Peluang Dilematik Prabowo

15 April 2018 13:50 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di hari Rabu (11/4) yang cukup terik, mandat telah diberikan kepada Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
“Sebagai mandataris partai, sebagai pemegang mandat saudara sekalian, sebagai Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum hasil tiga kali kongres, saya menyatakan diri tunduk dan patuh,” jawab Prabowo lantang saat Rapat Koordinasi Nasional Gerindra di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor.
“Saya menerima keputusan ini sebagai suatu penugasan, suatu amanat, suatu perintah dan saya menyatakan siap melaksanakannya,” tegas Prabowo.
Mendengar ucapan Prabowo, sontak ribuan kader Gerindra bergemuruh. Mereka bersama-sama meneriakkan “Prabowo Presiden” berulang kali. Seruan yang seolah memecah dinginnya Hambalang malam itu.
Penerimaan mandat menjadi pertanda kuat bahwa Prabowo siap maju untuk kali ketiga sebagai capres dari Gerindra. Ia diprediksi akan kembali melawan Jokowi setelah kalah tipis dengan selisih enam persen suara pada Pilpres 2014.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, “Dengan Pak Prabowo maju (capres), elektabilitas (Gerindra) untuk pemilu legislatif juga akan lebih baik,” ujar Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon sehari setelah Rakornas Gerindra.
Agenda penerimaan mandat itu, menurut politikus Golkar Bambang Soesatyo, kian memperjelas peta politik jelang Pilpres 2019. Sementara PKS dengan segera menyodorkan sembilan nama untuk menjadi cawapres Prabowo sebagai syarat koalisi.
Pun begitu,PDIP masih menyangsikan keikutsertaan Prabowo untuk ketiga kalinya di pemilu presiden mendatang. “Prabowo kan diberi mandat partai, pertanyaannya: apakah dia sudah pasti maju atau bisa menyerahkan mandat itu kepada orang lain?” ujar politikus PDIP Maruarar Sirait.
Lipsus Ikhtiar Pamungkas Prabowo (Foto: AFP PHOTO/ROMEO GACAD)
Pertanyaan lain berdatangan. Misal, bagaimana kans politik Prabowo mulai dari membangun koalisi hingga memenangkan pemilihan presiden? Siapa calon wakil presiden yang bisa membantu mendongkrak elektabilitas? Dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Berikut analisis para pengamat politik, mulai dari Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Dodi Ambardi, Direktur SMRC Sirojudin Abbas dan Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan, serta Peneliti LIPI Siti Zuhro.
Siti Zuhro, Djayadi Hanan, Dodi Ambardi (Foto: Nikolaus Harbowo/kumparan, Dok dikom.fisipol.ugm.ac.id, Twitter @ReytaJulieta)
Setelah menerima mandat dari Gerindra, seperti apa kira-kira peluang Prabowo di Pilpres 2019?
Sirojudin Abbas: Itu sangat tergantung pada siapa wakil yang dipilih, dan sejauh mana wakil itu menjawab kebutuhan masyarakat. Saya tidak tahu wakilnya siapa. Apakah wakil yang dipilihnya akan memperbaiki potensi kemenangan dia?
Harus dilihat juga aspek psikologi politiknya Pak Prabowo. Apakah--kalau pun (benar-benar) maju saat ini--betul-betul ingin menang dalam pilpres atau sebetulnya dia ingin menyelamatkan muka saja?
Misalnya, mungkin ada problem harga diri yang ingin dilindungi oleh Pak Prabowo. Dia ingin bertarung sampai akhir kemampuan fisiknya, misalnya. Maka untuk kepentingan menjaga harga dirinya, ya lebih baik tarung meskipun kalah.
ADVERTISEMENT
Kalau Pak Prabowo tarung itu lebih menguntungkan buat Partai Gerindra. Gerindra bisa mendapatkan dukungan pemilih secara signifikan ketimbang kalau Pak Prabowo tidak maju atau bergabung dengan Jokowi.
Lipsus Prabowo Subianto (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
Siti Zuhro: Jadi memang setiap pemimpin ada eranya. Setiap era ada pemimpinnya. Pak Prabowo sudah dua kali ikut pemilu.
Aspirasi kehendak masyarakat terhadap calon tertentu memuncak di tahun-tahun tertentu. Contohnya Ibu Mega yang gagal di pemilu. Itu contoh yang paling jelas. Prabowo sudah mencapai titik jenuh. Tidak salah juga kalau kita sebutkan puncak kulminasi Pak Prabowo itu di 2014 kemarin.
ADVERTISEMENT
Djayadi Hanan: Pertama kan, hampir pasti lawannya Jokowi. Dan saya kira, kalau kita jujur mengakui, semua data-data yang kredibel itu menunjukkan bahwa tingkat kepuasan (pemerintahan) Jokowi kan tinggi.
Walaupun banyak yang masih bilang belum aman, tapi peluang dia (Jokowi) untuk menang lebih besar daripada Prabowo. Pertanyaannya, Prabowo punya strategi nggak untuk menghadapi Jokowi yang saat ini lebih mungkin menang.
Yang kedua, apakah Prabowo akan punya bakal wakil presiden yang bisa membantu mendongkrak elektabilitasnya. Karena kalau hanya mengandalkan elektabilitas sendiri, kalau melihat data-data, sulit bagi Prabowo untuk menang.
Jadi dia harus mencari wakil presiden yang bisa membantu dia mempertahankan suaranya di tahun 2014, sekaligus mencuri sebagian suara dari Jokowi supaya menang.
ADVERTISEMENT
Sampai hari ini kan cawapres kan masih dalam proses, belum ada yang muncul secara dominan. Memang ada beberapa nama seperti Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, atau yang lain. Tapi kan hitung-hitungannya belum cukup untuk dia berhadapan dengan Jokowi, kalau berdasarkan data saat ini.
Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo & Agus Yudhoyono (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan, Aditia Noviansyah/kumparan, Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Yang ketiga, ya harus dihitung seberapa banyak logistik yang diperlukan. Meskipun ini dibantah, tapi kan tidak mudah untuk menyediakan logistik cukup banyak guna menghadapi pilpres. Dan itu diisyaratkan oleh orang terdekatnya Prabowo, yaitu adiknya sendiri, bahwa logistik menjadi pemikiran mereka juga.
Prabowo Butuh Modal Nyapres? (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Pemilihan eksekutif dan legislatif sekarang berbarengan. Apakah kebutuhan anggaran logistik akan membengkak?
Siti Zuhro: Ini idealnya dan logikanya, turun. Karena sekali mendayung dua pulau terlampaui. Jadi secara hitung-hitungan, nominal lebih efisien. Tapi kan siapa yang bisa menjamin politik transaksional vote buying tidak marak?
ADVERTISEMENT
Djayadi Hanan: Secara umum jadinya malah menghemat dong, mestinya. Belum tentu sih, belum tentu menghemat dan belum tentu lebih besar. Tergantung pilpresnya nanti berapa putaran. Kalo pilpresnya dua putaran kan dua kali (logistik yang harus dikeluarkan).
Kalau bersamaan dengan pileg, bisa disiasati. Kan biayanya bareng-bareng. Semua calon urunan. Jadi lebih besar kalau biayanya mengandalkan satu orang atau satu kelompok saja. Tapi kalau biayanya bareng-bareng akan lebih terasa ringan. Harusnya lebih hemat.
Kalau elektabilitasnya tinggi, maka bisa jadi biayanya akan lebih rendah. Tapi kalau elektabilitasnya masih rendah seperti Prabowo, dia kan perlu mengerek suaranya, cukup besar upaya yang perlu dilakukan. Pasti lebih besar daripada yang dia lakukan di (Pilpres) 2014.
ADVERTISEMENT
Prabowo dan Modal Jadi Presiden (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Dodi Ambardi: Saya nggak tahu persisnya (anggaran pemilu) karena banyak dana-dana. Misalnya, di setiap timses pasangan calon presiden-wakil presiden itu banyak tim, sehingga susah kita untuk bisa melacaknya satu per satu berapa besarnya.
Pramono Anung kan pernah menghitung tuh, itu antara Rp 400 sampai Rp 3 miliar minimal, untuk caleg, dan untuk satu dapil (daerah pemilihan). Nah kalau untuk satu Indonesia, artinya itu nilainya besar sekali. Saya cuma bisa menduga itu hitungannya triliun. Tapi berapa triliun, saya nggak tahu.
ADVERTISEMENT
Lalu kriteria cawapres seperti apa yang cocok untuk membantu mendongkrak elektabilitas Prabowo?
Sirojudin Abbas: Saya tidak tahu sejauh ini. Tetapi saya kira, kalau lihat pengalaman di (Pilgub) Jakarta terutama, saya melihat Pak Prabowo membutuhkan wakil yang bisa melengkapi kelemahan beliau.
Di antaranya, nuansa sipilnya akan jadi kebutuhan mendasar Pak Prabowo. Pak Prabowo terkesan militeristik, jadi kemungkinan dia akan membutuhkan pasangan sipil.
Sipil yang bagaimana? Menurut pengamatan saya, sipil yang bisa mengisi dimensi-dimensi elektoral yang lain. Dari sisi agama, etnis, dan wilayah, misalnya. Usia juga mungkin, karena Pak Prabowo sudah cukup senior. Maka bisa jadi dia membutuhkan wakil yang bisa menarik kelompok pemilih muda.
Beberapa nama seperti Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo, apakah bisa mengerek elektabilitas Prabowo?
ADVERTISEMENT
Sirojudin Abbas: Saya kira dia (Gatot) terlalu berisiko (jika jadi cawapres Prabowo), akan menutup segmen pemilih. Dia (Gatot) membuat lingkup dukungannya menjadi kecil karena irisan pemilih Prabowo dan Gatot itu sama.
Djayadi Hanan: Anies bisa, Cak Imin bisa. Kalau Cak Imin bisa menambah suara dari NU. Kalau Anies mungkin saja masih ada simpatisannya di kalangan Jokowi, jadi akan menambah (suara). Tapi apakah cukup untuk membuat Prabowo menang? Belum cukup untuk saat ini.
Survei Elektabilitas Prabowo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
------------------------
Ikuti terus laporan mendalam Ikhtiar Pamungkas Prabowo di Liputan Khusus kumparan.