Pentingnya Pelajari Kejiwaan Pemenggal Kepala Bocah SD di Kalsel

19 September 2019 6:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pembunuhan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembunuhan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Akhmad (35), pria asal Desa Limpasu, Kalimantan Selatan, diamankan Polres Hulu Sungai Tengah, karena memenggal kepala bocah berusia 10 tahun berinisial RR (10) yang merupakan tetangganya. Rupanya, pelaku diduga mengalami gangguan jiwa.
ADVERTISEMENT
Meski dianggap mengalami gangguan jiwa, polisi tetap melanjutkan proses pidana terhadap Akhmad. Pelaku telah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum di Kota Banjarbaru untuk dilakukan pemeriksaan kejiwaan.
“Diproses (pidana--red), yang menentukan nanti pengadilan,” ucap Kepala Kepolisian Resor Hulu Sungai Tengah, AKBP Sabana Atmojo, diberitakan banjarhits.id, Rabu (18/9).
“Hasilnya (pemeriksaan kejiwaan) belum tahu, 'kan dokter memeriksa. Hasilnya bisa lama,” lanjutnya.
Ternyata, bukan kali ini saja Akhmad melakukan pembunuhan. Pada 2015 silam, Akmad pernah membunuh kakak kandungnya sendiri, Agus. Namun, saat itu ia lolos dari pidana dan mendapat perawatan sakit jiwa di RSJ Sambang Lihum.
Untuk mengacu proses hukum terhadap orang dengan gangguan jiwa, Psikolog Forensik Reza Indragiri mengacu pada Pasal 44 KUHP.
ADVERTISEMENT
Pasal itu menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit. Sehingga, polisi diminta untuk akurat dengan hasil kejiwaan Akhmad.
"Boleh jadi gangguan jiwanya hanya malingering (pura-pura sakit) atau pun bukan tipe yang mendapat dispensasi (seperti dalam) pasal 44 KUHP. Apa tipe gangguan jiwanya? Dari situlah (ditentukan pidana)," tutur Reza saat dihubungi, Rabu (18/9) malam.
Jika benar pelaku benar memiliki gangguan kejiwaan, maka perlu dicek lagi sejak kapan menderita gangguan tersebut.
Reza Indragiri, psikolog forensik. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Karena semisal gangguan jiwa baru muncul setelah melakukan pembunuhan, maka Akhmad tetap dipidanakan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Sesungguhnya proses pidana tidak menuntut adanya pengakuan terdakwa. Bahkan terdakwa tidak hadir (persidangan) pun tak apa. Itu sebabnya ada istilah in-absentia. Mengacu itu, persidangan tetap bisa berlanjut, pembuktian yang dicari," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Berikut isi pasal 44 KUHP:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Kejadian ini bermula pada Selasa (17/9) lalu, saat Akhmad membunuh RR saat korban sedang belajar di depan rumah pelaku dengan tiga temannya. Akhmad menebas kepala RR dengan sebilah parang bungkul.
ADVERTISEMENT
“Tiba-tiba pelaku datang dari dalam rumah dengan membawa sebilah parang dan menghampiri korban. Kemudian menebas leher korban, sehingga leher korban putus,” jelas Sabana.
Melihat aksi keji Akhmad, tiga teman RR histeris dan langsung berlari menyelamatkan diri. RR sendiri masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD).
Akhmad terancam dijerat Pasal 338 KUHP dan Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup.