Nasib yang Lebih Baik untuk Para Petani di Barambai

4 September 2019 12:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Padi menguning di sebuah sawah di Desa Kolam Kiri Dalam, Barambai. Kini, bertani di lahan sawah rawa di Kokida sudah jauh lebih mudah bagi masyarakat setempat. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
com-Padi menguning di sebuah sawah di Desa Kolam Kiri Dalam, Barambai. Kini, bertani di lahan sawah rawa di Kokida sudah jauh lebih mudah bagi masyarakat setempat. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
“Sekarang bertani di sini sudah enak,” kata Sugeng Hariyadi, seorang petani di Desa Kolam Kiri Dalam, Kecamatan Barambai, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Rabu (14/8) lalu. “Saluran air sudah bagus. Fasilitas diberikan pemerintah. Benih, pupuk, juga dikasih. Dulu, enggak seenak itu.”
Sugeng seolah hendak meyakinkan tim kumparan yang datang ke Kokida — demikian Desa Kolam Kiri Dalam disebut — untuk membeli lahan di desa tersebut. Menurut Sugeng, masih ada lahan di desa yang belum digarap dan dijual hanya Rp 10 juta untuk satu hektare. Sugeng mengajak kami menjadi petani.
“Kalau mau kerja keras, jadi petani itu enak, kok. Kita bisa nentuin jam kerja sendiri. Kalau mau kerja, ya kerja. Kalau lagi mau istirahat, ya bisa istirahat,” katanya.
Sugeng tidak bercanda. Sekarang, untuk mengolah tanah saja sudah ada traktor roda dua maupun roda empat yang tersedia dan dimiliki oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) setempat. Anggota-anggotanya bisa meminjam mesin-mesin tersebut jika dibutuhkan.
Sementara saluran air sudah tersedia dalam kondisi baik, dan kabarnya akan terus diperbaiki di masa depan. Saluran-saluran mikro maupun konektor juga terus dibangun untuk memastikan air yang masuk ke area sawah petani sudah dalam kondisi baik, dengan tingkat keasaman rendah.
com-Purwanto sedang mengatur pintu air yang mengatur arus air dari saluran sekunder ke saluran konektor. Foto: Deshana Ryan Prasastya/kumparan
Nasib petani-petani di Kokida seperti Sugeng saat ini memang sudah jauh lebih baik. Apalagi jika dibandingkan dengan petani-petani pendahulu Sugeng di Kokida.
Sugeng adalah salah satu petani generasi kedua di Kokida. Tanah yang ia garap merupakan bagian dari unit permukiman transmigrasi (UPT) yang diberikan pemerintah untuk ratusan keluarga dari Jawa dan Bali yang ikut program transmigrasi pada tahun 1970an. Seperti kebanyakan petani di Kokida, orang tua Sugeng juga merupakan petani.
Pengalaman orang tua Sugeng sebagai petani saat baru bertransmigrasi ke Kalimantan Selatan puluhan tahun lalu sangatlah berbeda. Menurut catatan Oekan S. Abdullah dalam bukunya, Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan, kehidupan para transmigran dari Jawa di Barambai awalnya sangat sulit.
“Pertama kali transmigran datang ke Barambai, mereka menghadapi keadaan yang sulit. Kondisi permukiman tergolong kurang memadai dan kondisi ekologisnya tidak sama dengan kampung halaman. Mereka merasa terganggu oleh banjir musiman karena daerahnya termasuk lahan pasang surut. Para transmigran harus bekerja keras menghadapinya,” tulis Oekan.
Hal serupa juga ditulis oleh Patrice Levang dalam buku Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia. Bahkan, para transmigran baru bisa menggarap lahannya setelah enam bulan.
com-Sebuah kanal air di Desa Kolam Kiri Dalam. Saluran air ini memastikan lahan persawahan di Kokida terus mendapatkan air dalam jumlah yang lancar sepanjang tahun. Foto: Rony B. Kuncoro/kumparan
“Bulan-bulan pertama digunakan untuk berjuang melawan air, menyiapkan tempat kering untuk perumahan dan mencetak sawah. Harapan untuk memperoleh panen pertama dimusnahkan oleh banjir,” tulis Levang.
“Dulu daerah ini rawa semua. Ada daratan ini juga karena ditimbun. Dulu jalan kami bikin sendiri, gotong royong. Enggak ada jalan kayak sekarang,” tambah Purwanto, Ketua Gapoktan Kokida I. Seperti Sugeng, Purwanto adalah petani generasi kedua di Kokida. Kedua orang tuanya bertransmigrasi dari Gunungkidul pada 1971, dan melanjutkan pekerjaan mereka sebagai petani di Barambai.
Begitu sulitnya kehidupan para transmigran generasi pertama di Kokida, membuat sebagian transmigran sampai memutuskan untuk meninggalkan Barambai. Ada yang pindah ke daerah lain seperti Banjarmasin untuk menjadi buruh, ada juga yang kembali ke Jawa setelah merasa putus asa.
Hal tersebut terus terjadi selama bertahun-tahun. Bisa dibilang, tidak semua transmigran yang datang ke Barambai bisa beradaptasi dengan kondisi lahan pasang surut di Barambai yang sangat berbeda dengan daerah asal mereka di Jawa atau Bali. Bahkan, hingga tahun 1988, tercatat sebanyak 464 keluarga, atau lebih dari setengah jumlah transmigran, memutuskan meninggalkan Barambai.
com-Sugeng, salah seorang petani sawah rawa di Desa Kolam Kiri Dalam, Barambai. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
Orang tua Purwanto dan Sugeng termasuk yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup di Barambai. Meski hasil tani mereka sangat terbatas karena sepanjang waktu hanya bisa menanam dan memanen sekali selama setahun, tetapi mereka yang bertahan sudah merasa cukup dengan apa yang didapat. Selain itu, rata-rata para petani di Kokida ketika itu memang memiliki pekerjaan lain di luar bertani — entah menjadi pekerja bayaran di lahan pertanian lainnya, ataupun menjadi buruh dan berwiraswasta.
Purwanto mengaku, sampai 2012, kondisi itu terus berlangsung. Ia juga termasuk yang memiliki penghasilan lain di luar bertani, termasuk dengan membuka warung di rumahnya untuk menambah penghasilan. Beruntung, pemerintah kemudian memberikan perhatian yang lebih besar bagi para petani di daerah ini.
Termasuk dengan memberikan perhatian terhadap saluran air yang membawa air dari Sungai Barito ke wilayah pertanian. “Pada umumnya, padi itu tidak memerlukan air banyak. Tetapi harus ada kelancaran dalam pengaturan airnya,” kata Purwanto. “Aslinya, tanah di sini itu tanah produktif. Cuma tata kelolanya — termasuk sistem pengairannya — saja yang belum betul.”
Salah satu perhatian yang diberikan pemerintah baru-baru ini adalah melalui program Serasi, yang merupakan kepanjangan dari Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani. Sesuai namanya, program yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian memang diarahkan sebagai usaha pemerintah untuk mengoptimalkan lahan rawa yang jumlahnya sangat banyak di seluruh nusantara, untuk menjadi lahan persawahan yang lebih produktif.
com-Purwanto, ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kolam Kiri Dalam I, di depan sebuah sawah rawa di Barambai. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
Termasuk juga lahan persawahan di Kokida. Salah satu program yang dijalankan di Kokida lewat program Serasi tahun 2019 ini adalah pengerukan dan pembersihan saluran air, baik saluran sekunder, tersier, maupun mikro. Purwanto menjelaskan, pengerukan saluran air menjadi program pertama yang diwujudkan lewat kerja sama Ditjen PSP dengan para petani di Kokida I.
“Jadi kita diberi bantuan yang jelas, satu untuk pembersihan sungai, yang kedua pembikinan saluran kolektor, yang ketiga pemasangan gorong-gorong, dan yang keempat adalah pembikinan saluran mikro,” terang Purwanto.
Tidak hanya itu, melalui program Serasi, para petani juga mendapatkan alat-alat seperti pompa maupun uang untuk kepentingan operasional gapoktan. Tak heran, Sugeng sampai mengatakan bahwa sekarang bertani sudah jauh lebih enak.
Jadi, Anda tertarik juga untuk menjadi petani?
Artikel ini merupakan hasil kerja sama dengan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian