Pengacara Sjamsul Nursalim Klaim Utang BLBI BDNI Sudah Lunas

25 Juli 2018 19:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, diduga menyelewengkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun hal itu dibantah oleh kuasa hukumnya, Otto Hasibuan.
ADVERTISEMENT
Menurut Otto, Sjamsul telah membayar seluruh utang dan kewajibannya ke pemerintah. Bahkan, kata dia, hal itu diperkuat dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2002 dan 2006, serta keterangan dari mantan Menteri Keuangan Boediono dan Sri Mulyani.
"Pada 2008 dilaporkan ke pemerintah, diwakili oleh Boediono dan Sri mulyani di rapat paripurna DPR, dinyatakan secara tertulis, 'kami (pemerintah) sudah selesaikan dan tidak akan memproses hukum'," ujar Otto, saat melakukan sesi jumpa pers dengan wartawan di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu (25/8).
BDNI merupakan salah satu obligor yang mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp 37 triliun saat Indonesia mengalami krisis 1998. Bantuan itu terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas.
ADVERTISEMENT
BDNI juga menerima dana BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 hingga 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. Namun dalam kelanjutannya, BDNI diduga menyalahgunakan dana tersebut.
Otto pun membeberkan titik mula BDNI harus utang kepada negara. Saat itu, Indonesia tengah mengalami krisis multidimensi. Naiknya kurs dolar AS terhadap rupiah, mengakibatkan bunga bank meningkat 80 hingga 200 persen. Akibatnya, BDNI mengalami kegoyahan.
Mengantisipasi kerugian, pemerintah memberikan bantuan likuiditas agar seluruh bank, termasuk BDNI, bisa membayar utang-utangnya. "Waktu itu bantuan masuk diselesaikan utang, baik kepada nasabah maupun luar negeri, karena waktu itu mulai rush, berbondong-bondong orang menarik uang," tutur Otto.
Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan (Foto: Marcia Audita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan (Foto: Marcia Audita/kumparan)
Otto mengatakan, setelah bantuan berjalan, pemerintah melalui Bank Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), mengambil alih BDNI menjadi bank take over (BTO) untuk disehatkan kembali.
ADVERTISEMENT
Namun menurutnya, bank tersebut bukannya disehatkan, malah dibekukan pemerintah pada 21 Agustus 1998. Padahal saat itu, kata Otto, BDNI masih memiliki utang bantuan BLBI kepada negara.
"Sementara menurut hukum, yang bertanggung jawab kan bank. Tapi kalau ditutup, enggak bisa membayar semua utang tersebut. Kalau ini diproses hukum, maka tidak ada yang akan kembali karena banknya sudah kosong. Jadi diambil keputusan jangan menyelesaikan masalah ini melalui proses hukum," sebutnya.
Otto menyebut, pemerintah akhirnya mengeluarkan solusi bagi 48 bank yang mau menyelesaikan utangnya, termasuk BDNI, tidak akan diproses hukum. "Akhirnya Pak Nursalim khusus BDNI mau, karena ini demi memenuhi kerja pemerintah, Pak Nursalim bilang 'saya mau ikut program ini," kata Otto.
ADVERTISEMENT
Otto mengaku penghitungan utang Sjamsul dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan Sjamsul. Setelah dihitung, disepakati bahwa BDNI memiliki utang Rp 42 triliun, lalu dikurangi dengan harta yang masih dimiliki BDNI, dengan total utang Rp 27,8 triliun.
"Setelah itu ditarik Sjamsul Nursalim, berarti kan masih ada sisa utang Rp 27,8 triliun, gimana? Sjmsul bilang 'Oke saya bayar. Saya punya harta pribadi saya serahkan, dan uang pribadi Rp 1 triliun'. BPPN bilang akan hitung harta. Setelah dihitung, maka dianggap lunas utang tersebut," tutur Otto.
Otto menuturkan, pelunasan utang tersebut turut diperkuat saat Sjamsul menandatangani Master Settlement Acquitition Agreement (MSAA). MSAA adalah mekanisme penyelesaian utang BLBI melalui jalur non-pengadilan, berupa perjanjian pembayaran secara tunai dan dengan penyerahan aset.
ADVERTISEMENT
"Setelah diteken, dengan ini dinyatakan Sjamsul Nursalim menyerahkan semua harta dan uang tunai, dan pemerintah memberikan jaminan tidak akan disidik dan diproses hukum," ujarnya.
"Setelah itu terjadi kan ada proses penyerahan harta. Pada 25 mei 1999 dilakukan penyelesaian MSAA, setelah harta diserahkan, maka sudah closing. maka pemerintah memberikan release and discharge," sambung Otto.
Lalu pada tahun 2002, BPK kembali mengaudit BDNI. Saat itu, kata Otto, BPK melaporkan bahwa utang dan kewajiban BDNI dinyatakan closing. "Harta sudah diserahkan, sudah lunas kewajibannya. Audit ini investigatif, semua pihak diperiksa di sini," katanya.
Usai audit BPK dinyatakan aman, pemerintah membawa persoalan itu ke MPR. Di akhir, tutur Otto, MPR mengeluarkan keputusan untuk memberikan kepastian hukum (TAP MPR VI/2002).
ADVERTISEMENT
"Sudah ada TAP MPR, keluar Inpres zamannya Megawati. Sama periksa lagi, kemudian disebutkan bagi yang sudah selesai diberikan kepastian hukum," ujarnya.
Bahkan, Otto menyebut, laporan BDNI yang diperiksa oleh Financial Due Dilligence (FDD) Ernst & Young, menyatakan Sjamsul Nursalim malah kelebihan bayar. "Itu adalah FDD Ernst & Young yang ditunjuk pemerintah, bukan oleh Sjamsul Nursalim. Karena sudah diaudit Ernst & Young, dianggap lunas, maka dikeluarkan Surat Keterangan Lunas," tuturnya.
Pada 30 November 2006, pemerintah berencana membubarkan BPPN. Untuk menutup buku, Otto menyebut BPK kembali melakukan audit. Kata Otto, dari hasil audit BPK kedua kali itu, SKL untuk Sjamsul memang layak diberikan.
Namun saat KPK meminta BPK untuk mengaudit investigatif pada 2017, ditemukan kerugian negara yang membuat keberadaan Sjamsul kini dicari. Akibat hal ini, Ketua BPPN yang memberikan SKL untuk Sjamsul, Sjafruddin Arsyad Temenggung, dijerat sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
"Setelah 20 tahun audit BPM 2017, karena SKL diberikan maka ada kerugian negara. Bagaimana ini bisa terjadi? Ini kan sangat menyedihkan, itu sebabnya saya katakan kalau begini terus bagaimana kepastian hukum. Kalau kita punya utang sudah diteken, terus diproses lagi bagaimana? Ini kan pemerintah yang menjamin," ungkap Otto.
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Pada kasusnya, Syafruddin didakwa melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua tambak tersebut diduga memiliki kredit macet kepada BDNI.
Syafruddin juga diduga tetap memberikan rekomendasi Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham untuk Sjamsul Nursalim, meski Sjamsul Nursalim dinilai belum memenuhi syarat untuk itu. Perbuatannya disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
ADVERTISEMENT