Pejabat PT PJBI Akui Bahas PLTU Riau dengan Eni dan Sofyan Basir

4 Desember 2018 21:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Direktur Operasional PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) Dwi Hartono mengaku pernah menggelar pertemuan untuk membahas perkembangan proyek PLTU Riau-1. Menurutnya, pertemuan itu digelar pada Januari 2018 di ruangan Dirut PLN Sofyan Basir.
ADVERTISEMENT
Selain Sofyan Basir, pihak yang turut hadir dalam pertemuan itu ialah Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso; pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Limited Johanes Kotjo; dan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
"Jadi waktu itu saya di kantor PLN Pusat, saya mendapatkan SMS dari manajer senior yang bunyinya bahwa Pak Dwi dipanggil ke ruang Dirut oleh Pak Iwan Supangkat," ujar Dwi saat menjadi saksi untuk terdakwa Eni di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (4/12).
Saat itu, Dwi mengaku diminta oleh Sofyan dan Iwan untuk menjelaskan perkembangan kesepakatan proyek PLT Riau. Menurut dia, proyek PLTU Riau-1 masih membahas kesepakatan antara pihak PLN dengan pihak China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) dan Blackgold.
Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Dwi menyebut terjadi kedua belah pihak belum sepakat soal joint venture agreement (JVA). CHEC dan Blackgold ingin masa pengendalian JVA selama 20 tahun setelah commercial operation data (COD). Namun, PT PLN dan PT PJB menginginkan jangka waktu itu selama 15 tahun.
ADVERTISEMENT
"Jadi waktu itu Pak Sofyan dan Supangkat Iwan menanyakan tentang progres Riau 1. Sejauh itu apa yang sudah diselesaikan dan apa yang terhambat. Saya laporkan adalah kami waktu itu masih membahas agreement dan hal yang belum disepakati salah satunya kontrol yang 15 dan 20 tahun," jelas Dwi.
"Respons dari Pak Sofyan Basir ya diselesaikan sesuai prosedur saja," imbuh dia.
Menurut Dwi, Eni Saragih tidak berkomentar apapun dalam pertemuan itu. Selain itu, Dwi juga menyebut bahwa Eni tidak pernah memintanya untuk mempercepat agar proyek PLTU Riau segera selesai.
Dalam kesempatannya untuk menanggapi kesaksian Dwi, Eni pun menyebut bahwa dirinya tidak pernah mendorong agar proyek PLTU Riau dipercepat. "Saya tidak pernah mempengaruhi, menghubungi, menekan atau memaksa, paran saksi untuk kepentingan mempercepat atau melancarkan proyek PLTU Riau," ujar Eni.
Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Pengacara Eni, Fadli Nasution, juga sempat mengkonfirmasi hal tersebut kepada Dwi dan tiga saksi lainnya yakni Direktur Utama PT Samantaka Batubara, Rudy Herlambang; Direktur Utama PT PJB, Iwan Agung Firsantara; dan Plt. Direktur Utama PT PLN Batubara, Suwarno. Ketiga saksi itu pun membenarkannya.
ADVERTISEMENT
Eni didakwa menerima suap dari pemegang saham PT Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo sebesar Rp 4,75 miliar. Suap diduga diberikan agar Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1.
Selain dakwaan suap, Eni juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 5,6 miliar dan dan SGD 40 ribu. Uang itu disebut berasal dari 4 pengusaha yang bergerak di bidang energi dan migas yang berkaitan dengan mitra kerja dari Komisi VII DPR.