Muhammadiyah asal Bandung itu.
Massa aksi reuni 212 di Masjid Istiqlal Jakarta (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Massa aksi reuni 212 di Masjid Istiqlal Jakarta (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Adanya 40 masjid di Jakarta yang terpaparkan radikalisme pertama kali diungkapkan oleh Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid saat mengikuti acara bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Senin (4/6). Salah satu peserta acara yang juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menyebutkan paparan Alissa kepada wartawan.
"Misalnya (disampaikan) oleh Mbak Alisa Wahid, sekitar 40 masjid yang dia survei di kawasan DKI itu penceramahnya atau khatibnya radikal. Mengajarkan radikalisme dan intoleransi," kata Azyumardi Azra, yang ikut menyimak paparan Alissa, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/6).
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut kemudian dibenarkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan. Bahkan, Budi menyebut tidak hanya masjid, tetapi juga pondok pesantren dan rumah singgah juga telah terindikasi.
Wagub DKI Sandiaga Uno lalu menggunakan data itu dan menyebut ada 30 masjid yang terpapar radikalisme. Namun Sandi enggan mengungkap masjid itu.
"30 itu kami juga sudah punya datanya di teman-teman Biro Dikmental dan Bazis, akan kita arahkan ke kegiatan kita lebih banyak ke sana,” ujar Sandi di Balai Kota, Jakarta, Selasa (5/6).