Panas Dingin Hubungan NU dan Kerajaan Saudi

10 Desember 2018 9:44 WIB
Duta Besar Arab Saudi, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuhaibi, saat berkunjung ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Duta Besar Arab Saudi, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuhaibi, saat berkunjung ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kemesraan hubungan Nahdlatul Ulama dan Arab Saudi yang baru terjalin akhir tahun lalu berusia singkat. Niatan kerja sama membangun Islam yang lebih moderat itu tercederai oleh cuitan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Al Shuaibi.
ADVERTISEMENT
Melalui akun twitter @Os_alshuibi, Osama mengatakan bahwa Reuni 212 merupakan reaksi atas pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid dilakukan oleh “kelompok sesat”.
Bendera tauhid yang dimaksud Osama itu disebut pembakarnya—anggota Banser yang merupakan badan otonom NU dari GP Ansor—sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi yang telah dibubarkan pemerintah Indonesia pada Juli 2017 karena dinilai menganut ideologi tak selaras dengan Pancasila. Insiden itu terjadi pada Oktober lalu.
Kegiatan massa HTI sebelum dibubarkan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan massa HTI sebelum dibubarkan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
“(Cuitan Dubes Osama) ini memancing situasi yang sangat berbahaya,” ujar Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Helmy Faishal Zaini, kepada kumparan di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (5/12).
Menurutnya, ucapan Osama menyebabkan distorsi informasi. “Implikasi politiknya yang luar biasa. Di media Ajel News (Ajel.sa, media Arab Saudi) misalnya mengemuka bahwa Reuni 212 merupakan reaksi atas pembakaran bendera tauhid. Jadi kan (bagi mereka) yang di luar Indonesia (terkesan) suasananya panas,” lanjut Helmy.
ADVERTISEMENT
Lebih-lebih, “kelompok sesat” yang dimaksud sang Dubes melakukan pembakaran bendera tauhid ialah GP Ansor, organisasi sayap pemuda PBNU. Sementara Ansor menyebut bendera yang dibakar ialah bendera HTI.
“Jelas yang dituduh dalam hal ini adalah Ansor, atau sangat mungkin NU-nya. Kami protes,” kata Helmy.
Insiden cuitan Dubes Saudi berdampak pada potensi kerusakan kerja sama antara NU dan Arab Saudi yang sesungguhnya baru akan dimulai.
Sebelumnya, hubungan NU—yang mengusung Islam wasatiyyah (moderat)—dan Kerajaan Arab Saudi—yang kental dengan Wahabisme (cenderung konservatif)—sempat terputus lama. Keduanya tak pernah bekerja sama di bidang pendidikan maupun ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Jadi sebetulnya kami baru mulai (dekat), dan terjadi peristiwa (cuitan Dubes Saudi) ini. Kami sayangkan ini,” ucap Helmy.
Dekati NU
November 2017 menjadi awal mula kedekatan Arab Saudi dan Nahdlatul Ulama. Setelah Mohammed bin Salman (MbS) naik takhta, Arab Saudi mendeklarasikan modernisasi ekonomi dan reformasi politik.
“Kami akan kembali ke kondisi kami sebelumnya—negara Islam moderat yang terbuka untuk semua agama dan dunia,” ujar MbS pada 24 Oktober 2017. Berbagai perubahan pun terjadi. Misalnya, perempuan di Saudi kini diizinkan mengemudi dan menonton pertandingan olahraga.
Bahkan, untuk pertama kalinya Arab Saudi menyatakan hari libur untuk memperingati maulid atau hari lahir Nabi Muhammad.
“Mereka ingin menunjukkan sikap terbuka dan moderat kepada semua kalangan... Lama-lama mauludan itu, jangan khawatir,” canda Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj pada acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Mataram, 23 November 2017.
ADVERTISEMENT
Mendengar kelakar Said Aqil, tawa 10 ribu peserta musyawarah seketika pecah, seolah mengikis perbedaan ideologis antara mazhab Ahlussunah wal-Jamaah yang dipeluk NU dengan Wahabisme yang dianut Kerajaan Arab Saudi.
Nahdliyin sadar, acara mauludan yang rutin mereka laksanakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad dianggap bidah oleh Wahabi.
Dubes Saudi, Osama bin Mohammed Al Shuaibi, bersama Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. (Foto: Instagram/@os_alshuibi)
zoom-in-whitePerbesar
Dubes Saudi, Osama bin Mohammed Al Shuaibi, bersama Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. (Foto: Instagram/@os_alshuibi)
Awal hubungan baik dimulai ketika untuk pertama kalinya Kedutaan Besar Arab Saudi mengundang pimpinan PBNU untuk berdialog. Pada pertemuan itu, Dubes Osama menegaskan komitmen Kerajaan Arab Saudi untuk mengembangkan Islam moderat.
Momen tersebut seolah menjadi upaya mencairkan hubungan NU dan Arab Saudi yang membeku sekian lama.
“Yang lalu biarlah berlalu. Mari kita bekerja sama mengembangkan Islam moderat,” ucap Osama kepada Said Aqil, November 2017.
ADVERTISEMENT
Said Aqil lantas menjawab, “yang saya tentang selama ini Wahabi alumni Arab Saudi yang mensyirik-syirikkan, mengkafir-kafirkan, membidah-bidahkan muslim Indonesia.”
Pada pertemuan berikutnya, yakni saat pembukaan Munas NU, Osama hadir. Ia menyampaikan ucapan terima kasih dan memberi kesempatan umrah gratis kepada beberapa petinggi NU.
Said Aqil menanggapi tawaran tersebut dengan dua permintaan. Pertama, tidak lagi memberikan buku kepada jemaah haji asal Indonesia yang isinya menjelek-jelekkan Ahlussunnah wal-Jama'ah. Kedua, meminta supaya umat Islam diberikan kebebasan bermazhab dalam melaksanakan ibadah haji.
“Waktu itu sih diiyakan, wallahualam benar tidaknya,” ucap Said Aqil menceritakan hasil pertemuannya dengan Osama di acara Munas. Keraguan yang wajar mengingat histori relasi di antara keduanya.
Lipsus Cuitan "Sesat" Dubes Saudi. (Foto: Aditia Noviansyah/Jamal Ramadhan/Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus Cuitan "Sesat" Dubes Saudi. (Foto: Aditia Noviansyah/Jamal Ramadhan/Herun Ricky/kumparan)
Tak Rukun
Selama ini hubungan Kerajaan Saudi dan PBNU cenderung dingin. NU memang dibangun sebagai upaya untuk menangkal Wahabisme masuk ke Nusantara.
ADVERTISEMENT
Ketika Raja Saud yang beraliran Wahabi berhasil menaklukkan Mekkah dan Madinah pada tahun 1924-1925, Wahabi yang konservatif menguasai Arab. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya. Alasannya, untuk menjaga kemurnian Islam dari bidah, dan untuk mencegah percampuran Islam dengan tradisi lokal.
Oleh sebab itu, terjadilah eksodus ulama besar-besaran dari berbagai mazhab yang non-Wahabi.
Rapat Pleno Pengurus NU di Jakarta, 22 September 2018. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Pleno Pengurus NU di Jakarta, 22 September 2018. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Dalam buku Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam and Politics in Indonesia, Robin Bush (2015) menulis bahwa kiai-kiai pendiri NU lantas mengirim delegasi untuk melobi Raja Ibnu Saud atas kebijakannya yang tak toleran terhadap perbedaan.
KH Hasyim Asyari—yang kemudian menjadi Ketua PBNU pertama—mengirim delegasi yang dinamakan Komite Hijaz, dipimpin KH Abdul Wahab Hasbullah. Rombongan tersebut berlayar ke jazirah Arab dengan membawa lima tuntutan demi eksistensi Islam Nusantara—Islam yang melebur dengan kebudayaan lokal yang beragam.
ADVERTISEMENT
Tuntutan pertama, meminta Raja Ibnu Saud memberi kelonggaran bagi empat mazhab Islam, lain yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Kedua, meminta Kerajaan Saudi untuk menjaga tempat bersejarah.
Ketiga, menyarankan pengelolaan haji yang transparan bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk soal biaya yang dibutuhkan. Keempat, mengusulkan agar semua hukum ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran.
Kelima, meminta surat balasan dari Raja Ibnu Saud terkait permohonan yang telah disampakan oleh delegasi NU tersebut.
Oleh sebab pengiriman delegasi ke Arab untuk menemui Ibnu Saud membutuhkan organisasi resmi, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926. Proses dialog di Arab berjalan alot hingga dua hari. Delegasi Komite Hijaz dihadapkan dengan para ulama yang menjadi penasihat Raja Ibnu Saud, membuat perdebatan antar-mazhab tak terelakkan. Hingga akhirnya kesepahaman didapat kedua pihak, dan mazhab Islam NU diberi ruang di Tanah Suci.
Anak-anak Pondok Pesantren Nurul Jadid di Probolinggo, Jawa Timur. (Foto: Facebook/Pondok Pesantren Nurul Jadid)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak Pondok Pesantren Nurul Jadid di Probolinggo, Jawa Timur. (Foto: Facebook/Pondok Pesantren Nurul Jadid)
Upaya menangkal masuknya paham Wahabi ke Nusantara dilanjutkan NU dengan melebarkan sayap melalui pesantren, sambil ikut berjuang memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda.
ADVERTISEMENT
Kini, NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan jumlah jemaah diperkirakan mencapai lebih dari 50 juta orang.
Warga Nahdlatul Ulama mengikuti Istighosah Kubro. (Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Nahdlatul Ulama mengikuti Istighosah Kubro. (Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
Pertentangan paham memang tidak sampai membuat Kerajaan Saudi dan NU bergesekan sengit. Meski begitu, secara informal kedua mazhab tersebut bersaing di level akar rumput.
Peristiwa buruk sempat terjadi ketika pengaruh Wahabi masuk ke Nusantara pada 1803, berbarengan dengan kepulangan Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang dari perjalanan haji ke Sumatera Barat.
Dikutip dari BBC, ketiganya menentang bidah, penggunaan tembakau, hingga pemakaian baju sutra. Mereka juga memaklumkan jihad melawan kelompok muslim yang bertentangan dengannya. Hingga pecah perang saudara di tanah Minangkabau.
Selanjutnya, perkembangan pesat ekspansi mazhab Wahabi terjadi ketika Arab Saudi mengalami oil boom pada 1970-an yang membuatnya menjadi negara superkaya. Kala itu, Saudi bukan hanya gencar menyeragamkan paham di negerinya sendiri, tapi juga giat menyebarkan literatur-literatur Wahabi ke seluruh penjuru bumi.
Nahdliyin di Malang. (Foto: humas.malangkota.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Nahdliyin di Malang. (Foto: humas.malangkota.go.id)
Pengamat Wahabisme asal Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sunarwoto, mengatakan konflik antara Wahabi dan NU di tingkat bawah memang tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
“Pertentangan tidak secara langsung, tapi dari sisi laporan-laporan di masyarakat, resistensi terhadap Wahabi (di kalangan NU) itu kelihatan,” ujar Sunarwoto, Jumat (7/11). Sebabnya jelas: paham Wahabi bertentangan dengan pandangan NU.
“Tekanannya itu pada ‘pemurnian Islam’. Ia anti-budaya lokal. Pokoknya, semua yang tidak dari Al-Quran dan sunah itu ditolak Wahabi. Berbeda dengan NU,” tutur Sunarwoto.
Salah contoh pergesekan di akar rumput terjadi ketika jemaah Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU menghadiri kajian Islam Permudatan Terselubung di Balik Gerakan Jaringan Islam Nusantara yang digelar Panitia Kajian Salafy Jakarta di Slipi, Jakarta Barat, Februari 2016.
Sebanyak 15 orang rombongan Lesbumi hadir dan membaur di lokasi diskusi dengan pakaian hitam dan blangkon, membuat mereka tampil mencolok dan berbeda dari orang-orang Wahabi yang biasa mengenakan kaftan putih.
ADVERTISEMENT
Belasan anggota Lesbumi itu lantas menjadi sorotan para peserta diskusi, bahkan membuat sang narasumber tunggal, Luqman bin Muhammad Ba’abduh, menyudahi ceramahnya lebih awal.
“Kami hanya ingin mendengar apa yang dipahami saudara-saudara ini tentang Islam Nusantara. Jika memungkinkan, mari kita berdialog secara terbuka, biar tak muncul fitnah,” kata Gus Eko, anggota Lesbumi yang juga Ketua Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga Jawa Tengah, yang turut hadir saat itu.
Meski demikian, friksi semacam itu tak pernah berujung pada benturan kekerasan.
Duta Besar Arab Saudi, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuhaibi, saat berkunjung ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Duta Besar Arab Saudi, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuhaibi, saat berkunjung ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Maka, munculnya pernyataan Osama melalui akun Twitter-nya—yang lima jam kemudian dihapus dan diganti—di tengah hiruk pikuk Reuni 212, kembali memanaskan hubungan NU dan Arab Saudi. Upaya pendekatan selama hampir setahun seolah jadi percuma.
Lipsus Cuitan "Sesat" Dubes Saudi. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus Cuitan "Sesat" Dubes Saudi. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Ucapan Osama bukan saja dinilai menyalahi etika diplomasi antarnegara, tapi juga menyinggung NU yang berbeda mazhab dengan Arab Saudi. Protes yang disampaikan oleh PBNU pun segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Luar Negeri RI dengan pemanggilan Wakil Duta Besar atau Kuasa Sementara Saudi yang berada di Jakarta, Senin (3/12).
ADVERTISEMENT
Meski telah ada pernyataan dari Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel bin Ahmed Al Jubeir, yang menegaskan bahwa Arab Saudi tidak akan ikut campur urusan domestik Indonesia, Osama sendiri belum memberikan klarifikasi apa pun.
Dubes Osama sampai saat ini masih berada di Saudi. Sementara Kedubes Arab Saudi di Indonesia yang dihubungi kumparan melalui Atase Pers dan media center-nya menolak untuk memberi komentar. Mereka mengatakan, pernyataan resmi hanya dapat diberikan langsung oleh sang Dubes.
***
Update: Senin malam (10/12), Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil, mengabarkan lewat akun media sosialnya bahwa Dubes Osama telah meminta maaf kepada Nahdlatul Ulama. Permintaan maaf disampaikan melalui Yenny Wahid, putri mendiang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur―Ketua Umum PBNU periode 1984-1999.
ADVERTISEMENT
Berikut petikan ucapan Dubes Osama seperti diunggah Gus Yaqut dalam Facebook-nya:
Saya cinta rakyat Indonesia. Saya menghargai NU, Muhammadiyah, dan semua organisasi Islam. Seseorang mencoba menghancurkan hubungan baik antara saya dengan Nahdlatul Ulama, antara saya dan rakyat Indonesia. Sampaikan salam hangat kepada saudari saya. Insyaallah saya akan kembali minggu depan untuk menyelesaikan semuanya.
Gus Yaqut pun meminta Nahdliyin untuk menerima permohonan maaf Osama. “Kita saling memaafkan. Ini yang diajarkan agama. Ini yang diteladankan sang junjungan, Nabi Muhammad SAW.”
------------------------
Simak rangkaian laporan lengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Cuitan “Sesat” Dubes Saudi