Opsi Darurat buat Demokrat

6 Agustus 2018 10:42 WIB
Orasi AHY #MudaAdalahKekuatan di Djakarta Theater, Jumat malam (3/8). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Orasi AHY #MudaAdalahKekuatan di Djakarta Theater, Jumat malam (3/8). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Hampir satu jam muka Agus Harimurti Yudhoyono penuh di layar kaca. Jumat akhir pekan lalu, dengan sepotong jeans, kemeja putih, dan jas, AHY berorasi di depan seribuan hadirin. ‘Muda adalah Kekuatan’ yang jadi tajuk tayangan prime time tersebut adalah sebentuk pesan paling jelas yang bisa dikeluarkan oleh Demokrat. Tunggu apa lagi?
ADVERTISEMENT
Pertemuan Prabowo dan SBY di Mega Kuningan dua pekan lalu bikin Demokrat pede soal peluang AHY jadi cawapres. Biarpun di muka umum SBY berkeras bahwa AHY cawapres bukanlah harga mati, mesin partai di bawah terus bergerak memastikan pos RI 2 bukan milik kader partai lainnya.
Lihat saja upaya Demokrat terus mendongkrak popularitas AHY meski akhir pendaftaran pilpres tinggal empat hari lagi. Blocking TV swasta hanyalah icing on the cake. Sebelumnya, baliho raksasa bergambar AHY dengan setelan hitam-hitam plus kopiah jadi barang lumrah di jalanan seluruh negeri, tak terkecuali di Jakarta.
Wakil Ketua DPD Demokrat DKI Jakarta, Taufiqurrahman menjelaskan inisiatif pemasangan baliho tersebut. “Apapun keputusan pimpinan, kita wajib menjalankan, dan mengamankan,” kata Taufiqurrahman. “Tapi kita ingin calon yang jadi itu adalah AHY.”
Baliho AHY di Tendean, Jakarta Selatan. (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Baliho AHY di Tendean, Jakarta Selatan. (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Kebanyakan kader Demokrat pede bahwa AHY-lah yang akan mendampingi Prabowo. Lagipula, kepercayaan diri tersebut cukup beralasan. AHY punya elektabilitas paling tinggi ketimbang sosok lain ketika dipasangkan sebagai cawapres Prabowo.
ADVERTISEMENT
Dalam survei Alvara Research Center dari 20-28 Juli 2018 kepada 1.142 responden, elektabilitas AHY (19,3 persen) mengalahkan nama-nama lainnya macam Anies Baswedan (18,9 persen) dan Gatot Nurmantyo (13,4 persen).
Bahkan, keunggulan itu lebih tinggi lagi apabila dibandingkan dengan kader anggota koalisi Gerindra. Ahmad Heryawan cuma punya 3,5 persen, sementara Zulkifli Hasan cuma 2,5 persen.
Wasekjen Demokrat Putu Supadma yakin bahwa AHY pilihan yang paling tepat buat Prabowo. Ia menilai, AHY yang masih muda --40 tahun 10 Agustus nanti-- mewakili kebutuhan Prabowo merebut suara generasi muda yang merupakan mayoritas di Pilpres 2019 nanti.
“AHY representasi generasi milenial yang jumlahnya 100 juta orang. Dan dari survei elektabilitas AHY tertinggi dibanding figur lainnya,” kata Putu kepada kumparan, Jumat (3/8).
ADVERTISEMENT
Memang penentuan nama cawapres masih alot di koalisi pendukung Prabowo. Hingga detik ini, PKS dan PAN masih memaksakan kader mereka sebagai cawapres Prabowo.
PKS, misalnya, menggunakan hasil Ijtima Ulama yang merekomendasikan Salim Segaf Al-Jufri sebagai modal menaikkan harga tawar di depan Gerindra. Ketua DPP PKS, Abu Bakar Al Habsyi, sudah mewanti-wanti Gerindra untuk menaati rekomendasi ini. “Jangan dianggap enteng. Ditinggal nanti sama umat!”
PAN tak jauh berbeda. Sampai saat ini, mereka masih menyodorkan nama Zulkifli Hasan yang diberi mandat lewat Rakernas PAN 2017 sebagai andalan. “Mandat itu sampai sekarang belum dicabut, tetap kita perjuangkan Pak Zulkifli,” ujar Sekjen PAN Eddy Soeparno, Jumat (3/8).
Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak (kiri) bersama Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, dan Salim Segaf Al-Jufri pada Ijtima Ulama di Jakarta, Jumat (27/7). (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak (kiri) bersama Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, dan Salim Segaf Al-Jufri pada Ijtima Ulama di Jakarta, Jumat (27/7). (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
Dengan segala modal yang mereka miliki, tingginya rasa percaya diri Demokrat memang bisa dipahami. Meski begitu, segala hal masih mungkin terjadi. Termasuk, apabila Prabowo memutuskan untuk meneruskan euforia ‘kemenangan umat’ di Pilkada DKI 2017 lalu ke 2019 dan memilih Salim Segaf untuk memastikan dukungan 212.
ADVERTISEMENT
“Jangan lupa bahwa koalisi Prabowo ini bukan cuma Demokrat namun ada partai lain. PKS ada PAN sudah lama runtang-runtung dengan Gerindra. Lihat PKS, sudah banyak berkorban buat Gerindra,” kata Direktur Eksekutif IndoBarometer Muhammad Qodari.
‘Ancaman’ dari partai koalisi ke Gerindra tersebut tentu tak bisa dianggap remeh. Gerindra tentu saja mengingat putaran pertama Pilkada DKI 2017, saat mesin PKS mati dan tak menyumbang banyak suara buat Anies-Sandi karena kecewa kadernya, Mardani Ali Sera, tak jadi diajukan sebagai calon wakil gubernur.
Dengan ketidakpastian yang meningkat jelang akhir masa pendafaran capres-cawapres 10 Agustus, bukan tak mungkin keputusan-keputusan mengejutkan datang dari koalisi Prabowo. Satu pertanyaan menyusul: apa yang mungkin dilakukan Demokrat bila AHY tidak dipilih Prabowo?
ADVERTISEMENT
Opsi Darurat
Ada uang ada barang, ada dukungan ada pula kompensasinya.
Direktur Lembaga Survei Indonesia, Dodi Ambardi, mengatakan kompensasi terbaik jika AHY tak mendapat jatah cawapres adalah mengkompromikan jabatan strategis dengan mitra koalisi. “Tetap tinggal di koalisi dengan imbalan konsesi yang lain. Bisa posisi menteri,” kata Dodi.
“Pertanyaannya, sejauh mana imbalan itu disetujui pihak Demokrat dan menghitung kontribusi seperti apa yang harus diberikan Demokrat. Di sana, perhitungan itu yang akan menentukan pilihan exit atau tidak,” kata Dodi.
Toh, menurut Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, posisi menteri bukan kompensasi yang buruk-buruk amat bagi AHY. Menurutnya, opsi menteri bisa jadi pos pelatihan tersendiri bagi AHY untuk meniti karier politik. “Ini batu loncatan dari posisi yang strategis untuk bisa menjadi capres di 2024,” kata Yunarto.
Tarik Ulur Koalisi Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tarik Ulur Koalisi Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Sementara itu, meski amat sangat kecil, Qodari menilai bahwa kemungkinan AHY berpindah haluan ke Jokowi masih ada, baik sebelum pilpres maupun setelah pilpres. Menurutnya, SBY yang pragmatis tentu mengingat bagaimana capaian pileg Demokrat yang melorot di 2014.
ADVERTISEMENT
“Per hari ini elektabilitas Jokowi masih di atas Prabowo. Dengan kata lain peluang menangnya lebih besar dan itu bisa menjadi sesuatu yg menarik bagi Pak SBY,” kata Qodari.
Sementara, apabila tetap di Prabowo pun, AHY masih mungkin menyeberang secara individual dan bergabung sebagai pembantu Jokowi di kabinet. Cara ini pernah dilakukan PAN di 2014, yang meski menjadi pendukung Prabowo di pilpres secara formal tetap menjadi koalisi Jokowi.
Apalagi, track record Jokowi yang selalu ‘merangkul lawan politiknya’ juga mendukung, yang bahkan konon pernah coba melakukan penjajakan ke Prabowo sendiri untuk jadi cawapres di Pilpres 2019. “Karena kan sebelumnya sudah pernah berkomunikasi, (katanya) sudah deal mengenai kursi menteri,” kata Qodari.
Prabowo Subianto dan SBY usai menggelar pertemuan tertutup di kediaman Prabowo, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (30/7). (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto dan SBY usai menggelar pertemuan tertutup di kediaman Prabowo, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (30/7). (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
SBY memang tak berbohong bahwa buat Demokrat AHY cawapres bukanlah harga mati.
ADVERTISEMENT
“Tapi kami sangat bersyukur apabila kader kami, Agus Harimurti Yudhoyono, diakomodir dalam tempat paling mulia dalam koalisi,” kata Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin.
Anaknya, Didi Irawadi Syamsuddin, yang menjabat sebagai Wasekjen Partai Demokrat, setuju. Meski menyerahkan pilihan akhir cawapres pada Prabowo, Didi menyebut Demokrat terus melakukan lobi ke koalisi dengan menonjolkan kelebihan-kelebihan AHY. “Ini masih proses, lobi-lobi.”