Pengalaman Pahit Wanita Bercadar: Dituduh Teroris dan Dilempar Botol

21 Juli 2018 12:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Niqab Squad  (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Niqab Squad (Foto: Basith Subastian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Penggunaan cadar di Indonesia hingga kini masih menjadi kontroversi. Misalnya, pada bulan Maret 2018 lalu rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melarang mahasiswinya mengenakan cadar di lingkungan kampus. Sebab mengenakan cadar dianggap sebagai bentuk radikalisme.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah mendapat pertentangan dari berbagai pihak, larangan itu dicabut. Pertimbangannya, agar tercipta lingkungan kampus yang kondusif.
Dua bulan berselang, yakni pada Mei 2018, bom bunuh diri terjadi di tiga gereja yang berbeda di Surabaya. Kedua pelaku mengenakan cadar ketika melangsungkan aksi kejamnya. Karenanya, masyarakat semakin menaruh curiga kepada mereka yang bercadar.
Alvara Research Centre, sebuah lembaga penelitian Indonesia menyebut jumlah perempuan di Jakarta yang mengenakan cadar tak lebih dari 2 persen. Namun angka tersebut diprediksi akan terus meningkat.
Tyas Ummu Zahid, seorang karyawan swasta sekaligus ketua komunitas muslimah bercadar Niqab Squad, berbagi pengalamannya menjadi perempuan bercadar di Ibu Kota.
Niqab Squad komunitas muslimah bercadar (Foto: Tio/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Niqab Squad komunitas muslimah bercadar (Foto: Tio/kumparan)
Ibu satu anak ini mengaku, alasannya mengenakan cadar karena merasa nyaman dan aman. 2015, tahun pertamanya mengenakan cadar adalah momen yang berat bagi Tyas. Dijauhi oleh teman-teman, mendapat cibiran dari masyarakat sekitar, jadi cobaan yang harus dihadapi setiap hari.
ADVERTISEMENT
"Yah, teman-teman yang dulu dekat perlahan menjauh ketika tahu saya mengenakan cadar. Namun digantikan oleh Allah dengan teman baru yang sudah bercadar jadi saya merasa senang dan terharu," ujar Tyas saat pada Sabtu (24/6).
Kekhawatiran juga datang dari keluarga Tyas. Mereka cemas bila Tyas terjerumus ke hal-hal negatif. Namun keputusannya semakin kuat ketika suami mendukungnya bercadar.
"Ya, saya jelaskan kepada keluarga kalau yang negatif itu bukan karena cadar atau hijabnya. Melainkan orangnya, jadi bukan salah cadarnya," lanjut Tyas.
Selain merasa nyaman dan aman, bagi Tyas, cadar juga membawa keberuntungan. Pekerjaan yang dilakoninya sekarang datang dengan sendirinya setelah Tyas bercadar.
"Jadi bos saya itu minta saya untuk bekerja di perusahaannya. Walaupun dengan cadar dia tidak keberatan," tutur Tyas.
Niqab Squad komunitas muslimah bercadar (Foto: Marissa Kres/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Niqab Squad komunitas muslimah bercadar (Foto: Marissa Kres/kumparan)
Meski begitu, cibiran seperti sebutan teroris hingga maling pernah diterima oleh Tyas. Bahkan tak hanya verbal, bully fisik juga pernah diterimanya.
ADVERTISEMENT
"Banyak yang bilang ninja, teroris, sampai dilempar air mineral itu ada ya dulu. Tapi saya kan orangnya cuek jadinya ya enggak diambil perasaan," katanya mengenang.
Cerita lain datang dari Amalia, perempuan 29 tahun ini sudah berniqab sejak 2017. Alasannya serupa dengan Tyas, karena merasa nyaman dan terlindungi.
"Pertama sih karena sering diganggu di jalan, awalnya kan pakai hijab yang biasa itu. Digodain laki-laki, apalagi saya kan pakai transportasi umum. Jadi saya memutuskan untuk berniqab," ujar Amalia saat ditemui kumparan pada Sabtu (7/7).
Niqab Squad komunitas muslimah bercadar (Foto: Marissa Kres/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Niqab Squad komunitas muslimah bercadar (Foto: Marissa Kres/kumparan)
Motivasi bercadar juga datang dari lingkungan pertemanan Amalia yang aktif di sebuah komunitas bercadar bernama Akhwan Archeri. Bukan tanpa rintangan, penolakan datang dari ibunda Amalia.
ADVERTISEMENT
"Mama saya bilang, 'udahlah enggak usah pakai cadar kalau di lingkungan rumah nanti disangka teroris'. Tapi saja jelasin kalau kegiatan saya positif dan bukan teroris," lanjut Amalia.
Saat ke mal, Amalia juga mendapat perlakuan berbeda. Ia diperiksa lebih lama dari pengunjung lain yang tak bercadar.
"Saya sampai dimintain KTP sama satpam sebelum masuk mal. Saya sih enggak keberatan, cuma kok gini ya. Setelah satpam tahu kalau saya ini enggak membahayakan, lalu dia mengizinkan saya masuk," tutur Amalia.
Bahkan ketika rentetan bom menyerang Surabaya, Tyas dan Amalia menjadi was-was. Tyas yang biasanya bekerja dengan mengayuh sepeda, ketakutan dan akhirnya harus diantar oleh keluarga atau sahabat untuk sampai ke tempat kerja dan pulang ke rumah. Sementara Amalia, merasa mendapatkan diskriminasi beberapa hari setelah bom Surabaya terjadi.
ADVERTISEMENT
"Ada teman yang nge-WhatsApp saya bilang copot aja cadarnya nanti disangka teroris kan yang ngebom kemarin pakai cadar. Lalu di mal juga aduh, kerasa sekali diskriminasinya," kata Amalia.
Sabar dan senyum menjadi 'senjata' Amalia dan Tyas dalam menyikapi perilaku negatif dari masyarakat. "Diamkan saja ya, karena kalau melawan malah menjadi-jadi mereka, kita doakan saja," tutup Tyas.