Najelaa Shihab: Pendidikan Berkualitas Bukan tentang Fasilitas

21 Februari 2019 11:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Najelaa Shihab. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Najelaa Shihab. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
“Eksklusif menunjukkan customer (siswa) itu bukan sekadar objek, tapi juga subjek dari pembelajaran.”
ADVERTISEMENT
Begitu kata Galih Pandikar di sela-sela kisahnya mendirikan Lavender, salah satu bimbingan belajar berfasilitas mewah dengan harga puluhan juta.
Bagi dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI itu, fasilitas yang diberikan kepada siswa berbanding lurus dengan penyerapan materi pembelajaran. Semakin eksklusif kelas maka kualitas belajar-mengajar semakin bagus.
Namun tak begitu menurut Najelaa Shihab, seorang pendidik sekaligus pendiri Kampus Guru Cikal. Dia punya pandangannya sendiri terkait bimbel-bimbel berbanderol puluhan juta rupiah yang kini tengah marak di Indonesia. Menurutnya pendidikan yang berkualitas sama sekali tidak bergantung pada fasilitas mewah.
“Kita bisa menyaksikan pendidikan yang sangat berkualitas di tengah sawah, di antara anak-anak yang tidur di emperan sama dengan yang tinggal di hotel mewah. Jadi sama sekali bukan tentang fasilitasnya,” tutur Najelaa saat ditemui kumparan di kediaman pribadinya, di kawasan Jeruk Purut, Rabu (20/2).
ADVERTISEMENT
Najelaa justru khawatir kalau fasilitas mewah yang ditawarkan di bimbel malah membuat siswa terdistraksi. Menurutnya, motivasi belajar siswa bisa tumbuh dari hubungan yang manusiawi, misalnya relasi dan kedekatan dengan guru yang mampu menggugah keinginan anak untuk berprestasi.
Najelaa Shihab. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
“Saya malah khawatir kalau kita fokusnya pada fasilitas, karena pendidikan itu esensinya sebetulnya hubungan, pada saat ada hubungan yang manusiawi, ada proses di mana guru itu punya kedekatan pada anak, itulah yang kemudian memunculkan motivasi.”
“Saya enggak yakin bahwa satu bimbel atau satu sekolah atau satu perguruan tinggi lebih baik dari yang lain kalau kita hanya melihat dari sudut fasilitasnya saja,” lanjutnya.
Bimbel karantina di Indonesia Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Meski tak setuju fasilitas mewah bimbel jadi faktor utama keberhasilan peserta didik merebut kursi PTN, Najelaa tak menampik bahwa bimbel tetap dibutuhkan karena beberapa alasan. Salah satunya karena sistem pendidikan sekolah yang belum mampu mengakomodasi kebutuhan siswa yang ingin mempersiapkan diri melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Bimbel karantina di Indonesia Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
“Di Indonesia, antara seleksi masuk perguruan tinggi dengan persiapan yang dilalui murid-murid SMA itu enggak selalu nyambung antara UN dengan SBMPTN.”
“Itulah mengapa bimbel seolah-olah menjadi solusi. Ini karena proses belajar mandiri itu enggak mudah. Kalau belajar di rumah, orang tua juga belum tentu punya kompetensinya,” terang dia.
Najelaa juga menegaskan bahwa fenomena bimbel sebagai akses belajar intensif di luar sekolah sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain. Efeknya tak melulu positif, proses pembelajaran di bimbel kerap dijadikan jalan pintas untuk menembus perguruan tinggi tertentu.
“Jadi saya enggak pernah percaya sama proses belajar yang instan. Nah, kalau kita bicara soal karantina satu minggu, sebulan, atau berapa pun itu biasanya yang terjadi adalah memang drilling untuk latihan soal. Untuk menghafal informasi-informasi yang hilangnya juga cepat, karena semata-mata teknis menyelesaikan soal ujian,” ungkap dia.
ADVERTISEMENT
Penulis buku “Memanusiakan Hubungan” itu pun menyoroti begitu padatnya waktu yang dhabiskan siswa untuk rutin mengikuti bimbel. Dia menyayangkan ketika tak sedikit dari mereka yang justru merasa terbebani hanya demi menuruti gengsi masuk perguruan tinggi ternama.
Najelaa Shihab. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Beban akademik yang terlalu berlebihan bisa bahaya bagi siswa sendiri. Najelaa mencontohkan di negara-negara Asia, ada anak-anak yang sampai bunuh diri, depresi, rendah diri, semata-mata karena kriteria suksesnya diterima atau tidak diterima di perguruan tinggi negeri.
Seharusnya, tolok ukur kesuksesan setiap anak juga dinilai dari kompetensi yang mereka miliki. Baik dari sisi kritis, kreativitas maupun kemampuan mereka berkolaborasi. Memiliki etika yang baik juga menjadi faktor yang tak kalah penting menurut ibu dari tiga anak itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang praktisi pendidikan, Najelaa menilai proses belajar sebaiknya menjadi pengalaman yang menyenangkan. Oleh sebab itu, ia menyarankan ada diskusi antara orang tua dan anak sebelum memutuskan untuk mengikuti bimbel tertentu. Jangan sampai anak-anak merasa terpaksa menjalaninya.
Najelaa Shihab. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Selain itu bimbel yang ideal tak melulu bicara soal fasilitas mewah dengan biaya fantastis. Penggagas jaringan publik bertajuk Semua Murid Semua Guru ini mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya menjangkau kalangan sosial ekonomi tinggi.
Perlu adanya afirmasi sehingga pendidikan berkualitas tidak hanya bisa dinikmati kalangan berduit. Terutama bagi mereka yang ingin memenangkan persaingan merebut satu kursi perguruan tinggi idaman.
“Pada saat kita bicara jalur penerimaan mahasiswa, perlu ada kombinasi. Kalau enggak, hanya akan ada sebagian kelompok masyarakat yang sebetulnya menikmati yang namanya pendidikan berkualitas, perlu ada afirmasi,” katanya.
ADVERTISEMENT
Simak story konten spesial lain selengkapnya dalam topik bimbel mewah.