Penghulu Samanto Sudah Lapor Gratifikasi Sebelum Ada Imbauan KPK

25 April 2018 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bertemu Samanto si penghulu Jujur (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bertemu Samanto si penghulu Jujur (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
ADVERTISEMENT
Samanto, penghulu asal Imogiri, Yogyakarta, menempati urutan ke-4 sebagai pelapor gratifikasi terbanyak ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sepanjang tahun 2015 hingga 31 Maret 2018, tercatat ada 38 suap berbentuk uang yang diserahkan Samanto ke KPK.
ADVERTISEMENT
Pria 38 tahun itu mengaku, kebiasaan baik tersebut berawal dari kekhawatirannya ketika mendapat amplop berisi uang yang diberikan oleh masyarakat pada tahun 2013.
Samanto menyebut, kebiasaan warga dalam memberikan amplop bagi penghulu dianggap wajar. Karena upah yang diberikan negara untuk penghulu hanya sebesar Rp30 ribu. Itu pun sudah termasuk transportasi dan jasa profesi. Jumlah yang jauh dari standar kebutuhan, jadi alasan banyak penghulu menerima gratifikasi dari warga.
"Jadi itu tahun 2013 ya, biaya pencatatan nikah masih Rp30 ribu. Itu saya kira hampir setiap petugas diberi amplop. Karena memang saat itu biayanya cuma Rp30 ribu dan itu termasuk kecil ya untuk petugas KUA," ujar Samanto saat ditemui kumparan (kumparan.com) pada Kamis (204) di kantor KUA Imogiri, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah peraturan pemerintah (PP) yang mengatur soal tarif dan biaya pencatatan nikah diimplementasikan pada Juli tahun 2014, Samanto mulai ragu dengan amplop yang ia terima dari warga.
Dalam PP tersebut, jelas disebutkan bahwa segala jenis praktek uang saku, tanda terima kasih, pengganti transportasi atau istilah lainnya yang terkait dengan pencacatan nikah dan tidak resmi, termasuk dalam gratifikasi.
"Kemudian, sebagai aparatur negara, bekerja itu harus sesuai aturan. Artinya yang kita terima itu harus ada dasarnya sesuai aturan UU. Sementara, pemberian amplop itu belum ada regulasinya yang mengatur itu boleh atau tidak," lanjut Samanto.
Kemudian, bapak tiga anak itu mencoba mencari tahu status amplop yang diberikan warga secara sukarela tersebut. Samanto mengaku, proses yang ia lalui dalam melapor gratifikasi tidaklah mudah. Karena, saat itu belum ada penghulu yang melakukan hal serupa dengan dirinya.
ADVERTISEMENT
"Nah waktu itu, belum ada sama sekali yang melaporkan (gratifikasi), artinya status itu belum ada. Kemudian syarat pelaporannya itu bagaimana?" kata Samanto.
Samanto tidak patah arang, niat baik itu terus ia pupuk. Samanto mengusahakan segala acara demi menyerahkan uang yang bukan menjadi hak miliknya.
"Kemudian kami (saya) mencari dari brosur-brosur yang diberikan oleh KPK terkait bagaimana melaporkan gratifikasi kemudian saya buat format sendiri yang mendekati apa yang dikehendaki KPK," kata Samanto.
Penghargaan Samanto Penghulu Imogiri (Foto: Dok. Pribadi Samanto)
zoom-in-whitePerbesar
Penghargaan Samanto Penghulu Imogiri (Foto: Dok. Pribadi Samanto)
Selama sebulan penuh Samanto beserta tiga rekan penghulu lainnya melaporkan gratifikasi yang ia terima kepada KPK. Usahanya tak sia-sia, setahun berlalu, KPK lantas menurunkan Surat Keputusan mengenai PP No 48 Tahun 2014 terkait biaya pencatatan nikah.
ADVERTISEMENT
"Penetapan itu bunyinya, bahwasanya segala sesuatu yang diberikan oleh keluarga manten untuk petugas adalah milik negara dan harus disetor ke kas milik negara. Lalu kami setor melalui rekening yang terlampir dalam SK, kemudian hasil bukti setor itu kami kirim lagi ke KPK jadi statusnya jelas," lanjut Samanto.
Namun begitu, KPK memperbolehkan menerima makanan yang diberikan oleh warga kepada penghulu. Meski mengalami banyak kendala juga proses yang tidak mudah, kejujuran serta niat baik tersebut sudah menjadi prinsip hidup Samanto.
"Sebagai seorang petugas aparatur negara, kita harus bekerja sesuai dengan regulasi dan aturan yang ada. Menerima honor atau kompensasi kan harus ada regulasinya. Selama itu tidak ada (regulasinya), bisa jadi itu dianggap pelanggaran," kata Samanto.
ADVERTISEMENT