KONTEN SPESIAL PENGEMIS

Pengamat Sosial: Pemerintah Daerah Harus Cegah Pengemis

28 Maret 2019 10:55 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pengemis. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengemis. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Keberadaan pengemis merupakan fenomena global. Sulit mencari negara di dunia yang bebas dari dari fenomena sosial semacam itu. Di negara-negara Eropa yang tergolong maju saja, masih kerap dijumpai orang yang meminta-minta dengan berbagai macam motif.
ADVERTISEMENT
Menghapus eksistensi para pengemis juga bukan perkara sederhana. Masing-masing negara punya kiat sendiri untuk mengatasinya. Di Tanah Air, persoalan pengemis masih terbilang pelik. Untuk membahas fenomena pengemis di Indonesia, kumparan berbincang dengan Devie Rahmawati, Pengamat Sosial Vokasi UI.
Perempuan yang kerap disapa Devie itu menceritakan pengalamannya bertemu pengemis di negara-negara Benua Biru. Simak perbincangan selengkapnya berikut ini:
Bagaimana melihat fenomena pengemis ?
Pengemis itu menjadi bagian dari komunitas yang berusaha mencari tempat di kota di mana pun. Ada dua pendekatan yang biasanya dilakukan oleh negara terhadap pengemis ini. Satu yang betul-betul melarang, lalu ada yang melarang dengan bersyarat, yang bersyarat itu ketika mereka melakukan upaya-upaya dalam menjaring masyarakat dengan aturan hukum yang sangat ketat yang membuat mereka juga bisa dipenjara. Tapi ada yang kemudian memilih pendekatan yang lebih soft, lebih ringan.
ADVERTISEMENT
Berarti bisa dipenjara juga?
Bisa, karena biasanya seperti di beberapa negara misalnya Australia, alasannya biasanya mereka melakukan penipuan, misalnya mereka mengaku sakit X, jadi saya memohon bantuan atau melakukan penipuan publik pura-pura dalam kondisi yang tidak utuh tubuhnya, kenanya pasal penipuan. Atau melakukan penyerangan terhadap orang karena misalnya kalau di luar negeri sampai ada yang bawa binatang, jadi menakut-nakuti orang, bentuknya penyerangan.
Ilustrasi pengemis. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Persoalan pengemis di Indonesia karena dorongan ekonomi atau mentalintas?
Bisa jadi mereka memang secara tetap memilih mengemis itu sebagai profesi atau yang memang sementara. Sementara itu misalnya begini, mereka misalnya habis di PHK, jadi membutuhkan upaya untuk memenuhi kebutuhan sementara yang belum dipenuhi sebelum mereka mendapat pekerjaan. Tapi ada yang memang memilih menjadikan ini sebagai profesi, bahkan kalau di negara-negara maju, mereka punya mesin EDC (Electronic Data Capture), jadi kalau Anda enggak punya cash, pakai kartu saja, sudah seadvance itu di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Seperti apa saja modusnya?
Modusnya, ternyata secara global itu sama. Mereka menjaring dana masyarakat di tempat-tempat yang sama misalnya di lampu merah. Karena di situ ada kesempatan mereka mendemonstrasikan atau memperlihatkan bahwa mereka adalah orang yang membutuhkan karena ada masa orang stop (berhenti). Lalu di toko-toko, ketika orang selesai belanja orang akan merasa bersalah, ketika tangan kanan penuh dengan belanjaan terus ada orang yang meminta-minta kita merasa berdosa, sudah belanja banyak masak sih ngeluarin Rp 1.000 aja enggak bisa. Atau di ATM, karena lagi-lagi orang udah ngambil uang masak sih misalnya ngasih Rp 1000 saja enggak mau. Itu di seluruh dunia sama.
Bagaimana dengan budaya masyarakat Indonesia yang suka memberi?
ADVERTISEMENT
Masyarakat punya kecenderungan untuk memberi pada musim-musim hari raya, biasanya akan banyak. Pada saat itu ada yang dapat THR. Di saat-saat itu, kita didorong untuk memberi lebih banyak, jadi mereka (pengemis) pun betul-betul membaca situasi tersebut.
Ilustrasi pengemis. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Lantas bagaimana mengatasinya?
Kalau seperti pemerintah Singapura itu jelas, bahwa misalnya, mereka mensosialisasikan untuk membantu orang lain yang terbaik adalah caranya dengan membuat orang itu mandiri. Makanya di masyarakat sana sudah penuh kesadaran ketika misalnya mereka melihat ada pengemis, mereka akan langsung telepon ke call center yang disediakan pemerintah agar kemudian pemerintah menindaklanjuti.
Bagaimana dengan penanganan di Indonesia?
Sebenarnya di Indonesia juga sudah baik, ada badan amal, nah itu yang benar. Tapi persoalannya, riset dunia itu menunjukkan unik. Kenapa kemudian orang senang memberikan bantuan secara eceran, ritel daripada naruh ke Badan Amal Zakat misalnya, padahal kalau melalui badan amal duit kita yang Rp 1.000 nilainya akan sama dengan orang yang kasih Rp 1 miliar. Karena ketika digabungin manfaatnya menjadi lebih besar. Enggak ada satu pun nilai yang dianggap lebih kecil atau lebih baik. Tapi ternyata manusia itu egois.
Pengemis kaya yang terjaring razia Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Maksudnya?
ADVERTISEMENT
Pertama karena dengan dia menyumbang sendiri dia merasa sudah berbuat baik. Ketika dia sudah bisa menyerahkan langsung dia merasa dia lebih percaya bahwa itu bisa dirasakan manfaatnya langsung oleh sang penerima karena dia melihat betul penerimanya. Kedua, dia merasa sudah mewakili kewajiban-kewajiban kebaikan yang harus dia lakukan.
Apa upaya pemerintah yang paling tepat untuk memberantas masalah pengemis di Jakarta?
Pemerintah daerah punya tanggung jawab karena kalau kemudian banyak orang jadi pengemis di daerah X, dan itu ada datanya, ketahuan kok profilnya di daerah mana. Daerah itu seharusnya tanda kutip, diberikan sanksi. Kenapa dia bisa membiarkan masyarakatnya mengemis. Artinya apa, dia ingin menutupi potret kemiskinan daerahnya dengan membiarkan orang itu kemudian membuat potret kota lain menjadi buruk. Pemerintah pusat bisa menjadi wasit dalam hal ini. Karena kasihan daerah-daerah tertentu selalu menjadi daerah tujuan utama dari para pengemis ini untuk mendapatkan secercah nafkah itu. Sifatnya kan sementara kalau nangkep, pulangin, itu sampai berapa lama, nah ini kan di hulunya perlu diselesaikan.
Ilustrasi pengemis. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Mungkinkah memutus mata rantai pengemis?
ADVERTISEMENT
Saya keliling Eropa saya masih melihat juga (pengemis) jadi artinya memang PR-nya adalah kalau untuk mengurangi bukan menghilangkan, masyarakat juga perlu dididik sudah berhenti untuk memberikan sumbangan yang eceran tadi, berikanlah ke badan amal agar manfaatnya jauh lebih besar, lebih produktif. Uang Anda yang Rp 1.000 digabung dengan Rp 1 miliar kan bisa jadi rumah sakit padahal cuma nyumbang Rp 1.000. Nah di sini juga ada PR bagi badan-badan amal untuk bisa terus berbenah diri untuk menampilkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada mereka karena bisa jadi masyarakat masih ada keraguan.
Simak story lainnya dalam topik Awas Pengemis Kaya
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten