Stigma Buruk Pengacara dan Perkara Korupsi

14 Desember 2017 10:51 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Korupsi bukan perkara kecil di Indonesia. Sejak 2004 hingga Juni 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menangani sekitar 670 kasus korupsi. Aktornya beragam, mulai swasta, pejabat eselon I, II, III, anggota DPR dan DPRD, wali kota dan bupati, menteri, gubernur, hakim, hingga duta besar. Tiga yang disebut pertama adalah kelompok jabatan terbesar yang terlibat korupsi.
ADVERTISEMENT
Jumlah kerugian negara akibat korupsi begitu besar. Misalnya, dari 438 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa sejak 2015 hingga semester I 2017, menurut Indonesia Corruption Watch, negara merugi hingga Rp 680 miliar.
Dalam laporan KPK tahun 2016, tercatat jumlah tersangka korupsi dan operasi tangkap tangan pada tahun itu merupakan yang tertinggi sejak 2005, yaitu 58 jumlah tersangka dan 17 jumlah OTT. Data-data itu tentu memprihatinkan, walau Indeks Perilaku Anti-korupsi (IPAK) Indonesia meningkat dari 3,58 pada 2015 menjadi 3,71 tahun ini.
Salah satu kasus korupsi yang menggegerkan publik tahun ini adalah korupsi KTP elektronik yang merugikan negara sampai Rp 2,3 triliun. Kasus ini kian heboh karena menyeret Setya Novanto--yang kemudian mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR untuk kedua kalinya.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan cuma soal korupsi yang menjadi sorotan publik dalam kasus korupsi e-KTP. Perkara itu juga mengarahkan mata publik pada profesi advokat, atau populer disebut pengacara. Apa sebab?
Profesi pengacara menjadi buah bibir lantaran pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, tampil begitu setia membela kliennya. Berbagai cara seolah ia lakukan untuk meloloskan Novanto dari jerat hukum. Bagai bumper, ia siap berdiri paling depan untuk kliennya.
Waktu itu, apapun seakan bakal dilakukan Fredrich demi membebaskan Novanto. Meski akhirnya dugaan ini tak terbukti dengan putusnya hubungan Novanto dengan sang pengacara. Fredrich--didahului Otto Hasibuan--mundur dari tim kuasa hukum Novanto.
Ketika pengacara bicara korupsi. (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Kita semua mungkin tak asing dengan seloroh berbunyi, “maju tak gentar membela yang bayar”. Seloroh ini kerap dialamatkan salah satunya kepada pengacara, khususnya pengacara yang menangani perkara korupsi.
ADVERTISEMENT
Perkara korupsi, terlebih dengan jumlah ratusan juta, miliar, hingga triliun rupiah, dianggap publik menjadi ladang mencari untung bagi pengacara yang membela tersangka koruptor.
Bagaimana sebenarnya para pengacara memandang perkara korupsi?
Punya Hak Dibela
Pada zaman Athena kuno, setiap orang yang bersalah langsung dijatuhi hukuman oleh Raja tanpa ada proses pengadilan. Kesewenang-wenangan ini, seperti dikisahkan dalam “Keterlibatan Pengacara dalam Kasus Korupsi” di Anti-Corruption Clearing House, membuat Pengacara memberanikan diri membela setiap orang yang didakwa bersalah oleh Raja, dengan alasan agar tercipta keadilan bagi masyarakat,
Kemudian, Pengacara diangkat oleh kerajaan sebagai pembela orang-orang yang berperkara, tanpa meminta bayaran dari orang yang mereka bela. Pengacara yang semula merupakan nama seseorang itu akhirnya menjadi sebutan bagi setiap orang yang membela orang-orang yang berperkara.
ADVERTISEMENT
Mereka membela demi terpenuhinya hak-hak tersangka atau terdakwa, agar proses hukum dapat tegak sesuai undang-undang yang berlaku.
Premis yang perlu digarisbawahi di sini ialah bahwa setiap orang, bahkan tersangka korupsi, memiliki hak yang sama dalam mengakses keadilan melalui seorang pengacara. Sikap inilah yang dipegang oleh salah satu pengacara ternama di Indonesia, Hotma Sitompoel.
Hotma Sitompul (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Selama sekitar 40 tahun berprofesi sebagai pengacara, Hotma sudah menangani setidaknya 5 perkara korupsi, di antaranya kasus Andi Muhammad Ghalib dan Gayus Tambunan, (mantan) pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
“Perkara korupsi kami tangani. Kami bukan membela kejahatan dia, tapi membela dia supaya dapat proses peradilan yang fair. Kalau dibayar, apa salahnya dengan pembayaran itu?” ujar Hotma ketika berbincang dengan kumparan di kantor Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron, Jakarta Utara, Selasa (5/12).
ADVERTISEMENT
Koruptor, menurut Hotma, merupakan orang biasa seperti halnya tersangka dalam perkara-perkara lain. Sehingga tidak ada pengecualian yang membuat hak-hak mereka dibatalkan untuk mendapatkan keadilan seminimal mungkin.
Hotma mengatakan, ia tak membedakan syarat untuk menerima tawaran menangani perkara korupsi. Semua perkara, bagi dia, sama saja, asal calon kliennya menerangkan secara jujur duduk persoalannya.
You jujur sama saya. You ketahuan berbohong, kejeblos you. Mesti jujur. Lalu bagaimana membelanya? Kami minta (bukti yang) memberatkan dan meringankan. Jangan dengan segala kepintaran kami (membela), (akhirnya membiarkan) pembunuh, pemerkosa, koruptor, jalan-jalan di luar. Jangan dong,” ungkap pendiri sekaligus pembina LBH Mawar Saron itu.
Titik inilah, menurut Hotma, yang menjadi persoalan di benak publik. Ada kekeliruan persepsi. Seolah dengan membela seorang tersangka korupsi, si pengacara sudah berarti seorang jahat dan akan mati-matian berupaya membebaskan kliennya dari jerat hukum. Tak ayal, publik akan mencemooh pengacara itu.
ADVERTISEMENT
Hotma memandang persepsi itu wajar, sebab publik tak memiliki hubungan apapun dengan tersangka korupsi itu, sehingga mereka tak memiliki sedikit pun simpati.
Sebaliknya, Hotma mengumpamakan andai anggota keluarga mereka yang menjadi tersangka korupsi, tentu orang yang mencemooh itu akan menuntut keadilan serupa seperti tersangka korupsi yang dibela Hotma.
“Saya tidak terlalu peduli dengan omongan orang. Setiap orang patut dibela. Orang yang menjelek-jelekkan, merasa pengacara itu enggak beres (karena membela koruptor), karena dia enggak mengalami sendiri,” ujar Hotma.
“Kalau tersangka korupsi itu suaminya, adiknya, atau bapaknya, kira-kira dia mau enggak bilang begini, ‘Kenapa sih orang itu mesti dibela? Hukum aja yang berat’. Atau bilang, ‘Bapak saya, adik saya, saudara saya, patut dibela.’ Begitu kena ke (keluarga) dia, lain lagi ceritanya,” kata Hotma.
ADVERTISEMENT
Ia menegaskan, tugas pengacara hanyalah melakukan pembelaan berdasarkan bukti dan argumen hukum. Jadi, tujuan utamanya bukan untuk membersihkan klien dari keterlibatan korupsi jika memang ada bukti yang menguatkan. Melainkan, untuk “mencapai keadilan” bagi si klien berupa keringanan hukuman.
Ketika membela Gayus Tambunan, misalnya, Hotma mengaku hanya membela untuk meringankan hukuman bagi Gayus. Sampai akhirnya, Gayus dinyatakan bersalah dan dipenjara. Hotma mengakui kekalahannya dalam perkara itu.
“Ini orang dibilang maling oleh polisi, kami bela. Jaksa, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung bilang dia maling. Terus saya mesti apa? Teriak-teriak? Bakar kantor pengadilan? Enggak bisa. Be a good loser. Jadilah pecundang yang baik. Saya bicara selalu dalam koridor hukum,” kata dia.
Ketika pengacara bicara korupsi. (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Sudah jadi rahasia umum, perkara korupsi menggiurkan pengacara. Hotma pun tak menampik bayaran yang diterima dari klien perkara korupsi memang besar. Namun, bagi dia, tak ada salahnya selama pembayaran itu didapat dengan cara-cara baik.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud cara baik itu? Misalnya, ia tak menawarkan diri pada klien tersangka korupsi, sebab seorang pengacara memang tidak diperbolehkan melakukan itu. Selain itu, bayaran yang ia dapatkan bukan bagian dari uang yang dikorupsi oleh kliennya.
“Kamu kerja kan dapat berkat. Yang penting bagaimana kamu mendapat berkat itu dan bagaimana kamu menggunakannya. Apakah pernah pegang perkara-perkara besar? Pernah. Ada fee-nya? Besar. Kan tidak hanya selalu membela, (tapi) mendamaikan orang,” kata Hotma.
“Jadi kalau ditanya dapat fee besar, ya dapat. Kalau enggak dapat, bagaimana bisa bertahan membuat LBH begini. Orang boleh menghujat kami. Mau bilang apa, terserahlah. Buat saya, yang terpenting adalah bagaimana menggunakan berkat yang kamu terima.”
Hotma rata-rata menetapkan fee 10 persen dari nilai gugatan kliennya. Besaran itu, kata dia, juga diterapkan oleh pengacara lain. Tetapi tidak pernah ada jumlah yang pasti, sebab semua perkara biasanya dinegosiasikan dengan klien.
ADVERTISEMENT
“Kalau saya, (misalnya), kalau perdata kamu digugat orang Rp 100 miliar, fee 10 persen berarti Rp 10 miliar. ‘Aduh masa Rp 10 miliar, Pak’. Ya terserah kamu deh, mau mintanya berapa, kita negosiasi aja. Tapi tidak terpatok, negotiable, bisa bicara,” ujar Hotma.
Pengacara Hitam
Pengacara Todung Mulya Lubis membenarkan perkara korupsi umumnya menawarkan fee lebih besar dibandingkan perkara-perkara lainnya.
Hal tersebut lantas kerap dimanfaatkan oleh para pengacara yang menggunakan profesinya untuk mencari keuntungan. Tak peduli apakah kliennya itu dinyatakan bersalah atau tidak, yang terpenting bagi si pengacara adalah bayaran yang ia dapatkan.
ADVERTISEMENT
“Ada banyak pengacara yang memang ideologinya cuma cari uang. Satu-satunya misi dalam hidupnya hanya cari uang,” kata Todung di kantornya, Lubis Santosa & Maramis Law Firm, SCBD, Jakarta Selatan, Senin (4/12).
Todung kerap didatangi orang-orang yang terlibat korupsi untuk meminta jasanya. Namun, ia tidak pernah menerima tawaran itu. Menangani perkara tersebut bagi Todung bertentangan dengan komitmennya memberantas korupsi.
Ada sebuah prinsip dalam profesi advokat untuk tidak boleh menolak perkara, kecuali bertentangan dengan hati nurani.
“Saya menolak karena komitmen saya. Kalau saya mau, sudah datang banyak itu kepada saya. Tapi saya enggak mau walaupun legal fee kasus korupsi itu tinggi sekali. Berapapun minta pasti dikasih,” ujar Todung.
“Saya tidak mengatakan mereka tidak punya hak untuk dibela, tapi saya tidak mau menangani kasus-kasus korupsi. Itu prinsip saya,” tambah laki-laki berusia 68 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Todung berpendapat, korupsi merupakan masalah utama bangsa Indonesia. Banyak persoalan muncul yang berakar dari kejahatan korupsi. Dan pihak yang paling dirugikan dari korupsi adalah masyarakat kecil.
Maka tak ada alasan bagi Todung untuk memberikan pembelaan terhadap para koruptor. Bagi dia, koruptor justru harus diganjar hukuman pidana berat.
Memikirkan parahnya korupsi, bikin Todung frustasi.
“Proses hukum di Indonesia sebetulnya sudah cukup maju, tapi karena sistem peradilan di Indonesia dalam arti luas masih banyak dikontaminasi oleh korupsi, itu yang membuat saya frustrasi. Frustrasi karena baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau pengadilan, banyak sekali korupsinya,” kata Todung.
Yang menyedihkan, di antara para pengacara sendiri, menurut Todung, ada sebutan ‘pengacara hitam’. Mereka adalah pengacara yang terlibat dalam praktik-praktik korupsi. Pengacara hitam mengesampingkan misi sebenarnya dari seorang pengacara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Todung Mulya Lubis (Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan)
Todung selama ini dikenal sebagai pengacara kredibel. Ia pernah memenangi perkara melawan Soeharto ketika menjadi pengacara majalah Time pada 2009. Perkara itu sempat menjadi perbincangan hingga mancanegara, dan merupakan salah satu yang melambungkan nama Todung.
Todung, daripada menerima tawaran membela koruptor, memilih membela perkara perusahaan-perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan korupsi. Walaupun, menurutnya, pasar perkara-perkara itu tidak sebesar pasar perkara korupsi.
Todung membantah anggapan bahwa memenangi perkara korupsi memiliki gengsi tersendiri yang lebih tinggi dibanding perkara-perkara lain. Di dunia pengacara, menurutnya, memenangi perkara apapun memberikan nilai lebih bagi pengacara tersebut, asal ia menang dengan cara bermartabat.
“Bukan menang asal menang, dengan menghalalkan segala cara,” ucap Todung.
ADVERTISEMENT
Koruptor Pelanggar HAM
Alissa Wahid, putri Gus Dur, pernah berujar, “Sebagian besar dari kita melihat kasus korupsi seperti menonton infotainment. Kita merasa tidak terdampak langsung”.
Ucapan Alissa benar. Padahal, korupsi--mengulang kalimat pertama artikel ini--betul-betul bukan perkara kecil. Ketika kita mendengar atau membaca berita bahwa koruptor merugikan negara sekian miliar atau triliun, sesungguhnya yang dimaksud dengan negara itu adalah kita--rakyat.
Tetapi, berapa banyak orang yang melihat kasus korupsi Novanto secara serius daripada terkekeh santai tanpa beban?
Sadarkah ketika kita atau tetangga kita menghadapi kesulitan terhadap akses kesehatan, pendidikan, atau lapangan pekerjaan, itu di antaranya disebabkan kejahatan korupsi?
“Koruptor itu biang dari berbagai macam bencana, bahkan biang pelanggaran hak asasi manusia. Contohnya, korupsi KTP elektronik yang kerugiannya sampai Rp 2,3 triliun menyebabkan banyak orang tidak mempunyai KTP elektronik, KTP seumur hidup,” kata Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa di kantor LBH Jakarta, Menteng, Rabu (6/12).
ADVERTISEMENT
Padahal di Indonesia, memiliki Kartu Tanda Penduduk merupakan kunci untuk bisa mengakses berbagai macam pelayanan publik. Ketika seseorang tidak memiliki kartu itu, maka ia terancam tak dapat memperoleh hak-hak dasarnya sebagai warga negara.
Jadi, kata Alghiffari, koruptor bukan hanya pelanggar undang-undang, tetapi juga perampas hak-hak dasar masyarakat luas.
“Jangan melihat korupsi itu hanya uang negara yang diambil, tapi itu adalah hak-hak masyarakat yang diambil. Korupsi itu juga adalah pelanggaran HAM. Kami (LBH Jakarta) tidak akan membela kasus-kasus pelanggaran HAM,” ujar Alghiffari.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa (Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan)
Seperti Todung, Alghiffari menolak menangani perkara korupsi, walau ia menyadari semua orang berhak mendapatkan bantuan hukum.
LBH Jakarta pun pernah menolak ketika diminta KPK untuk mendampingi tersangka atau saksi kasus korupsi yang mengaku tidak mampu untuk membayar jasa pengacara.
ADVERTISEMENT
Menurut Alghiffari, masih banyak pengacara di luar LBH Jakarta yang bersedia memberi pendampingan terhadap orang tersebut.
“Ketika ada lawyer yang mendampingi kasus korupsi, itu merupakan kerja profesi dia dan silakan saja. Tapi kerja lawyer itu untuk keadilan, bukan untuk klien. Tidak boleh seorang lawyer melakukan pembelokan fakta,” ujar Alghiffari yang sudah 9 tahun berkiprah di LBH Jakarta.
Pengacara muda berusia 31 tahun itu sadar, profesinya kerap dianggap sinis oleh masyarakat.
“Di Indonesia, lawyer identik dengan liar atau pembohong. Ini potret buruknya profesi advokat di Indonesia.”
Selalu ada dua sisi dalam mata uang. Layaknya profesi lain, pengacara pun demikian.