Perubahan Budaya Jadi Penyebab Kasus Campak dan Gizi Buruk di Asmat

14 Februari 2018 18:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Program pemulihan gizi di Distrik Siret, Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Program pemulihan gizi di Distrik Siret, Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kasus campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, memang sudah ditangani pemerintah. Namun kasus tersebut menjadi pengingat betapa minimnya pengetahuan warga akan kebersihan hingga memelihara kesehatan.
ADVERTISEMENT
"Masalah kesehatan itu cuma sebagai ujungnya, banyak permasalahan yang sebenarnya mesti diselesaikan terlebih dahulu seperti infrastruktur terus edukasi, pengelolaan pangan terutama," ujar Rosita Rivai, dokter relawan Dompet Dhuafa di kantor Dompet Dhuafa, Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (13/2).
Rosita menyebut, perubahan kebiasaan dan budaya menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan ini. Selain itu, pengetahuan masyarakat tentang sanitasi dan lainnya masih minim.
Menyusuri sungai di Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menyusuri sungai di Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
"Pengetahuan masyarakat yang agak kurang, bagaimana mereka mengola pangan mereka. Dan ketika ada pergantian pangan dari kehidupan mereka sehari-hari, yang makan sagu (kemudian) dipaksa untuk makan beras sehingga ada perubahan, mereka tidak siap. (Padahal) mereka selalu disubsidi beras," ungkap Rosita.
Ketika bantuan belum datang akibat sulitnya akses, masyarakat akhirnya memilih untuk menunggu tanpa punya inisiatif untuk mencari jalan keluar.
ADVERTISEMENT
"Umpamanya ketika transportasi enggak ada, subsidi enggak ada, mereka enggak bisa ngapa-ngapain karena mereka sangat bergantung bantuan itu," imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Abdul Halik Malik, anggota Advokasi dan Legalisasi kebijakan Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dia menyampaikan, krisis kesehatan yang terjadi di Asmat adalah dampak dari berbagai permasalahan sosial di sana.
Anak di Asmat diperiksa kesehatannya (Foto: Mohammad Agus Fuat)
zoom-in-whitePerbesar
Anak di Asmat diperiksa kesehatannya (Foto: Mohammad Agus Fuat)
"Kesehatan ini hanya fenomena gunung esnya saja, (seperti) ada yang meninggal karena gizi buruk, penyakit yang mematikan," kata Malik.
Menurutnya, seluruh permasalahan ini berawal dari transformasi kultural masyarakat. Menurut cerita warga, sekitar tahun 1970-an berdiri sebuah perusahaan pengolah kayu untuk dieskpor di Asmat. Perubahan kebiasaan berkembang menjadi perubahan pola hidup.
"Itu yang mengubah kultur mereka (dalam bekerja dan konsumsi pangan)," terang Malik.
ADVERTISEMENT
Hal ini berakibat pada perubahan pola konsumsi masyarakat di Asmat.
"Uang itu meraka bisa habiskan dua hari atau satu hari habis, jadi penghasilan Rp 100 ribu dalam praktiknya itu bisa habis dalam satu hari atau dua hari," ujar Malik.
Sementara bagi masyarakat Asmat, kebutuhan yang bersifat investasi kesehatan dan jangka panjang bukan prioritas.
"Jadi jika ada kelebihan uang digunakan untuk kepentingan yang tidak esensial, misalnya untuk kesehatan atau (memperhatikan) bentuk lauk pauk keluarga, tidak menjadi prioritas bagi mereka," kata Malik.
Untuk mencegah agar kejadian serupa tak kembali terulang, diperlukan upaya pemberdayaan jangka panjang untuk memandirikan masyarakat Asmat. Seperti pengetahuan dasar untuk mengelola keuangan.
"Karena secara umum mereka prinsipnya memang itu, kalau ada uang harus kita habiskan hari ini atau besok. Nanti yang besok lusa, kita cari lagi bahkan itu sudah dianggap keyakinan mereka. Itu menurut keyakinan orang-orang sana juga bahwa orang sini tidak ada yang menyimpan uang," pungkasnya.
ADVERTISEMENT