Pemerintah dan DPR Diduga Bahas RKUHP Tertutup dan Diam-diam

16 September 2019 11:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rancangan KUHP. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rancangan KUHP. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Setelah mengesahkan revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR juga rupanya telah membahas RKUHP secara tertutup.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah dan DPR melanjutkan pembahasan RKUHP secara diam-diam dan tertutup pada 14-15 September 2019 di Hotel Fairmont Senayan Jakarta," kata Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara dalam keterangannya, Senin, (16/9).
Anggara mengatakan, Dari informasi yang diterima dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP (Aliansi KUHP), dalam rapat tersebut Pemerintah dan DPR telah menyatakan selesai merampungkan RKUHP.
"Masyarakat sama sekali tidak mendapatkan info bahwa pembahasan RKUHP akan dilakukan pada hari Sabtu-Minggu tersebut, selain karena pembahasan dilakukan di akhir pekan, juga karena pembahasan tidak tercantum pada jadwal Komisi III dan tertutup karena dilakukan di hotel," kata Anggara.
"Kami juga tidak dapat mengakses informasi atau dokumen apapun dari hasil rapat tertutup tersebut," jelas Anggara.
ADVERTISEMENT
Anggara menjelaskan, pembahasan terbuka RKUHP terakhir dilakukan oleh Pemerintah dan DPR pada 30 Mei 2018. Artinya hampir 1,5 (satu setengah) tahun, tidak ada pembahasan yang terbuka untuk diakses publik.
"Padahal pembahasan RUU yang jelas isinya akan berhubungan dengan masyarakat, khususnya RKUHP yang mengandung begitu banyak pasal kontroversial, harusnya dilakukan secara terbuka sesuai dengan amanat UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," terang Anggara.
Tindakan Pemerintah dan DPR yang secara diam-diam kata Anggara telah mencederai kepercayaan dan amanat rakyat untuk Pemerintah dan DPR.
"RKUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda," jelas Anggara.
Revisi KUHP ini mendapat sorotan dari para praktisi dan aktivis hukum. Sebab, dalam revisi tersebut terdapat pembahasan pasal-pasal krusial.
ADVERTISEMENT
Ada tiga pasal dalam draf RUU tersebut yang menuai perdebatan. Pertama perluasan pasal pidana asusila terkait kumpul kebo dan LGBT, kedua pasal tentang penghinaan presiden dan ketiga pasal penghinaan terhadap hakim.
Pasal LGBT dan Kumpul Kebo
Ilustrasi LGBT Foto: REUTERS/Fabian Bimmer
Dalam KUHP saat ini, Pasal 495 ayat 1 hanya mengatur setiap orang berumur di bawah 18 tahun yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang berjenis kelamin sama, dipidana penjara dengan hukuman makskmal 9 tahun.
DPR mengusulkan perluasan pemidanaan bagi para LGBT, meminta agar perbuatan homoseksual atau pelaku LGBT antar orang dewasa juga dapat dipidana.
Sementara dalam Pasal 488 yang masuk dalam bagian perzinaan, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, akan dikenai pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50 juta. Dalam perkembangannya, pasal kumpul kebo ini diusulkan menjadi delik aduan.
ADVERTISEMENT
Pasal Penghinaan Presiden
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: ANTARA FOTO
Pasal ini tak kalah kontroversial dan melahirkan kritik dari banyak kalangan, lantaran Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 pernah membatalkan Pasal 134 dan 136 KUHP tentang penghinaan kepala negara. MK beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Kemudian di tahun 2015, Presiden Joko Widodo menghidupkan pasal penghinaan presiden dengan menyelipkan satu pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP ke DPR RI untuk disetujui menjadi KUHP pada 5 Juni 2015.
Pasal Penghinaan Terhadap Hakim
Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dalam pasal ini, pihak yang melakukan penghinaan terhadap lembaga peradilan termasuk hakim bisa dipidana. Definisi penghinaan terhadap hakim, misalnya membuat kekacauan dalam ruang peradilan hingga menghina hakim dengan mengeluarkan kata kotor.
ADVERTISEMENT
Pembahasan itu menuai kontroversi sebab melebar pada kemungkinan laporan pidana, bagi wartawan yang memuat tulisan dan dianggap menghina pengadilan.
Namun, hingga saat ini kumparan belum mendapatkan konfirmasi dari DPR dan pemerintah terkait pembahasan RKHUP.