Permasalahan Salah Ketik di UU KPK Dinilai Memalukan

6 Oktober 2019 5:54 WIB
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo belum kunjung menandatangani UU KPK yang telah direvisi. Salah satu alasannya karena ada permasalahan salah ketik dalam naskah UU KPK tersebut.
ADVERTISEMENT
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus memandang persoalan salah ketik tersebut merupakan satu hal yang memalukan.
"Memalukan sih sebenarnya masalah salah ketik pada naskah UU KPK yang kini naskahnya dikembalikan lagi ke DPR oleh pemerintah," kata Lucius kepada kumparan, Sabtu (5/10).
"Bayangkan sebuah UU dibikin kayak undangan kawinan saja, atau bahkan kualitasnya lebih baik dari surat undangan nikah. Kacau benar negara ini diurus manusia-manusia yang seenak jidat saja mengurus yang namanya UU negara," ujarnya heran.
Lucius menyayangkan adanya kesalahan ketik yang muncul di UU KPK tersebut. Ia mempertanyakan kinerja para pihak yang terlihat dalam revisi UU KPK tersebut.
"Saya sudah membayangkan model kerja seperti apa yang menghasilkan naskah yang dengan penuh semangat disahkan tapi luput memperhatikan kesalahan fatal," jelasnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Selain itu, menurutnya, pembahasan revisi UU yang berjalan begitu cepat diduga menjadi indikasi seluruh mekanisme dan rapat pembahasan revisi UU KPK tak pernah dilakukan secara serius.
ADVERTISEMENT
"Saking ambisiusnya mempercepat keinginan mereka atas KPK, sampai-sampai mereka tak punya waktu untuk mencermati secara serius apa yang tertulis dalam naskah," kata Lucius.
"Atau jangan-jangan mereka memang tak pernah serius membahas seluruh isi UU KPK, tetapi hanya sibuk memastikan pasal yang berisi kepentingan sepihak mereka terakomodasi," sesalnya.
Mestinya, lanjut Lucius, DPR dan pemerintah tak bisa hanya mengoreksi kata yang dianggap salah ketik. Harus ada pembahasan serius atau pengecekan ulang atas semua kata dalam UU itu agar di kemudian hari tak menjadi persoalan.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menggelar unjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di Gedung DPRD Jawa Tengah, Semarang. Foto: ANTARA FOTO/R. Rekotomo
"(Ini) membuktikan bahwa pembahasan tertutup ala revisi UU KPK ini rentan dengan kesalahan karena fokus utama pembahasan tertutup selalu pada upaya memasukkan poin-poin khusus yang berpihak pada kepentingan para pembuat UU," katanya.
ADVERTISEMENT
Baleg DPR berencana membahas permasalahan salah ketik itu pada Senin (7/10). Ketua Baleg DPR 2014-2019, Supratman Andi Agtas, mengatakan saat ini tinggal satu kesalahan ketik yang belum diperbaiki. Dia akan mengumpulkan para pengusung revisi UU KPK untuk memperbaiki.
"Karena kemarin itu terlalu banyak kesibukan menyangkut soal pelantikan dan pemilihan MPR itu. Mungkin hari Senin akan saya undang, dan Selasa sudah selesai direvisi dan saya kirim ke Setneg (Kemensetneg) lagi," kata Supratman di Gado-gado Boplo, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10).
Ia menegaskan, pertemuan itu bukan untuk membahas kembali UU KPK yang telah disahkan DPR, tapi hanya mengklarifikasi terkait usia pimpinan KPK yang dibatasi.
Dalam naskah UU KPK Pasal 29 huruf e tertulis: "Berusia paling rendah 50 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan".
ADVERTISEMENT
"Saya cuma minta klarifikasi, minta buatkan berita acara mereka sampaikan bahwa usia yang benar itu 40 atau 50 tahun. Pemerintah juga akan menyatakan bahwa yang dimaksud itu 50 tahun, supaya nanti di kemudian hari tidak ada masalah," kata Supratman.