Peran 5 Tersangka Baru di Kasus Suap Kalapas Sukamiskin

16 Oktober 2019 23:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan (kiri) berjalan usai menjalani pemeriskaan di Gedung KPK, Selasa (8/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan (kiri) berjalan usai menjalani pemeriskaan di Gedung KPK, Selasa (8/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK menetapkan 5 orang tersangka dalam kasus dugaan suap fasilitas dan izin keluar Lapas Sukamiskin. Kasus ini merupakan babak baru dari pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap eks Kalapas Sukamiskin Wahid Husen pada Juli 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
Kelima orang itu yakni dua terpidana korupsi Lapas Sukamiskin Tubagus Chaeri Wardana dan Fuad Amin; dua eks Kalapas Sukamiskin Wahid Husen dan Deddy Handoko; serta Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi (GKA), Rahadian Azhar.
KPK menduga kelimanya terlibat dalam pemberian dan penerimaan suap terkait fasilitas dan izin keluar di Lapas Sukamiskin, Bandung.
"Setelah munculnya sejumlah fakta-fakta baru tentang dugaan keterlibatan pihak lain, KPK membuka penyelidikan baru hingga ditemukan bukti permulaan yang cukup dan meningkatkan perkara ke penyidikan," ujar Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/10).
Basaria kemudian merinci peran masing-masing tersangka itu:
Terdakwa kasus dugaan suap pemberian fasilitas mewah Lapas Sukamiskin Wahid Husen menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat, Senin (8/4). Foto: ANTARA FOTO/Leci Kurniawan
Ini merupakan status tersangka kedua yang diterima Wahid. Sebelumnya ia telah ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Juli 2018 usai di-OTT. Wahid juga telah divonis 8 tahun penjara. Ia dinilai terbukti menerima suap berupa uang dan barang dari tiga napi korupsi yakni Fahmi Darmawansyah, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan, dan Fuad Amin.
ADVERTISEMENT
Dari Fahmi, Wahid dinilai terbukti menerima 1 unit mobil Mitsubishi Triton senilai Rp 427 juta, sepasang sepatu boot, sandal merek Kenzo, tas Louis Vitton, dan uang Rp 39,5 juta. Sementara dari Wawan, Wahid menerima uang Rp 63,9 juta dan Rp 71 juta dari Fuad.
Adapun status tersangka baru ini ditetapkan karena Wahid diduga menerima suap dan gratifikasi selama menjabat kalapas dari Maret 2018 hingga Juli 2018. Suap tersebut diduga terkait izin berobat yang diberikan Wahid kepada salah satu terpidana.
Basaria menyebut kasus ini bermula pada Maret 2018 ketika Wahid mulai mengenal seorang warga binaan. Wahid kemudian memanggil terpidana tersebut ke ruangannya sebulan kemudian.
"Dalam pertemuan itu, ia menanyakan tentang ketersediaan mobil jeep yang dimiliki warga binaan tersebut untuk dipakai oleh WH," kata Basaria.
ADVERTISEMENT
Terpidana itu, kata Basaria, tak keberatan mobilnya yang bermerek Toyota Land Cruiser Hardtop Tahun 1981 dipakai Wahid.
Sepekan setelah pertemuan, mobil bernopol F 68 UP itu diantar ke Lapas Sukamiskin beserta BPKB-nya. Sejak saat itu, Wahid menggunakan mobil tersebut sebagai kendaraannya sehari-hari.
"Selanjutnya pada awal Mei 2018, WH (Wahid) memerintahkan untuk melakukan proses balik nama mobil tersebut dari yang semua atas nama salah satu warga binaan di Lapas Sukamiskin, menjadi nama salah satu pembantu di rumah mertua WH," jelasnya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan memberikan keterangan pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) suap proyek pekerjaan di Pemerintahan Kabupaten Bengkayang, Jakarta, Rabu (4/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dua bulan kemudian atau sekitar Juli 2018, proses balik nama atas mobil tersebut selesai. Nomor polisi telah berubah dari semula F 68 UP menjadi D 1252 OY.
ADVERTISEMENT
"WH tidak melaporkan penerimaan gratifikasi berupa 2 unit mobil dalam jangka waktu 30 hari kerja kepada KPK sebagaimana ketentuan Pasal 12 C UU Tindak Pidana Korupsi," ucap Basaria.
Sehingga atas perbuatannya, Wahid disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan Foto: Antara
Wawan yang terbukti menyuap Wahid akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Namun sebelum menyuap Wahid, rupanya Wawan diduga pernah menyuap pendahulu Wahid selaku Kalapas Sukamiskin, Deddy Handoko.
Basaria mengatakan, Wawan yang menjalani pidana atas kasus penyuapan eks Ketua MK Akil Mochtar, diduga telah memberi mobil Toyota Kijang Innova Putih Reborn G Luxury dengan nomor polisi D 101 CAT kepada Deddy.
ADVERTISEMENT
Sementara Wahid, diduga menerima suap Rp 75 juta dari Wawan.
"Pemberian-pemberian tersebut diduga memiliki maksud untuk mendapatkan kemudahan izin keluar lapas dari DHA (Deddy) dan WH (Wahid Husen) saat menjadi Kalapas Sukamiskin. Izin yang berusaha didapatkan adalah izin berobat ke luar lapas maupun izin luar biasa," jelas Basaria.
Sehingga atas perbuatannya Wawan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Deddy disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Rahadian merupakan seorang Direktur PT GKA dan PT FBS yang telah bekerja sama dengan beberapa lapas sebagai Mitra Koperasi dan Mitra Kerjasama Pembinaan Warga Binaan. Salah satu lapas yang bekerja sama yakni Lapas Sukamiskin, Bandung.
Kasus Rahadian bermula pada Maret 2018. Ketika itu, ia diminta Wahid untuk mencarikan mobil pengganti yang lebih besar. Selain itu, Rahadian juga diminta membeli mobil Toyota Innova warna hitam milik Wahid dengan harga Rp 200 juta.
"Atas permintaan tersebut, RAZ (Rahadian) menyanggupi untuk membeli mobil Mitsubishi Pajero Sport hitam senilai sekitar Rp 500 juta untuk WH (Wahid). Ia juga menyanggupi membeli Toyota Innova milik WH," kata Basaria.
Tak hanya menyiapkan mobil, Rahadian juga bertanya kepada Wahid terkait pelat nomor yang diinginkan Wahid untuk mobil Mitsubishi Pajero Sport warna hitam.
ADVERTISEMENT
Wahid juga pernah bertanya kepada Rahadian kapan mobil Mitsubishi Pajero diserahkan. Rahadian menyampaikan mobilnya sedang dipesan.
"RAZ (Rahadian) juga menyampaikan agar WH (Wahid) membayar cicilan setiap bulannya Rp 14 juta. Namun, WH keberatan membayar cicilan. Sehingga akhirnya RAZ menyanggupi untuk membayar cicilan," tutur Basaria.
Pada 28 Juni 2018, Rahadian menyerahkan mobil Mitsubishi Pajero Sport warna hitam kepada Wahid.
Atas perbuatannya, Rahadian disangkakan melanggar disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Fuad Amin Imron. Foto: Antara/Abd Aziz
Penetapan Fuad Amin sebagai tersangka tak lepas dari putusan hakim yang menyebut ia memberikan Rp 71 juta kepada Wahid. Hal itu tercantum dalam putusan Wahid. Suap tersebut diduga untuk izin keluar dan berobat yang diberikan Wahid terhadap terpidana korupsi jual-beli gas dan pencucian uang itu.
ADVERTISEMENT
Eks Bupati Bangkalan itu disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Meski demikian, penetapan tersangka itu gugur lantaran Fuad Amin meninggal dunia pada September 2019. Gugurnya kasus ini mengacu pada Pasal 77 KUHP. Sebab KPK tak memiliki wewenang menerbitkan SP3. Pasal 77 KUHP itu berbunyi:
Kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia.
"KPK akan mengacu pada Pasal 77 KUHP yang mengatur bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia," ujar Basaria.
ADVERTISEMENT
"Meskipun Pasal 77 KUHP tersebut mengatur di tahapan penuntutan, namun karena tahapan lebih lanjut dari penyidikan adalah penuntutan, sedangkan kewenangan penuntutan hapus karena terdakwa meninggal, maka secara logis proses penyidikan untuk tersangka FA (Fuad Amin) tersebut tidak dapat diteruskan hingga tahapan lebih lanjut," sambungnya.
Untuk itu, KPK akan fokus menangani perkara yang melibatkan 4 tersangka lainnya.