MUI Tegaskan Memberi dan Menerima 'Serangan Fajar' Haram

16 April 2019 21:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pegawai berjalan melewati meja resepsionis kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pegawai berjalan melewati meja resepsionis kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah calon legislatif diduga mulai gerilya melancarkan serangan dengan membagi-bagikan uang jelang pemilu yang berlangsung Rabu (17/4). Di Bogor, Jawa Barat, seorang warga melaporkan adanya dua caleg DPRD Kota Bogor dari Partai Hanura dan Perindo membagikan amplop ke setiap rumah.
ADVERTISEMENT
Di Kabupaten Gianyar, Bali, Bawaslu juga menemukan adanya caleg DPRD yang membagi-bagikan duit ke warga. Tepatnya di Kawasan Blahbatu, Tengalalang, Kabupaten Gianyar. Para caleg ini membagi-bagikan uang sebelum hari pencoblosan.
Praktik bagi-bagi uang itu sering disebut juga 'serangan fajar', meski dilakukan bukan pada pagi hari. Secara hukum, tindakan itu tidak boleh dilakukan. Tindakan itu bisa berujung pidana. Dalam agama, sudah difatwakan sebagai perbuatan haram.
Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada 25-29 Juli 2000, telah membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat.
"Sidang tersebut kemudian menyepakati bahwa memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam, saat dihubungi, Selasa (16/4).
ADVERTISEMENT
Niam mengatakan penjelasan haramnya memberi dan menerima 'serangan fajar' itu tertuang dalam hasil ijtima ulama Komisi Fatwa Indonesia tahun 2009 di Banjarmasin tentang permintaan dan atau pemberian imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Ketua MUI yang membidangi fatwa Prof.Dr.Hj Huzaemah (kiri) Ketua komisi fatwa MUI Indonesia Hasan Huesein Abdul Fatah (tengah) dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh (kanan). Foto: Helmi Afandi/kumparan
Ketentuan Hukum
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenangannya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
ADVERTISEMENT
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Rekomendasi
1. Pemerintah harus mengupayakan suatu sistem pemerintahan yang efisien, sistem politik yang didasarkan pada kompetensi, kualitas, dan integritas, serta menutup dan menghentikan sistem politik biaya tinggi yang akhirnya terjebak pada perilaku koruptif, sehingga aktivitas politik didominasi oleh kelompok pemodal yang memiliki akses finansial semata.
2. Perlu ada penegakan hukum yang keras dan tegas terhadap praktik money politics, suap, dan transaksi ilegal dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan pejabat publik seperti presiden, kepala daerah, anggota legislatif, anggota BPK, hakim agung, dan pejabat negara lainnya.
ADVERTISEMENT
3. Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktik hal-hal tersebut.