Mungkinkah Aceh Terapkan Hukuman Cambuk bagi Koruptor?

2 Agustus 2019 15:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polisi syariat Islam di Banda Aceh kembali menjatuhkan eksekusi hukuman cambuk terhadap pasangan gay. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Polisi syariat Islam di Banda Aceh kembali menjatuhkan eksekusi hukuman cambuk terhadap pasangan gay. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penerapan syariat Islam di Aceh kerap menjadi sorotan publik. Terutama eksekusi hukuman cambuk yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Di antaranya bagi mereka yang berkhalwat (zina), hingga maisir (minum minuman keras).
ADVERTISEMENT
Namun, apakah hukuman cambuk itu bisa diterapkan bagi koruptor di Tanah Rencong?
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Abdullah Saleh, mengatakan, untuk sementara belum ada produk hukum (qanun) yang dilahirkan oleh legislatif bagi pelaku korupsi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan koruptor di Aceh bakalan dikenakan hukum syariah ke depannya.
Hukuman bagi pelaku korupsi belum tercantum dalam qanun jinayah dan masih tunduk kepada hukum negara. Sebab, dalam hal melahirkan qanun, perlu proses kajian panjang serta melihat seberapa gawat perilaku korupsi di Aceh.
“Tidak menutup kemungkinan ke depan qanun yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku korupsi bisa ditetapkan. Semakin kencang tuntutan publik maka DPRA pasti harus menyahuti aspirasi masyarkat,” kata Abdullah Saleh, kepada kumparan Jumat (2/8).
ADVERTISEMENT
Abdullah Saleh menjelaskan, belum diterapkannya hukum jinayah bagi koruptor, salah satunya dikarenakan negara sudah cukup aktif melakukan penindakan terhadap koruptor. Terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Hukuman bagi pelaku korupsi ini masih tunduk ke pidana umum (hukum nasional). Tetapi kalau dorongan penerapan syariat atau qanun tentang korupsi (rasuah), desakan publik atau masyarakat sudah kuat. Kebijakan pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif untuk melahirkan qanun juga bisa lebih cepat,” sebutnya.
Sebagai lembaga yang melahirkan produk hukum (qanun), Abdulllah menjelaskan, qanun tentang pelaksanaan syariat islam di Aceh, katanya dilaksanakan secara gradual (bertahap).
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Dimaksud bertahap diawali dengan beberapa delik atau tindak pidana (jarimah) yang sifatnya sangat berpengaruh di masyarakat. Seperti persoalan akidah, khamar, maisir, dan khalwat.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut lebih dulu ditetapkan dalam qanun jinayah yang kemudian dalam pelaksanaannya, bagi setiap pelanggar dikenakan hukum cambuk. Sementara hukum rajam dan potong tangan belum dilaksanakan.
“Rajam belum kita masukkan karena ini lebih berat lagi dampak dari pelaksanaan rajam juga lebih besar, begitu juga dengan sanksi potong tangan. Ini perlu lebih kajian mendalam makanya belum ke sana.
Abdullah menyebutkan dalam politik pembuatan qanun, institusinya melihat mana sudah lebih dulu mendesak dan harus segera dibuatkan qanun. Sebab jika dilahirkan secara bersamaan, masyarakat sontak akan terkejut dan tidak siap menerima.
“Jika penerapan qanun secara serentak tentu masyarakat kita belum tentu siap. Makanya kebijakan menerapkan produk hukum secara umum juga melihat kesadaran hukum di tengah masyarakatnya. Karena jika tidak, sesudah melahirkan produk hukum dan masyarakat tidak menerima maka akan menimbulkan konflik,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT