Ombudsman Ingatkan Ngabalin: Pelayan Publik Tak Boleh Berpihak Frontal

30 Agustus 2018 18:24 WIB
comment
56
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin (28/08/2018). (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin (28/08/2018). (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sikap dan komentar-komentar menohok dari Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, kerap menuai sorotan.
ADVERTISEMENT
Demi membela Presiden Jokowi, Ngabalin bahkan menggunakan diksi yang blak-blakan. Di antaranya saat dia menyebut para aktivis #2019GantiPresiden sebagai gerombolan peracau dan berperadaban rendah.
Komisioner Ombudsman, Laode Ida, mengingatkan agar Ngabalin tidak secara terang-terangan mendukung kepada kandidat capres-cawapres Jokowi dan Maruf Amin dalam Pilpres 2019. Hal ini terkait statusnya sebagai pejabat negara.
"Secara khusus, Pak Ngabalin sudah jadi anggota dewan komisaris Komisaris (PT Angkasa Pura I), kemudian dia dapat KSP. Itu tak boleh dia tampil secara frontal, menunjukkan keberpihakannya pada satu pasangan calon presiden," ujar Laode Ida di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (30/8).
Menurut dia, dukungan Ngabalin sebagai pejabat publik tidak boleh disampaikan secara frontal. Sebab, dapat berpotensi maladministrasi dan menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Ketika dia ngomong secara frontal keberpihakan yang begitu tegas, itu enggak boleh. Pelayan publik tidak boleh merangkap jabatan, juga berpihak," jelasnya.
Ombudsman menyatakan akan siap memproses jika ada aduan soal penyelenggara negara yang terang-terangan mendeklarsikan dukungan pada capres-cawapres, sebelum cuti.
Merujuk Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999, unsur penyelenggara negara merupakan para pejabat yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di antaranya, anggota MPR/DPR, menteri, hakim maupun kepala daerah seperti gubernur.
"Segera nonaktif (cuti) dan/atau mengundurkan diri dari jabatan selama masa kampanye pemilu bagi penyelenggara negara dan/atau pemerintahan yang terlibat dalam tim kampanye nasional, termasuk yang sudah secara terbuka memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu," pungkasnya.
ADVERTISEMENT