news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nestapa Masyarakat Jawa di Tanah Rantau Bernama Kaledonia Baru

2 Mei 2018 13:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Beribu-ribu kilometer, sekitar ratusan hingga puluhan ribu masyarakat Jawa mengarungi lautan menuju pulau-pulau kecil di selatan Pasifik. Di sana mereka dijanjikan akan mendapatkan sebuah harta karun, berupa kehidupan yang lebih layak dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Pulau penuh janji manis itu bernama Kaledonia Baru. Alamnya begitu indah. Pantainya pun begitu tenang seakan bersahabat. Tetapi, itu baru sekilas atau selintas. Tantangan berat nyatanya telah menunggu masyarakat Jawa yang hijrah ke sana.
Orang Jawa generasi pertama di Kaledonia (Foto: Dok. Catherine Adi)
Didatangkan sebagai pekerja kontrak, mereka harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan. Sehari-hari mereka harus bekerja berat, tetapi mereka hanya diganjar gaji yang murah.
“Leluhur kita sampai harus merantau jauh ke wilayah Pasifik yang mereka sendiri tidak tahu ya karena itu ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, perjalanan waktu membuktikan bahwa sebagian besar pada awal-awal kedatangan mereka memang cukup menderita,” papar Widyarka Ryananta, Konsul Jenderal RI di Kaledonia Baru tahun 2014-2017, sekaligus penulis buku ‘Jejak Orang Jawa di New Caledonia’, kepada kumparan (kumparan.com) saat ditemui di kediamannya Jumat (27/4).
Widyarka Ryananta, Konjen RI untuk Kaledonia Baru. (Foto: Tomy W Utomo/ kumparan)
Dikutip dari buku Widyarka, cerita kelam pada awal menapak di Kaledonia Baru pernah dialami seorang warga bernama Zainin Ridwan. Empat tahun setelah Indonesia merdeka, Zainin merantau ke Kaledonia Baru. Pada awalnya dia begitu menderita saat bekerja di pertambangan chrome Chagrin di Provinsi utara bersama 10 pekerja dari Indonesia lainnya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Zainin harus bekerja keras di lokasi terpencil dengan peralatan seadanya. Setiap hari, dia harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer menuju lokasi tambang. Di sana, dia bekerja selama 8 jam mengebor bebatuan di dalam bukit dan harus melewati terowongan berdiameter 3 meter.
“Saya hanya bertahan 6 bulan di sana, saya memutuskan untuk lari dan pindah berbagai pekerjaan,” ungkap Zainin sebagaimana ditulis dalam buku Widyarka.
Masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru (Foto: Dok. Widyarka Ryananta)
Zainin kemudian bergonta-ganti perkerjaan. Dia menjadi pemerah susu sapi, dan kemudian berpindah kerja di perkebunan kopi. Namun karena merasa bukan bidangnya, dia pindah kerja menjadi petugas administrasi tambang nikel SLN. Sampai pada akhirnya, Zainin mantap bekerja di perusahaan Topic Travel Biro di Noumea hingga pensiun.
ADVERTISEMENT
Tak hanya aktif bekerja, Zainin juga berperan sebagai tokoh agama Islam di Kaledonia Baru. Dia dipercaya menjadi ketua Persatuan Umat Islam Masyarakat Indonesia dan Keturunannya (PUIMIK) dari tahun 1986 hingga 2009. Kepercayaan itu didapatkan Zainin karena sosoknya yang taat menjalankan syariat agama Islam.
Hampir serupa dengan Zainin, Walad alias Kasir, juga sempat kecewa dan nyaris putus asa saat pertama kali menjejak Kaledonia Baru. Pria kelahiran Cirebon tahun 1929 itu, meninggalkan tanah Jawa untuk merantau jauh menuju wilayah seberang lautan Prancis.
Tanpa keterampilan dan pendidikan yang memadai, dia nekat bekerja di Kaledonia Baru. Harapan Walad kala itu hanya satu, yaitu sebuah kehidupan yang lebih baik. Di Indonesia, Walad menjalani kehidupan penuh derita lantaran penjajahan panjang.
ADVERTISEMENT
Kulo milih dados kuli kontrak tambang nikel wonten Caledonia amargi bade dibayar katah (saya milih jadi kuli kontrak tambang nikel di Kaledonia karena katanya akan dibayar banyak,” ucap Walad sebagaimana yang tertulis dalam buku Widyarka.
Buku-buku tentang Kaledonia Baru. (Foto: Tomy W Utomo/ kumparan)
Namun, janji manis itu ternyata terasa pahit bagi Walad. Dia harus menjalani beban kerja yang berat tanpa diberi upah sepadan. Walad kemudian memutuskan untuk pensiun dan berjualan sayur-mayur, buah-buahan, rengginang, dan tempe di pasar Noumea.
Terlepas dari kisah pahit Zainin dan Walad di Kaledonia Baru, beberapa pendahulu mereka sebelumnya memutuskan untuk pulang kampung lantaran tak mampu dihantam kehidupan yang keras.
“Karena mereka merasa bahwa hidup di tanah perantauan susah waktu itu sehingga mereka ingin kembali. Sehingga sebagian besar setelah kemerdekaan mereka kembali ke Tanah Air kita,” ungkap Widyarka.
Dua perempuan Jawa di Kaledonia Baru. (Foto: Dok. Widyarka Ryananta)
Sampai di Indonesia, ternyata ada perasaan yang mengganjal dari para pekerja kontrak itu. Dari penuturan Widyarka, sebagian dari mereka justru tidak betah saat hidup kembali di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Tapi ada juga sebagian dari mereka setelah kembali di Indonesia mereka tidak kerasan (betah), akhirnya ada juga yang kembali ke New Caledonia. Sehingga dikatakan sebagai wong balen (orang kembali). Mereka kembali lagi ke sana untuk mencari penghidupan yang lebih baik,” pungkas Widyarka.