Muslimah Swedia yang Tolak Jabat Tangan Pria Menang di Pengadilan

17 Agustus 2018 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Farah Alhajeh
 (Foto: Twitter @FarahAlhajeh)
zoom-in-whitePerbesar
Farah Alhajeh (Foto: Twitter @FarahAlhajeh)
ADVERTISEMENT
Seorang Muslimah di Swedia memenangkan gugatan atas kasus diskriminasi yang dialaminya ketika wawancara kerja di sebuah perusahaan. Ketika itu, dia diusir karena menolak menjabat tangan seorang pria dengan dasar ajaran agama yang diyakininya.
ADVERTISEMENT
Diberitakan New York Times, pengadilan Stockholm memenangkan Farah Alhajeh dalam gugatan diskriminasi kepada perusahaan Semantix pada Rabu (15/8). Perusahaan penerjemah tersebut diwajibkan membayar kompensasi 40 ribu krona atau lebih dari Rp 63 juta kepada wanita 24 tahun itu karena dinyatakan diskriminatif.
Diskriminasi terhadap Farah terjadi pada Mei 2016 ketika dia diwawancara untuk pekerjaan penerjemah Semantix di kota Uppsala, utara Stockholm. Ketika itu pewawancara memperkenalkan Farah pada bosnya yang seorang pria.
Farah yang menolak menjabat tangan pria meletakkan tangannya di dada sebagai bentuk salam dan tersenyum. Dia juga menjelaskan menghindari kontak fisik karena dia seorang Muslimah. Namun yang terjadi kemudian, bos itu menunjuk ke lift, mengusirnya.
"Seperti ditinju di wajah. Itu pertama kalinya seseorang bereaksi, dan itu adalah reaksi yang keras," kata Farah, wanita yang sejak lahir tinggal di Uppsala, Kamis (16/8).
Ilustrasi kota Uppsala di Swedia . (Foto: Dok erasmusu.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kota Uppsala di Swedia . (Foto: Dok erasmusu.com)
Kasus ini diajukan ke pengadilan oleh ombudsman kesetaraan gender di Swedia. Semantix dalam pembelaannya mengatakan pengusiran itu dilakukan karena perusahaan mereka menjunjung kesetaraan antara pria dan wanita, termasuk dalam hal berjabat tangan.
ADVERTISEMENT
Namun pengadilan menyatakan tindakan Semantix adalah pelanggaran dari perlindungan atas kebebasan beribadah di Swedia yang diatur dalam Pasal 9 Konvensi HAM Eropa.
Farah menyambut baik keputusan pengadilan itu dan mengatakan tetap akan menjalankan praktik beragama yang dipahaminya.
Jabat tangan bukan kali ini saja jadi masalah di Eropa. Pada 2016, pria Muslim anggota Partai hijau Swedia mundur jadi calon anggota dewan setelah dikritik karena menolak berjabat tangan dengan perempuan, termasuk wartawan yang ingin mewawancarainya.
April lalu, seorang Muslimah keturunan Aljazair dibatalkan pemberian kewarganegaraan Prancisnya karena menolak menjabat tangan pejabat catatan sipil.