Perkosaan Bocah Asifa, Bukti India (Masih) Darurat Perkosaan

16 April 2018 12:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perkosaan anak. (Foto: REUTERS/Cathal McNaughton)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkosaan anak. (Foto: REUTERS/Cathal McNaughton)
ADVERTISEMENT
Asifa Bano baru berusia delapan tahun ketika dia harus mengalami kekejian yang tidak terbayangkan pada Januari lalu. Gadis itu ditemukan telah menjadi mayat di hutan distrik Kathua, negara bagian Jammu dan Kashmir, India. Dia, bocah ingusan itu, diperkosa berkali-kali oleh beberapa pria dewasa sebelum akhirnya dibunuh dengan sadis.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan polisi, Asifa diculik dan diberi obat bius oleh para pelakunya. Dia kemudian disekap di sebuah kuil Hindu, tempat yang seharusnya bebas dari tindakan bejat manusia. Di tempat itu dalam tiga hari berikutnya, setidaknya tiga pria memperkosanya, berkali-kali.
Kasus ini berpotensi memicu konflik antaragama di India karena Asifa adalah seorang gadis dari warga muslim, sementara pelakunya semuanya Hindu. Ada delapan orang ditangkap, dua di antaranya polisi yang mengaku menerima suap agar kasus ini tidak muncul ke publik, dan seorang pensiunan pejabat pemerintah, seperti dikutip dari New York Times.
Belum juga kelar kasus Asifa, pekan lalu ditemukan lagi jasad gadis kecil di pinggir jalan tol kota Surat, negara bagian Gujarat, kampung halamannya Perdana Menteri India Narendra Modi.
ADVERTISEMENT
Autopsi menunjukkan ada 86 bekas luka di tubuh jasad mungil yang diperkirakan berusia 11 tahun itu. Dalam pemeriksaan diketahui korban tewas akibat dicekik dan dibekap. Polisi masih berupaya mencari tahu identitas korban, memperluas penyelidikan hingga negara bagian lain.
Protes langsung menyebar bak bensin disulut api. Massa, termasuk para pesohor dan atlet kenamaan, mempertanyakan mengapa perkosaan sadis masih saja terjadi di India, setelah negara itu menuai hujatan dunia akibat perkosaan massal seorang mahasiswi di dalam bus di Delhi pada 2012.
Protes perkosaan bocah di India. (Foto: AFP/Punit Paranjpe)
zoom-in-whitePerbesar
Protes perkosaan bocah di India. (Foto: AFP/Punit Paranjpe)
Saat itu, Nirbhaya diperkosa dan disiksa ketika berada di bus umum. Gadis 20 tahunan itu tewas setelah menjalani perawatan di luar negeri akibat siksaan tersebut. Kecaman internasional yang akhirnya memaksa pemerintah India meningkatkan beberapa undang-undang terkait kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Namun dalam laporan Human Right Watch (HRW) pada 2017, langkah pemerintah mereformasi hukum, metode pelaporan, meningkatkan pelayanan kesehatan, konseling, dan bantuan legal bagi para korban perkosaan terbukti tidak bisa membendung tindakan itu terus terjadi di India, bahkan terus bertambah.
Pada 2012, menurut Biro Pencatatan Kriminal Nasional India (NCRB) ada 25 ribu kasus perkosaan. Pada pencatatan terakhir 2016, jumlahnya malah meningkat menjadi 40 ribu. Artinya, ada sekitar 106 perkosaan per hari di India.
Menurut data NCRB, 95 persen pelaku dalam kasus perkosaan adalah orang yang dikenal korban, misalnya tetangga, anggota keluarga, atau kerabat dekat. Ibu kota Delhi masuk dalam lima wilayah dengan angka perkosaan tertinggi di India, yaitu 2.199 kasus per tahun.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan media India Spend Juli tahun lalu, jumlah perkosaan di India dilaporkan lebih banyak lagi. Menurut survei lembaga Inisiatif HAM Persemakmuran (CHRI), ada 50 persen kasus serangan seksual yang tidak dilaporkan di Delhi dan Mumbai.
Protes perkosaan bocah di India. (Foto: AFP/Punit Paranjpe)
zoom-in-whitePerbesar
Protes perkosaan bocah di India. (Foto: AFP/Punit Paranjpe)
Bukan Berita Besar
Melihat data-data di atas, India sepertinya belum terlepas dari status darurat perkosaan.
Bahkan saking banyaknya kasus perkosaan dan penyerangan seksual, media India tidak terlalu bernafsu memberitakannya karena itu bukan berita besar.
Seperti dikutip dari BBC, kasus Asifa yang terjadi sejak Januari baru ramai diberitakan pada pertengahan April, terutama setelah kelompok Hindu sayap-kanan memprotes penangkapan salah seorang anggota mereka dalam kasus itu. Selain itu, kasus Asifa juga menyinggung isu kedaulatan negara karena terjadi di Kashmir, wilayah yang dipersengketakan dengan Pakistan.
ADVERTISEMENT
"Ketika seorang reporter memberitahu kantor mereka di Delhi soal insiden itu (perkosaan Asifa), peresmian taman tulip di lembah seakan lebih bagus beritanya daripada perkosaan dan pembunuhan seorang gadis," ujar Sameer Yasir, jurnalis independen di Srinagar.
"Saya yakin media lelah melaporkan kekerasan di India. Perkosaan, pembunuhan, penyiksaan, dilaporkan setiap waktu. Melaporkan berita penyiksaan sudah seperti melaporkan berita cuaca," kata Shiv Visvanathan, pengamat media di Delhi kepada BBC.
HRW melaporkan kebanyakan korban perkosaan di India tidak melapor ke polisi karena takut stigma buruk di masyarakat. Selain itu, mayoritas korban perkosaan yang berasal dari kasta rendah atau masyarakat yang termarjinalkan tidak percaya pada sistem pengadilan serta pelaporan kepolisian yang tidak memberi perlindungan, bahkan mengintimidasi, para korban dan saksi.
ADVERTISEMENT
"Perkosaan dianggap aib bagi wanita sehingga banyak sekali hambatan sosial bagi korban untuk melaporkannya," kata Anjali Dave dari Fakultas Studi Gender di Tata Institute of Social Sciences, Mumbai, kepada HRW.
Protes perkosaan bocah di India. (Foto: AFP/Punit Paranjpe)
zoom-in-whitePerbesar
Protes perkosaan bocah di India. (Foto: AFP/Punit Paranjpe)
Mengapa Banyak Perkosaan?
Tidak ada jawaban mudah untuk pertanyaan di atas. Berbagai faktor disebut sebagai pemicunya, salah satunya adalah kurangnya pendidikan.
Madhumita Pandhey pada 2013 mendatangi penjara Tihar di New Delhi mewawancarai 100 pelaku perkosaan untuk keperluan tesisnya di Anglia Ruskin University, Inggris. Ini adalah penjara paling besar di Asia Selatan, menampung lebih dari 10 ribu tahanan.
Menurut Pandhey dalam wawancaranya dengan Washington Post, kebanyakan pelaku perkosaan tidak menyesali apa yang mereka lakukan. Bahkan tidak merasa apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, Pandhey mengatakan, kebanyakan para pelaku perkosaan ini adalah pria yang tidak terpelajar, mayoritas hanya bersekolah tidak sampai tiga tahun. Hanya lima persen yang mengaku menyesali tindakan mereka.
Bentuk penyesalan mereka juga sulit diterima akal. Seperti salah satu napi berusia 49 tahun yang diwawancara Pandhey. Dia mengaku memperkosa bocah lima tahun karena menurut dia korban "memprovokasinya". Untuk memperbaiki kesalahannya, dia berjanji akan menikahi bocah itu jika keluar penjara. Hal ini bikin Pandhey tidak habis pikir.
"Berdasarkan pengalaman saya, kebanyakan pria ini tidak sadar yang mereka lakukan adalah perkosaan. Mereka tidak tahu konsekuensinya," kata Pandhey.
Perekonomian India memang salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan tahun ini, India diprediksi oleh lembaga Pusat Riset Bisnis dan Ekonomi di London akan berada di lima besar ekonomi dunia, menggeser Inggris dan Prancis. Namun tingkat buta huruf dan kemiskinan India masih besar.
ADVERTISEMENT
HRW mendesak India menegakkan hukum untuk kasus perkosaan ini, termasuk Amandemen UU Kriminal 2013 yang berisi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. HRW mengatakan, perlindungan ini adalah bagian dari kewajiban India di bawah hukum internasional.
"India adalah bagian dari perjanjian HAM internasional yang mewajibkan pemerintah melindungi hak-hak penyintas kekerasan seksual. Kegagalan negara melindungi korban pelecehan berarti juga pelanggaran hak asasi," tulis HRW.