Perludem: Pemilu 2019 Borongan, Harus Dipisah Nasional dan Lokal

23 April 2019 13:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pemungutan suara atau TPS Foto: Hendra N/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemungutan suara atau TPS Foto: Hendra N/Antara
ADVERTISEMENT
Banyaknya petugas pemilu (KPPS, Pengawas TPS, Aparat Keamanan) yang meninggal dunia akibat kelelahan menimbulkan keprihatinan di tengah riuhnya Pemilu serentak 2019.
ADVERTISEMENT
Perludem sebagai lembaga pemantau pemilu meminta KPU, Bawaslu, dan pemerintah untuk bertanggung jawab dan mengevaluasi keadaan ini secara serius dan menyeluruh.
"Harus ada kompensasi yang sepadan bagi keluarga yang ditinggalkan maupun bagi mereka yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja saat bertugas melaksanakan pemilu," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, dalam keterangannya, Selasa (23/4).
Titi menilai, penyebab banyaknya petugas KPPS yang meninggal itu tak lain karena desain pemilu serentak 5 surat suara yang kompleks dan membutuhkan tenaga ekstra.
"Bagaimana tidak, dalam proses penghitungan suara di TPS saja, anggota KPPS memerlukan waktu sampai dengan lewat tengah malam untuk menyelesaikan penghitungan lima surat suara. Belum lagi ditambah beban untuk melakukan pengadministrasian hasil pemilu dalam berbagai jenis formulir yang banyak jumlahnya untuk lima jenis pemilu yang diselenggarakan," jelasnya.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Sehingga Perludem bersama dengan koalisi masyarakat sipil sejak 2012 sudah mengusulkan untuk menyerentakan pemilu menjadi dua bagian.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemilu serentak nasional, yang menyelenggarakan Pilpres serta Pileg DPR dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal, yang menyelenggarakan Pilkada (Pilgub dan Pilwali) serta Pileg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Titi menilai, penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan daerah selain bisa mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu, juga dapat memperbaiki sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.
"Dari pengalaman sejumlah negara Amerika Selatan dan teori ilmu politik, pemilu serentak bisa memperbaiki negara presidensial multipartai seperti Indonesia. Tanpa harus mengamandemen konstitusi dan banyak undang-undang politik, pemilu serentak bisa menghasilkan partai politik/koalisi mayoritas dan sistem kepartaian multipartai moderat (kurang dari 5 partai politik efektif) di parlemen," ucapnya.
Titi menegaskan putusan MK tahun 2014 yakni memerintahkan pemilu serentak. Sayangnya, pemilu serentak di desain oleh pemerintah dan DPR dengan 5 jenis pemilu sekaligus.
ADVERTISEMENT
Untuk itu Perludem merekomendasikan:
1. Mengupayakan kembali perwujudan desain pemilu serentak nasional dan lokal. Pemilu serentak nasional: pemilu presiden-wakil, DPR, dan DPD. Lalu selang 2 atau 2,5 tahun (30 bulan) setelahnya ada pemilu serentak lokal: pilkada dan pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;
2. Mengubah besaran daerah pemilihan untuk pemilihan legislatif menjadi lebih kecil, agar pengorganisasian partai politik lebih terkonsolidasi serta meringankan beban petugas penyelenggara pemilu dan pemilih.
3. Mengoptimalkan rekrutmen petugas dan bimbingan teknis. Ketentuan syarat usia minimal 17 tahun bagi petugas yang sudah diperbaiki UU No.7/2017 penting diupayakan sebagai bagian penguatan partisipasi pemilu di aspek tenaga penyelenggara.
ADVERTISEMENT
4. Mempertimbangkan secara serius penerapan teknologi rekapitulasi suara secara elektronik untuk mengurangi beban pengadministrasian pemilu yang melelahkan di TPS. Juga untuk memotong rantai birokrasi rekapitulasi penghitungan suara yang terlalu panjang serta makan waktu lama. Pilihan atas teknologi harus dilakukan secara matang, inklusif, dengan waktu yang cukup untuk melaksanakan uji coba berulang dan memadai, serta melakukan audit teknologi secara akuntabel.
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Ia tidak setuju apabila evaluasi Pemilu serentak justru seperti sebelumnya yakni pemisahan Pileg dan Pilpres.
Sebab desain tiga pemilu (Pileg, Pilpres, dan Pilkada) pada dasarnya cenderung sulit dikelola.
"Beban berat dari jabatan politik yang dipilih serta kompleksitasnya juga jadi sebab meninggalnya petugas pada pemilu-pemilu legislatif sebelumnya, meski tak sebanyak Pemilu 2019," tutupnya.
ADVERTISEMENT