news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ni Nengah Widiasih, Atlet Berkursi Roda yang Berjaya di Kancah Dunia

17 Juni 2018 9:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tak perlu menjadi sosok sempurna untuk mengharumkan nama bangsa di kancah dunia. Begitulah setidaknya pelajaran yang terus ditunjukkan oleh seorang Ni Nengah Widiasih.
ADVERTISEMENT
Perempuan 28 tahun itu setiap harinya bergerak dengan kursi roda. Kakinya memang tidak bisa berjalan layaknya manusia normal, tapi siapa sangka prestasinya telah mendunia. Sang Merah Putih kerap kali berkibar di luar negeri berkat keringat dan tekad kuat perempuan yang akrab disapa Widi tersebut.
Pagi itu cuaca Kota Solo begitu terik. Meski begitu, hal tersebut tak menghalangi Widi bersama belasan rekan difabel lainnya untuk berlatih di Pelatnas. Tepatnya di kantor NPC Jalan Sutami No.56 Solo dari Senin hingga Jumat Widi menempa dirinya untuk menjadi juara tingkat dunia angkat berat. Di luar bulan Ramadhan, Widi berlatih dua sesi pagi dan sore.
Ni Nengah Widiasih saat di Pelatnas. (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Hampir 14 tahun sudah kehidupan tersebut dia jalani. Tak pernah mengeluh meski dibasahi peluh karena baginy itulah jalan yang telah Tuhan gariskan. Berawal dari melihat sang kakak yang merupakan atlet angkat berat, Widi kecil pun tertarik untuk terjun di dunia yang sama.
ADVERTISEMENT
“Awalnya mengikuti angkat berat itu sebenarnya hanya main-main, coba-coba, ikut-ikutan. Pada saat saya mulai jadi atlet angkat berat itu saya masih sangat kecil yaitu pada kelas 6 SD. Mungkin kurang lebih usia saya saat itu 14 tahunan mungkin. Jadi kebetulan kakak lingkungan saya pada saat itu atlet angkat berat,” cerita Widi kepada kumparan saat berbincang di Pelatnas, Selasa (5/6).
Ni Nengah Widiasih saat di Pelatnas. (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Dalam hati kecil Widi, dia pernah bertanya-tanya apakah angkat berat adalah jalannya. Widi sempat membayangkan bahwa angkat berat hanya akan membuatnya lelah.
Beruntung, di tengah keraguannya pada dunia angkat berat Widi bertemu dengan seorang pelatih bernama Ketut Mija. Dialah yang berjasa menyulap Widi menjadi atlet papan atas.
Sang pelatih terus menempa Widi dengan porsi atlet normal. Kondisinya yang harus duduk di kursi roda tidak membuat pelatih Widi memberikan keringanan padanya.
ADVERTISEMENT
“Pelatih saya dulu bilang, kalau kamu belum sampai muntah kuning di tempat latihan jangan sampai berhenti,” terang Widi.
Widi mengaku beberapa kali dirinya pernah muntah di tempat latihan. Kadang rasa lelah itu ada, tapi sang pelatih selalu memotivasi. Apa yang dirasakan Widi saat ini suatu saat akan berbuah manis bila dia terus konsisten.
Baru dua bulan latihan, Widi pun turun di kejuaraan pertamanya yang berlangsung di Bali. Widi yang baru kelas 6 SD langsung mendulang medali emas. Hasil itu membawa dirinya dipanggil untuk bergabung dengan Pelatnas angkat berat difabel di Solo.
Ni Nengah Widiasih saat di Pelatnas. (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Pada usianya yang baru menginjak 14 tahun, Widi harus berpisah dengan keluarganya yang berada di Karangasem, Bali. Meski begitu, pengalaman baru yang membawa perubahan besar pada dirinya adalah ganjaran indah yang dia terima setelah itu.
ADVERTISEMENT
“Terus akhirnya SMP kelas 1 tahun 2007 saya pertama kalinya masuk Pelatnas di sini, di Solo. Jadi saya langsung Pelatnas, langsung ikut kejuaraan ASEAN Para Games di Thailand itu pertama kali. Setelah dari sana saya baru menyadari ternyata di luar sana banyak sekali atlet-atlet difabel dengan kondisi seperti ini mereka mampu berprestasi,” ungkap Widi.
Widi pun semakin termotivasi. Terbukti, dengan jerih payahnya atlet berambut panjang itu berhasil mendulang beragam prestasi. Dari mulai emas ASEAN Para Games, juara di berbagai kejuaraan angkat berat dunia, dan puncaknya perunggu di Paralympic Rio De Janeiro Brasil 2016.
Deretan prestasi Widi menjadikannya atlet angkat berat yang diperhitungkan dunia. Namun, hal itu tak membuat dirinya lekas berpuas diri. Masih ada medali emas Asian Para Games 2018 dan Paralympic 2020 yang menjadi incarannya.
ADVERTISEMENT
Semua lawan adalah motivasi
Menjadi seorang atlet tentunya membuat Widi kerap kali dihadapkan dengan beragam lawan dari berbagai negara. Namun, Widi justru menganggap setiap lawannya adalah motivasi dan inspirasi.
“Di kelas saya sendiri pun lawan saya adalah motivasi. Saya tidak pernah menganggap lawan saya itu sebagai musuh saya. Saya justru menjadikan mereka sahabat saya,” sebut Widi.
Ni Nengah Widiasih (Foto: Instagram @nahrawi_imam)
Widi terus berpacu dengan waktu untuk menjadi atlet angkat berat nomor satu dunia. Untuk saat ini, dirinya masih berputar di peringkat tiga dan dua dunia.
“Saya selalu berpikiran mungkin suatu saat nanti saya akan mampu menjadi seperti mereka, kuat seperti mereka. Mungkin saat ini saya nomor dua nomor tiga di dunia, tapi suatu saat nanti mungkin saya akan menjadi seperti mereka juga,” kata Widi.
ADVERTISEMENT
Perempuan Bali itu semakin optimistis saat melihat perbandingan usia dirinya dan lawan. Dari penuturan Widi, banyak lawannya memiliki usia jauh di atas dirinya. Hal itu menjadi peluang besar baginya karena memiliki masa menjadi atlet lebih panjang ke depannya.
Rindu keluarga
Jauh dari keluarga selama 10 tahun lebih membuat Widi kadang merasa asing dengan Bali. Baginya, pulang kampung ke Bali justru seperti halnya liburan. Solo, tempatnya berlatih kini malah seperti rumahnya sendiri dan hal itu membuatnya merasa sebagai penduduk Solo.
Di satu sisi, rasa rindu pada Bali dan keluarga kerap kali menghampiri Widi. Namun, apa boleh dikata, demi sang Merah Putih Widi harus menahan rasa rindu itu.
“Kangen pastilah. Apalagi saya dari kecil itu semenjak di Pelatnas di sini itu saya jarang banget ketemu orang tua. Kalau Pelatnas begini kan jangka panjang terus. Setahun Pelatnasnya, pulang ke Bali. Paling ke Bali cuma sebulan dua bulan,” tutur Widi.
Atlet ASEAN Para Games Indonesia, Ni Nengah. (Foto: Dok. ASEAN Para Games 2017)
Selain rindu, Widi nyatanya kerap kali tak bisa memperingati hari raya bersama keluarga. Sebagai umat Hindu, beberapa peringatan hari raya memang umumnya dilalui bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
“Apalagi kalau hari raya, kayak gitu. Keluarga pada ngumpul semua. Tanggal 30 Mei kan kemarin hari raya Galungan di Bali. Untuk saya umat Hindu, saya masih di Prancis. Saya jarang banget ada di Bali hari raya,” pungkas Widi.
---------------------------------------------------------------
Ikuti kisah perjuangan Ni Nengah Widiasih mengharumkan nama Indonesia di topik Ni Nengah Widiasih.