MUI Setuju Zina Diatur di Revisi KUHP: Kalau Dibiarkan, Jadi Tradisi

21 September 2019 16:18 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pegawai berjalan melewati meja resepsionis kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pegawai berjalan melewati meja resepsionis kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia (MUI) setuju Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perzinaan. Komisi Hukum MUI, Ikhsan Abdullah, mengatakan sejumlah usulan dari MUI telah diakomodir oleh DPR dan dimasukkan dalam revisi KUHP.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut termasuk perluasan makna dalam perbuatan perzinaan yang dilakukan di masyarakat.
"Perluasan mengenai perzinaan itu masuk, artinya kalau versi KUHP, kumpul kebo tidak masuk dalam kategori itu, nah ini kan ternyata kan masuk, diakomodasi sebagai nilai baru. Bukan berarti menciptakan pidana baru, tidak. Tapi nilai baru yang memang sesuai dengan kultur di Indonesia," kata Ikhsan dalam diskusi tentang Revisi KUHP di Kawasan Menteng. Jakarta Pusat, Sabtu (21/9).
Ikhsan mengatakan, dalam revisi KUHP, zina berlaku bagi setiap orang, termasuk anak muda yang melakukan persetubuhan di luar ikatan pernikahan.
Sementara dalam KUHP saat ini, makna zina berlaku laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah. Menurutnya, kumpul kebo juga temasuk dalam konteks perzinaan.
ADVERTISEMENT
"Perzinaan itu adalah konteksnya hubungan persetubuhan laki dan perempuan, di luar pernikahan. Artinya ketika mereka tidak menikah, kemudian melakukan hubungan itu, masuk ke dalam kriteria perzinaan," ujarnya.
"Nah ini kan, misalnya anak muda suka sama suka (melakukan hubungan badan), (di KUHP sekarang) tidak masuk, enggak kena. Yang kumpul kebo pun, tiap hari melakukan hubungan sebadan, ya (selama ini dianggap) no problem," ujar Ikhsan.
MUI khawatir, jika hal ini tak diatur, maka zina lama-lama akan dianggap sebagai hal yang biasa dan bahkan menjadi tradisi di kalangan masyarakat.
"Nah kalau dibiarkan masyarakat jadi tradisi, menjadi hal-hal yang diterima, bahaya kan? Enggak sesuai dengan kultur mana pun, termasuk adat ataupun agama kita apakah muslim, Hindu, Budha, Kristen, semua melarang itu," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Ketika disinggung mengenai penolakan dari sejumlah masyarakat karena dianggap multitafsir dan menyangkut hal privat, Ikhsan mengatakan, perbuatan zina dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, sehingga pemerintah ikut andil dalam fenomena tersebut.
"Urusan moral itu bukan hanya urusan pribadi tapi urusan moral negara, urusan pemerintah. Yang di mana, hukum negara harus hadir dan di dalam semua nilai-nilai apapun harus terkandung di dalamnya," imbuhnya.
Dalam pasal 417 RKUHP, seseorang yang melakukan seks di luar nikah (zina) bisa dipidana maksimal 1 tahun penjara.
"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II."
Sementara itu, larangan terkait kumpul kebo tertuang dalam pasal 419 RKUHP. Pasal itu menyebut, pasangan yang belum menikah namun hidup dalam satu rumah (kumpul kebo) juga dipidana maksimal 6 bulan penjara.
ADVERTISEMENT
"Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak kategori II".
Sama seperti pasal perzinaan, proses hukum terhadap pasangan tersebut hanya bisa dilakukan atas laporan suami, istri, orang tua, atau anak yang bersangkutan.
"Tapi yang berhak mengadukannya dibatasi, hanya suami, istri, anak, dan orang tua. Jadi kalau pun dilakukan oleh pejabat desa, itu harus dengan izin tertulis orang tua, anak, istri, dan pengaduannya dapat ditarik oleh yang bersangkutan," jelas Yasonna di Kemenkumham, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).