news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pembantaian Rohingya oleh Myanmar Tiru Genosida Yahudi oleh Hitler

29 Agustus 2018 11:40 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Rohingya berebut bantuan di sebuah kamp di Cox's Bazar, Bangladesh. (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya berebut bantuan di sebuah kamp di Cox's Bazar, Bangladesh. (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
ADVERTISEMENT
Pembantaian terhadap Rohingya oleh tentara Myanmar mencapai taraf yang bisa disebut sebagai genosida. Mendengar kata "genosida", seseorang akan teringat pada kata "holocaust", sebuah pembantaian besar-besaran warga Yahudi oleh pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler, pada Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Tidak salah jika mengaitkan pembantaian Rohingya dengan peristiwa yang menewaskan 6 juta orang Yahudi tersebut. Pasalnya, pembantaian Rohingya satu nafas dengan apa yang dilakukan Hitler di tahun 1940-an. Hal ini ditunjukkan dalam laporan penyidik Dewan HAM PBB pekan ini.
Menurut laporan tersebut, nama Hitler disebut sebagai pembenaran atas pembantaian ratusan warga Rohingya pada 2012 oleh Partai Pembangunan Nasional Rakhine (RNDP), salah satu pelaku persekusi Rohingya di Rakhine. Ketika itu warga Rohingya dibunuh di desa-desa mereka oleh massa RNDP, warga setempat, bahkan dibantu oleh tentara dan polisi.
"Pada November 2012, RNDP mengutip Hitler yang mengatakan bahwa 'tindakan tidak manusiawi' terkadang diperlukan untuk 'mempertahankan sebuah ras'," ujar laporan penyidik HAM PBB yang diketahui Marzuki Darusman dari Indonesia.
Pengungsi Rohingya berebut bantuan di sebuah kamp di Cox's Bazar, Bangladesh. (Foto: REUTERS/Cathal McNaughton/)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya berebut bantuan di sebuah kamp di Cox's Bazar, Bangladesh. (Foto: REUTERS/Cathal McNaughton/)
Keunggulan sebuah ras atas ras lainnya kiranya jadi salah satu dasar bagi Hitler menghabisi Yahudi. Menurut laporan PBB, hal ini dialami Rohingya sejak tahun 1960-an. Dalam tiga dekade terakhir, laporan demi laporan soal pembantaian, perkosaan massal, dan pengusiran telah terjadi terhadap Rohingya yang dianggap hina oleh pemerintah Myanmar.
ADVERTISEMENT
Rohingya dianggap warga pendatang ilegal dari Bangladesh, walau telah tinggal di negara bagian Rakhine selama puluhan tahun dan beberapa generasi. Mereka tidak masuk dalam 135 ras nasional yang diakui di Myanmar. Akibatnya, diskriminasi dan persekusi jadi santapan keseharian mereka.
PBB mengatakan, beberapa jargon lantas mengemuka untuk Rohingya yang lantas menjadi dasar kekerasan terhadap mereka. Di antaranya adalah "imigran ilegal", "teroris", "pemakan ras lain" karena "tingkat kelahiran mereka yang tidak terkendali".
Kiranya satu kalimat yang dikutip Dewan HAM PBB dari salah satu publikasi Tatmadaw (militer Myanmar) menggambarkan alasan mengapa Myanmar seakan tidak sudi Rohingya menjadi bagian dari mereka.
"Walau hidup di antara merak, gagak tidak akan bisa menjadi merak," bunyi kalimat itu.
Tentara Myanmar. (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Myanmar. (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)
Agustus tahun lalu menjadi salah satu peristiwa terparah dalam sejarah kekerasan terhadap Rohingya. PBB mencatat ada 10 ribu orang Rohingya tewas dibantai, lebih dari 700 ribu mengungsi ke Bangladesh. Berbagai kesaksian soal pembunuhan, pembakaran, hingga perkosaan massal menghiasi pemberitaan.
ADVERTISEMENT
Walau berdalih pembersihan teroris menyusul penyerangan ke pos tentara, namun menurut penyidik PBB pembantaian Rohingya di Rakhine terlihat sangat terencana dan sistematis. Hal ini, lanjut PBB, sesuai dengan visi Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing yang ingin membersihkan "masalah" Rohingya.
"Masalah Benggala (sebutan Rohingya) adalah masalah lama yang tidak pernah selesai walau berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Pemerintah saat ini akan menyelesaikan masalah ini," kata Hlaing.
Melihat sifat dan skalanya yang besar, penyidik dewan PBB mengatakan pembantaian Rohingya "memiliki niatan genosida". Rohingya dibantai atau diusir, desa-desa mereka dibakar, lalu pemerintah membangun infrastruktur baru di atasnya agar mereka tidak bisa kembali.
Laporan PBB dihimpun setelah dilakukan penyelidikan dan interogasi korban antara September 2017 hingga Juli 2018 di Bangladesh, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Inggris. Tim Penyidik Dewan HAM PBB juga melakukan konsultasi dengan 250 organisasi pemerintah, non-pemerintahan, peneliti, dan diplomat.
ADVERTISEMENT