Penjelasan Gamblang Tim Ahli Pemerintah soal Delik Korupsi di RKUHP

6 Juni 2018 15:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konpers Kemenkumham (Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konpers Kemenkumham (Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa perubahan sanksi yang akan diberlakukan. Termasuk soal hukuman untuk terpidana kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Namun, Tim Ahli Panitia Kerja RUU KUHP dari Pemerintah membantah perubahan sanksi untuk koruptor dalam rancangan perubahan regulasi itu membuat hukuman menjadi lebih ringan. Perubahan hukuman dinilai untuk membuat aturan tersebut menjadi lebih proposional.
Anggota Tim Ahli Panitia Kerja RUU KUHP dari Pemerintah Harkristuti Harkrisnowo menyebutkan, dalam RUU KUHP ada penyamaan hukuman minimal untuk korupsi yang dilakukan PNS. Sedangkan dalam aturan yang berlaku sekarang ada perbedaan hukuman minimal untuk PNS.
Jika korupsi dilakukan PNS yang punya jabatan, hukuman minimalnya adalah 1 tahun penjara. Namun, hukuman mininal lebih tinggi justru diberikan untuk koruptor PNS yang tidak punya jabatan yaitu minimal 4 tahun penjara.
"Jadi ini berkaitan dengan pasal 2 dan 3 dari UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal dua ditujukan untuk setiap orang artinya dia bukan pejabat negara, kami mendapati bukan pejabat sanksi minimal 4 tahun, tapi kalau dia PNS, pejabat, itu kok 1 tahun? Kami anggap tidak rasional," kata Harkristuti Harkrisnowo di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jalan Rasuna Said, Jakarta Pusat, Rabu (6/6).
Konpers Kemenkumham (Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konpers Kemenkumham (Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan)
Harkristuti menyatakan, dalam RUU KUHP, hukuman minimal untuk koruptor PNS justru disamakan. Namun, tidak disebutkan penyamaan hukuman minimal itu menjadi berapa tahun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Harkristuti juga membantah RUU KUHP telah menutup kemungkinan koruptor untuk dihukum mati. Dia menuturkan, pendapat yang menyatakan revisi regulasi tersebut menutup kemungkinan hukuman mati koruptor muncul akibat kesalahan pemahaman. Harkristuti menyatakan, hukuman mati untuk koruptor diatur dalam UU Tipikor bukan KUHP.
"Dalam pasal 2 ayat 2 (UU Tipikor) dirumuskan bahwa tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 yaitu korupsi apabila dia melanggar tertentu akan dijatukan pidana mati, ayat itu tidak dihapuskan saudara-saudara dari UU Korupsi (UU Tipikor). Yang dihapuskan dan diganti KUHP hanya Pasal 2 ayat 1 (soal penyalahgunaan kewenangan -red), karena kekurangan pahaman jadi dianggap kami memghilangkan sanksi pidana mati dalam uu korupsi,"ujarnya.
Dalam UU Tipikor memang ada delik yang mengatur koruptor untuk dihukum mati untuk keadaan tertentu. Di antaranya untuk koruptor yang berulang kali merugikan negara dan korupsi saat negara sedang mengalami krisis ekonomi.
ADVERTISEMENT