Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Junico Siahaan atau yang akrab disapa Nico Siahaan menjadi salah satu selebritas yang melenggang ke Senayan. Presenter yang maju lewat PDI Perjuangan itu mampu mengalahkan caleg artis lain yang maju dari Dapil Jawa Barat 1 yang meliputi Kota Bandung dan Cimahi.
Sebut saja, para artis muda yakni Giring Ganesha, Kirana Larasati, Choky Sitohang, dan Citra Scholastika. Juga artis kawakan seperti Farhan, Tetty Kadi, dan Nurul Arifin.
Maju sebagai calon petahana, Nico mengklaim, bisa melaju dengan mulus ke Senayan. Perolehan suaranya pun meningkat dibanding Pileg 2014 lalu. Dia mengaku, berhasil mengungguli rekannya sesama artis dengan meraih sekitar 69.000 suara.
Walau begitu, pertarungan keras tetap dirasakan Nico di dapil tersebut. Itu karena, dia harus berhadapan dengan koleganya sesama selebritas. Belum lagi, para caleg PKS yang menjadi unggulan di Kota Bandung.
Namun, pengalaman sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019 menjadi kunci. Selama menjadi anggota dewan, Nico duduk di Komisi I yang salah satu tugasnya, mengawasi dunia penyiaran Indonesia. Kemudian di tahun ketiga menjabat, dia menjadi anggota Komisi X yang membidangi kesehatan dan pendidikan.
Eks presenter game show 'Super Deal 2 miliar' ini sangat concern dengan beberapa isu. Sebut saja, pemerataan Kartu Indonesia PIntar (KIP) dan BPJS Kesehatan. Baginya, dua isu ini yang paling menyentuh masyarakat Bandung dan Cimahi.
Bagaimana perjalanan panjang Nico Siahaan mempertahankan kursinya? Simak selengkapnya dalam wawancara dengan kumparan di FX Sudirman, Jakarta, Selasa (7/5).
Berdasarkan keterangan dari DPP PDIP, Anda kembali melenggang ke Senayan?
Saya bisa menyatakan, ini sudah final dengan melihat pleno di dua kota di dapil saya. Pertama di Kota Bandung 58.230 suara, sekitar itu. Kemudian di Cimahi sekitar 11.040-an. Total sekitar 69.200an. Suara saya di periode lalu 54.000 di Bandung dan 11.000 di Cimahi.
Jadi, saya sebagai incumbent merasa cukup puas. Kenapa? karena di Bandung mendapatkan suara itu enggak mudah. Kemarin suara tertinggi yang pernah ada di Kota Bandung itu caleg Demokrat tahun 2009 dengan jumlah suara 75.000. Target saya juga enggak muluk-muluk, bisa sedikit melewati angka itu aja.
Walaupun, menurut saya, sedikit kenaikan dari tahun lalu saja saya sudah cukup puas. Karena artinya, minimum orang masih percaya. Nah, kemudian rupanya dengan penggabungan pileg dan pilpres, coattail effect-nya di dapil saya itu jatuhnya untuk pendukung 02.
Itu karena jumlah koalisi mereka lebih sedikit. Selain itu, tenaga PKS memang terkonsentrasi di salah satu daerah di dapil saya itu, Kota Bandung.
Sehingga terjadi lonjakan suara luar biasa dari PKS. Hasil pleno kemarin total suara Bu Ledia Hanifa 95.000 di Kota Bandung, 21.000 di Cimahi. Suara dia 28.000 di 2014, naik 80 ribu sekian.
Lonjakan luar biasa. Strategi mereka cukup baik, mereka dapat dua. Kita PDIP yang hanya dapat 1, padahal 2014 dapat 2.
Kita ini main di lapangan yang hampir mirip. Kemarin itu ada 10 pesohor. Saya, Farhan, Nurul Arifin, Giring, Choky Sitohang, Kirana Larasati, Tetty Kadi. Kemudian ada Ricky Subagja, Arif Suditomo, Citra Scholastika. Kita main di lapangan yang mirip.
Laporan terakhir, Giring sekitar 46.000, Choky 38.000, Kirana 30.000 nggak masuk. Yang masuk saya, Farhan dapat 44.000, dan Nurul Arifin.
Jadi ini pertarungan yang keras. Dulu 2014 saya sendirian tapi kan saya istilahnya, kalau diadu pamor sama junior saya jauhlah. Popularitas saat ini bagai bumi langit.
Cuma kebetulan saya ketemu orang yang tepat, Farhan sempat ketemu dengan orang mengerti lapangan, Nurul juga pengalaman.
Artinya, yang lolos mereka yang punya pengalaman. Jadi yang lebih besar komponennya adalah bagaima mengelola lapangan bukan popularitas.
Bagaimana cara Anda untuk menguasai lapangan?
Ya harus sering-sering ke Dapil, tapi harus ketemu yang tepat. Ketemu siapa? di titik mana? Jangan kita ketemu orang yang salah. Jangan ketemu pemain-pemain yang itu itu lagi. Akhirnya, kita ketemu buat bikin acara, tapi mereka pemain.
Jadinya percuma, semu kan? Menurut saya, kenaikan ini membuat saya happy. Dan saya semakin paham di mana suara saya. Banyak kesamaan, tapi ada beberapa titik baru juga.
Saya sudah lihat dan sudah diuji di lapangan juga dengan berbagai kegiatan rupanya cukup solid. Kita makin mengenal, semoga saya siap 2024.
Seberapa sering Anda turun ke dapil?
Jumlah pertemuan dan pemetaan itu sebuah langkah awal. Saya punya pemetaan di 2014, saya paham. Saya udah enggak buta-buta banget. 2014 saya buta, semua pintu saya tabrak.
Sekarang lebih paham mau incar mana, walaupun ada beberapa yang meleset. Tapi menurut saya, perjalanan campaign kali ini lebih baik.
Sampai bulan Januari awal, saya sudah melakukan 300 pertemuan. Dan saya penggemar pertemuan kecil, saya enggak suka yang besar-besar. Satu koefisien antara biaya besar dan suara enggak terukur. Kalau misalnya kita bikin pertemuan dengan 500 orang, biayanya untuk sewa tempat dan makan 5 juta mungkin.
Kalau kita bikin 20 orang keluar 200.000 buat ngeliwet aja. Tapi kan di situ kita tahu, mana yang memilih saya atau enggak. Responsnya lebih kelihatan. Koefisien angkanya terlihat, misal 10.000 per suara kalau kita hitung biayanya.
Dalam pertemuan, apa yang biasa disampaikan ke warga?
Most of the time, mereka menitipkan permasalahan sehari-hari. Itulah aspirasi buat kita. Kebetulan saya dulu Komisi X, kita bicara masalah pendidikan.
Misalnya, jumlah sekolah dan kualitas pendidikan. Kemudian masalah zonasi. Ini kan masih jadi pro dan kontra, masalah biaya karena kekurangan sekolah.
Biaya ini masalahnya buku dan seragam yang berganti tiap tahun. Kemudian distribusi KIP yang tidak merata. Ini yang menjadi catatan saya, kita bicarakan itu. Kemudian masalah BPJS. Masalah itu biasanya dititipkan karena sangat dibutuhkan, bagaimana BPJS belum keluar, bagaimana penerima bantuan iuran.
Itu hampir 90 persen ngomongnya itu, sisanya baru ngomong politik. Itu yang mereka anggap masalah, makanan, pendidikan, kesehatan.
Melawan PKS dan 9 artis, apa resepnya agar bisa lolos?
Pendekatannya gini, kita gabungin dengan pola pandang jagoan presiden kita. Sambil cerita mengenai apa yang sudah dilakukan Pak Jokowi. Apa ya yang salah dari Presiden kita ini? Berkali-kali disampaikan.
Masalah harga-harga misal, cukup stabil, tapi harga naik terus digoreng. Kalau dibilang harganya tinggi, mestinya teman-teman susah untuk belanja. Ini bisa makan telur, daging.
Mindset harga tinggi, tenaga kerja asing di mana-mana disemburkan. Dan ternyata itu menempel. Karena kami termasuk salah satu partai terdepan yang menentang khilafah, di ujung kampanye saya sering kami membaiat para peserta kampanye untuk menolak khilafah.
Karena apa? Kita harus menunjukkan ke warga Kota Bandung ini salah. Kita tahu ini pangsa suara besar, menengah ke bawah. Pendidikan ke bawah, pendidikan agama ke bawah. Ini kan susah. Padahal, pemikir Islam banyak yang membuat buku soal khilafah.
Kami dari PDIP tidak akan berhenti berteriak. Makanya apakah PDIP suaranya berkurang karena mendukung Jokowi karena menolak khilafah? Kami enggak takut. Teman-teman PDIP kami merasa bersama NU dan Banser, sama sama memerangi itu. Apakah kami dihukum karena itu? Nggak masalah kita maju lagi di 2024.
Pernah ada komunikasi enggak dengan artis-artis muda yang nyaleg? Atau jaga jarak, cari jalan sendiri?
Dari awal teman-teman saya ini enggak mau nanya dan ngobrol. Jadi saya juga enggak merasa harus ngajarin dan nemuin mereka. Asa jadi gimana gitu.
Kalau mereka datang ke saya, ya saya terbuka. Suara di Bandung banyak lho, sampai 2,5 juta. Suara sah 1,7 juta. Artis 10, kalau mau dibagi 10 juga berapa tuh?
Masih banyak suaranya. Kalau tahu mesti ke mana. Kalau kita enggak tahu, masing-masing, tabrakan ke bawah. Misalnya, saya datang ke mana pagi, mereka datang siangnya. Enggak ada komunikasi.
Sejumlah pihak seperti Formappi mengkritik kinerja artis, tanggapan Anda?
Jadi untuk saya ada benarnya Formappi. Karena kacamata mereka bagaimana penampilan kita di komisi-komisi karena mereka masuk kan ke dalam. Kehadiran sidangnya gimana? ketika sidang ngapain? ketika dia sudah hadir dan rajin dia mulai bertanya, kemudian masuklah bobot pertanyaannya. Itulah pantauan mereka.
Di pembuatan undang-undang kan mereka susah masuk tuh, karena tertutup pembahasanya. Beberapa teman-teman artis ikut terlibat di pembuatan undang undang, bahkan jadi pemimpin.
Yang kedua, bagaimana para artis itu bicara ke media. Karena kalau harus diukur, harus ada yang mampu dan sering menjadi narasumber di berbagai permasalahan. Sayangnya, di berbagai permasalahan narasumber-narasumber ini dianggap media kurang mampu dan mumpuni sehingga tidak diundang lagi.
Secara rutin kita bikin media gathering untuk menyampaikan ide tentang isu dan perjuangan di komisi.
Kebiasaan kali ya, kita kan biasanya dicari kalau mau berita. Kita enggak pernah aktif misalnya makan siang duduk bicara isu. Masalah dimuat atau enggak urusan nanti yang penting terjalin hubungan dulu. Mindset ini harus ada yang mengubah.
Kita kemarin udah bicara, ini harus kita bangun. Mau kelompok kecil atau fraksi, tapi harus digarap dengan jelas. Karena ada segmen pasar yang melihat kita hanya dari media mainstream. Saya enggak pernah dinilai Formappi ketika saya di dapil dan itu yang dibuat rilis ke nasional.
Dia belum survei ke sekolah-sekolah Bandung, Pak Nico aktif enggak. Which is enggak fair juga, tapi enggak apa-apalah, itu kerja mereka. Kita hanya berusaha tunjukin kerja kita. Angka 68.000 ini adalah pembuktian, di dapil saya masih cukup dipercaya.