PBNU Minta RUU Pesantren dan Pendidikan Agama Disahkan 22 September

9 September 2019 19:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekjen PBNU Helmy Faishal meminta agar DPR segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Agama. Ia berharap pengesahan tersebut menjadi kado untuk para santri di Hari Santri Nasional 22 Oktober mendatang.
ADVERTISEMENT
“Mudah-mudahan harapan kita sih bulan ini, kalau dari PBNU. Itu bisa jadi kado untuk Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober,” ucap Helmi di Gedung PBNU, Kramat, Jakarta Timur, Senin (9/9).
Helmy menyebut, RUU Pesantren dan Pendidikan Agama dapat menjaga kemandirian pesantren. Selain itu, dengan adanya UU, potensi pesantren terkena gerakan jaringan radikalisme dan terorisme bisa diminimalisir.
"Jadi jangan sampai nanti ada pesantren yang justru mendapatkan pembiayaan dari luar negeri dan dia mengajarkan ajaran-ajaran yang jauh dari kekhasan itu sendiri, saya kira kita semua bisa menengarai itu fenomena itu," ucapnya.
Lebih lanjut, kata Helmy, RUU Pesantren dan Pendidikan Agama juga dapat menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban. Hal itu mengingat sejarah panjang keberadaan pesantren di nusantara.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita melihat sejarah pesantren itu kan luar biasa, Doktor Sutomo salah satu pendiri Budi Utomo. Beliau mengatakan bahwa jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda ingin menjadikan sekolah-sekolah, justru ponpeslah menjadi sumber pengetahuan dan mata air ilmu bagi masyarakat di nusantara,“ tuturnya.
RUU Pesantren dan Pendidikan Agama saat ini masih dalam pembahasan tingkat lanjut oleh DPR. Selain pesantren, RUU tersebut mengatur soal pendidikan semua agama.
Namun, inisiatif DPR tersebut mendapat sorotan dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Tepatnya pada pasal 69 dan 70 yang hendak mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi.
Dalam pasal 69, Sekolah Minggu yang merupakan pendidikan keagamaan Kristen nonformal dibatasi dalam bentuk program yang paling sedikit memiliki 15 peserta didik. Selain itu, pendidikan nonformal ini juga harus harus mendapat izin dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten atau Kota.
ADVERTISEMENT
PGI menilai, pasal ini tidak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja-remaja gereja di Indonesia.
"Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan ijin karena merupakan bentuk peribadahan," tulis PGI dalam siaran persnya.
Selain itu, PGI berpendapat, RUU itu cenderung membirokrasikan pendidikan nonformal bagi pelayanan anak-anak dan remaja. Padahal, model pendidikan itu sudah lama diterapkan gereja-gereja di Indonesia. PGI khawatir, kecenderungan itu beralih pada model intervensi negara pada agama.