Penyesalan Habib Bahar Setelah Aniaya 2 Remaja

24 Mei 2019 6:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Habib Bahar bin Smith menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (6/12). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Habib Bahar bin Smith menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (6/12). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Nasi telah menjadi bubur. Penyesalan pasti datang belakangan. Habib Bahar bin Smith menyesali perbuatannya yang telah menganiaya dua remaja berinisial CAJ dan MKU di Pondok Pesantren Ta'jul Alawiyin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 1 Desember 2018.
ADVERTISEMENT
Bahar akhirnya mengakui perbuatannya. Pengakuannya ini bermula saat jaksa penuntut umum menampilkan video penganiayaan terhadap CAJ dan MKU dalam persidangan di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Kota Bandung, Kamis (23/5).
"Benar enggak yang Saudara lakukan?" tanya Ketua majelis hakim, Edison, ke Bakar.
"Saya mengatakan, itu semua yang terekam dalam video, benar. Saya menganiaya, Yang Mulia. Saya datang ke kejaksaan dan mengikuti proses hukum itu sebagai bukti saya mengakui kesalahan saya, Yang Mulia," jawab Bahar.
Bahar mengaku perbuatannya itu memang salah dan tak dibenarkan. Dari lubuh hati yang paling dalam, Bahar pun mengungkapkan penyesalannya.
"Kalau menurut hukum positif dan warga negara yang baik, tidak benar. Karena saya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut," jelas Bahar.
ADVERTISEMENT
Pengakuan dan penyesalan Bahar tentu berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini yang tak terima dituduh menganiaya CAJ dan MKU yang masih anak-anak.
Selama ini, Bahar dan dua temannya, Agil Yahya dan Muhammad Abdul Basit, didakwa menganiaya CAJ dan MKU hingga babak belur di ponpes miliknya.
Habib Bahar diduga menganiaya karena kesal CAJ telah berpura-pura sebagai dirinya di Bali. Dalam dakwaan, CAJ mengaku sebagai Habib Bahar atas perintah MKU.
Berdasarkan dakwaan ketiga, jaksa menilai Bahar telah melanggar Pasal 80 ayat (2) Jo Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kuasa hukum Bahar, Ichwan Tuankotta, mengatakan, dakwaan jaksa tidak merinci bagaimana kualifikasi anak. Selain itu dakwaan jaksa, lanjut Ichwan, juga tidak menyebutkan siapa yang dimaksud sebagai anak, apakah MKU yang telah menginjak usia 17 tahun, CAJ yang berusia 18 tahun, atau keduanya.
Terdakwa kasus dugaan penganiayaan terhadap remaja Bahar bin Smith menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan putusan sela. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Sedangkan merujuk pada UU Perlindungan Anak, istilah anak adalah bagi seseorang yang belum berusia 18 tahun.
ADVERTISEMENT
“Itulah yang kami permasalahkan yang masuk dalam perlindungan anak siapa? Undang-undang yang mana? Kalau CAJ kan umurnya sudah 18 tahun. Kalau MKU usia 17 tahun. Kita enggak paham tuh, jaksa penuntut umum tidak menjelaskan,” kata Ichwan usai persidangan di Gedung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Bandung, Rabu (6/3).
Untuk itu, Ichwan meminta dakwaan tersebut dibatalkan. Selain karena kabur dan tak detail, ada beberapa dakwaan yang menurutnya tak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Apakah sudah standar KUHAP? memenuhi aturan? nah itu yang kita kritisi. Apa yang disampaikan jaksa itu kabur,” klaim Ichwan.
Sementara itu, Bahar mengaku tak mengetahui ada santrinya ikut menganiaya CAJ dan MKU tanpa sepengetahuannya. Ia kaget MKU menderita luka yang lebih parah dari sepengetahuannya.
ADVERTISEMENT
Padahal, kata dia, pukulan yang dilayangkan kepada MKU hanya menyebabkan luka memar. Bahar memang mengaku hanya menyuruh santrinya menggunduli MKU. Peristiwa gundul-menggunduli telah menjadi tradisi di pondok pesantrennya.
"Saya tidak pernah menyuruh murid saya memukul mereka. Karena saya hanya menyuruh untuk membotaki, karena saya melarang melakukan kekerasan seperti itu. Itu membotaki adat istiadat di pondok pesantren kami," jelasnya.
Akibat kejadian itu, Bahar mengaku telah mengeluarkan lima santri yang ikut menganiaya MKU.
"Makanya ada lima anak pondok yang saya keluarkan karena tidak taat dengan perintah gurunya. Anak (dari) Ambon dua, anak Medan satu, dan dua anak (dari) Sulawesi," terang Bahar.
Di sisi lain, salah satu korban, CAJ, mengatakan dia adalah santri yang pertama kali datang di Ponpes Ta'jul Alawiyyin pada 1 Desember 2018.
ADVERTISEMENT
Di hadapan majelis, CAJ mengaku sebelum dianiaya oleh Bahar sempat diinterogasi di aula ponpes tersebut. Interogasi itu berlangsung singkat, CAJ mengatakan, dihantam tongkat oleh Bahar dan mengenai bagian hidungnya. Bahar, kata CAJ, kemudian membawanya ke salah satu lapangan yang terletak di belakang ponpes.
Di sana, CAJ mengaku wajahnya ditendang dengan dengkul Bahar sebanyak tiga kali. "Saya dipukul oleh Habib Bahar menggunakan dengkul kanan," ujar CAJ di hadapan majelis hakim di PN Bandung, Kamis (28/3).
Selain itu, CAJ juga melihat MKU diminta untuk naik ke lantai tiga gedung ponpes itu oleh Bahar. CAJ mengaku tidak tahu apa yang dilakukan Bahar ke MKU. Namun yang pasti, usai dari lantai tiga itu, dia melihat MKU telah berlumur darah ketika turun.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, CAJ mengaku Bahar memintanya duel dengan MKU. CAJ mengatakan terpaksa menuruti permintaan dari Bahar untuk berkelahi dengan MKU. Musababnya, jika perintah itu tidak dilakukan, Bahar semakin geram.
CAJ juga mengaku rambutnya dan MKU sempat digunduli oleh santri Bahar yang bertato. Tak hanya itu, CAJ bercerita saat itu kepalanya juga dijadikan asbak. Hakim pun meminta CAJ menunjuk siapa santri Habib Bahar yang ia maksud.
"Siapa yang mematikan rokok di kepala saudara? Yang bertato bukan?" tanya hakim di Gedung Perpustakaan dan Kearsipan, Kota Bandung, Kamis (21/3).
"Iya," jawab CAJ
"Bagaimana rasanya?" sambung hakim.
"Sakit. Panas," kata CAJ.
Kini, atas fakta-fakta selama persidangan dan pengakuannya, Bahar harus siap menanggung akibatnya.