Petaka Surabaya dan Aksi Kalap Teroris

14 Mei 2018 11:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ledakan bom di Surabaya. (Foto: AFP/JUNI KRISWANTO )
zoom-in-whitePerbesar
Ledakan bom di Surabaya. (Foto: AFP/JUNI KRISWANTO )
ADVERTISEMENT
Minggu kedua Mei 2018 adalah minggu yang penuh luka dan duka.
ADVERTISEMENT
Selama hampir 40 jam pada 8-10 Mei, para narapidana terorisme melakukan aksi huru-hara di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok. Mereka membobol sel tahanan, melakukan penyanderaan, hingga membunuh lima polisi. Aksi disusul rencana penyerangan oleh dua perempuan dengan dalih mengantarkan makanan.
Gagal beraksi di wilayah Jabodetabek, jaringan teroris ini bergeser ke Surabaya. Nalar kemanusiaan publik lantas diuji dengan aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga--ayah, ibu, dan empat orang anak--di tiga gereja pada Minggu (13/5). Serangan tersebut menewaskan total tujuh orang jemaat ibadah Minggu serta semua pelakunya, ditambah 43 orang luka-luka.
Belum reda satu tragedi, bom bunuh diri selanjutnya meledak. Aksi yang terjadi di sebuah rusunawa di belakang Polsek Taman Sidoarjo ini juga dilakukan oleh satu keluarga. Pelaku, istri, dan salah satu anak pelaku menjadi korban ledakan. Sementara tiga orang anak lainnya mengalami luka-luka, salah satunya baru berumur lima tahun.
ADVERTISEMENT
Rentetan kejadian dalam jangka pendek serta keterlibatan perempuan dan anak-anak yang dikorbankan sebagai pelaku, melahirkan banyak tanya. Berikut analisis Adrianus Meliala, pakar kriminolog UI; Muradi, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran; Siti Darojatul Dete Aliah, peneliti dari Prasasti Perdamaian; dan Faisal Magrie, peneliti senior DASPR Daya Makara Universitas Indonesia.
Dari Barat ke Timur
Ada keterkaitan antara peristiwa di Mako Brimob dan bom bunuh diri di Surabaya?
Adrianus Meliala: (Peristiwa) di Mako Brimob itu pemicu. Timbul kemarahan, timbul rasa kalah karena para napi itu menyerah, kemudian diimbangi dengan serangan (bom) ini.
Makanya kita lihat ada penangkapan di berbagai tempat. Jadi aktifnya berbagai kelompok (teroris ini) menyusul kekalahan di Mako Brimob. Saya bisa membayangkan tingkat kesulitan untuk melakukan serangan sekali gebrak di empat titik dan mematikan. Susah sekali mencari orang untuk melakukan itu.
Pengamanan di Mako Brimob usai kerusuhan. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengamanan di Mako Brimob usai kerusuhan. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Yang lebih dicari soft target dan hard target. Soft target-nya lembaga agama, rumah-rumah ibadah, dan hard target adalah polisi. Jadi bisa dibayangkan, dalam situasi yang singkat antara kasus di Mako Brimob dan sekarang (bom bunuh diri di Surabaya), mereka tidak akan berani dan tidak ada waktu untuk melakukan serangan yang menyasar hard target seperti polisi.
ADVERTISEMENT
Karena yang hard target sudah ketangkep semua, yang di Tambun, Cirebon, dan yang masuk ke Mako Brimob. Jadi mereka tidak memiliki waktu dan kemampuan untuk melakukan serangan terhadap hard target, maka yang dicari adalah lokasi soft target.
Pada Senin (14/5) pagi, aksi bom bunuh diri terjadi di depan Polrestabes Surabaya.
Muradi: Polanya kan kebaca. Tahun lalu, bulan November kalau tidak salah, mereka melakukan tindakan yang sama. Alasannya waktu itu mereka nggak mau di-sweeping handphone.
Peristiwa yang dimaksud adalah kerusuhan para narapidana teroris di Mako Brimob pada 10 November 2017. Saat itu para napi berhasil merusak pintu kamar sel di Blok B dan C.
Kemudian tahun ini alasannya makanan. Buat saya, tahun lalu adalah trial and error. Buat mereka, ketika kemudian pola penanganan teroris tidak berjarak dan ketat, itu menjadi peluang untuk melakukan tindakan-tindakan. Itu yang dilakukan mereka kemarin.
ADVERTISEMENT
Ada tiga hal yang perlu dipahami betul, bahwa mereka (teroris) itu sudah terdesak. Di Timur Tengah mereka sudah nggak ada, jejaring mereka di Pakistan juga terdesak, dan mereka butuh momentum-momentum baru.
Mereka sudah nggak punya leader, nggak punya logistik, dan makin terbatas ruang geraknya di banyak negara. Santoso sudah ditangkap, Baasyir sudah ringkih, Aman Abdurrahman juga, Bahrun Naim juga tak bisa dikontak karena tewas di Suriah.
Pada 4 Desember 2017, beredar kabar bahwa Bahrun Naim, dalang Bom Thamrin, tewas di Suriah. Berita itu dikonfirmasi oleh Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya pada 12 Januari 2018.
Kalau melihat alurnya, peristiwa di Depok (Mako Brimob) itu mereka merasa yakin bisa bangkit lagi, dan jaringan mereka masuk Jakarta. Tapi (gagal), karena kan ada penangkapan dua perempuan itu.
ADVERTISEMENT
Dua perempuan yang dimaksud adalah Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah (duo Siska). Mereka ditangkap di musala dekat Mako Brimob karena menunjukkan gerak gerik mencurigakan. Keduanya mengaku hendak membawakan makanan kepada napi terorisme dan memberi dukungan pada mereka. Dari tangan Siska, petugas menyita gunting yang akan digunakan untuk menyerang polisi jika upaya mereka membantu napi dihalangi.
Kalau yang di Surabaya (aksi bom bunuh diri), mereka benar-benar random, karena bomnya di badan, di mobil, tanpa kemudian terstruktur, dan sebagainya. Kalau mereka berhasil di Mako Brimob, yang membara itu Jakarta.
Bom pertama di GKI Diponegoro diledakkan oleh Puji Kuswati yang membawa serta dua putrinya. Bom pipa dililit di tubuh mereka. Bom kedua di Gereja Santa Maria dibawa dengan dipangku oleh kakak-adik, dua putra Puji Kuswati, sambil berboncengan mengendarai motor masuk ke halaman gereja. Bom ketiga di GPPS Arjuno dibawa sang kepala keluarga, Dita Oepriarto, dengan berkendara mobil.
Pemeriksaan ledakan bom di Surabaya. (Foto: AFP/JUNI KRISWANTO )
zoom-in-whitePerbesar
Pemeriksaan ledakan bom di Surabaya. (Foto: AFP/JUNI KRISWANTO )
Karena di Jakarta gagal, maka mereka bergeser. Pergeseran itu saya kira banyak yang tidak mengira. Menganggap Jawa Timur dijaga sama Nahdliyin, jadi nggak akan ada (bom) meledak.
ADVERTISEMENT
Makanya itu (aksinya) pagi, kemudian random, anak-anak pakai motor. Jadi betul-betul, kalau saya sih nyebutnya, sudah kalap.
Mengorbankan Anak dan Perempuan
Mengapa aksi teror yang dilakukan oleh perempuan meningkat?
Dete Aliah: Kecenderungannya memang meningkat. Mereka termotivasi banyak hal. Satu, karena narasi-narasi yang dilempar seperti kemiskinan, ketidakadilan. Itu narasi yang disebar ke media sosial dan ternyata banyak menarik simpati kaum perempuan.
Narasi-narasi itu makin kuat, makin kencang, dan itu membuat akumulasi kebencian dan kemarahan. Kemudian sekarang yang aku lihat dari keterlibatan perempuan ini, 1) perempuan akhirnya merasa punya tanggung jawab bersama-sama dengan kaum laki terhadap negeri ini, 2) membenahi hal-hal yang belum beres di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Kemudian ketika diajak untuk melakukan aksi ini, mereka bersedia. Akhirnya ini voluntarily (sukarela). Jadi rasa kebencian terhadap negara, ketidakpuasan terhadap negara, kemudian agama Islam dijadikan legitimasi perbuatan.
Aksi Teroris Perempuan (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Teroris Perempuan (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
“Kalau kamu bunuh diri, mati syahid, kamu akan masuk surga.” Cara berpikir pendeklah. Agama itu hanya sebagai legitimasi untuk membuat perbuatan itu sah di mata Tuhan. Sebenarnya tendensinya pasti politik.
Sebenarnya target mereka ini kan banyak. Kalau target polisi artinya balas dendam. Kalau targetnya gereja artinya anti terhadap nonmuslim. Anti terhadap nonmuslim ini karena representasi infidel (beda agama) dan ini perlawanan terhadap kaum kafir. Jadi ini mungkin narasi yang dimainkan--perlawanan terhadap kaum kafir.
Kalau targetnya misalnya Starbucks atau orang bule, itu artinya antikapitalisme. Jadi sebenarnya kita bisa lihat dari targetnya. Target yang diserang siapa.
ADVERTISEMENT
Perempuan ini memang bisa jadi digunakan sebagai agen baru. Saya bilang bukan korban, tapi agen kekerasan baru. Karena memang perempuan di Indonesia belum dianggap mampu melakukan tindakan ekstrem. Polisi tidak akan curiga, negara tidak akan curiga kalau perempuan melakukan (aksi teror) ini. Ini bisa jadi untuk mengelabui, menarik perhatian pihak keamanan.
Kemudian perempuan ini mau melakukan teror itu mungkin didasarkan pada voluntarily action. Tapi kesediaan itu tidak muncul tiba-tiba. Kesediaan itu muncul karena setelah dia di-brain wash, telah mengalami proses panjang, dicuci otaknya dengan narasi-narasi kebencian terhadap negara, dengan narasi kebencian terhadap kaum kafir.
ADVERTISEMENT
Itu proses panjang. Orang jadi radikal itu nggak semalam terjadi. Nah, ini bisa jadi dia sudah mengalami proses itu sehingga ketika ditawari untuk melakukan tindakan ini, dia sudah ter-brainwash dan mau melakukan ini sendiri.
Putri Munawaroh, terpidana kasus terorisme, dibui. (Foto: AFP/ADEK BERRY )
zoom-in-whitePerbesar
Putri Munawaroh, terpidana kasus terorisme, dibui. (Foto: AFP/ADEK BERRY )
Jadi, perempuan digunakan sebagai sarana untuk mengelabui negara supaya tidak mudah dicurigai. Dia sebagai alat atau pelaku dalam kekerasan ekstrem. Tapi itu bisa jadi didasarkan juga karena keinginan si perempuan sendiri, karena dia sudah tercuci otaknya oleh narasi-narasi ini.
Kalau melihat aksinya begini, satu keluarga, berarti (bisa jadi) perempuan ini diajak oleh suaminya. Jadi ini sami’na wa atho’na, dia tunduk dan patuh kepada perintah suaminya.
Keluarga 'Bomber' gereja di Surabaya. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga 'Bomber' gereja di Surabaya. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
Artinya, kesediaan perempuan ini untuk terlibat dalam gerakan terorisme itu (mungkin) karena dia sebagai subordinat, tunduk patuh terhadap perintah suaminya. Apa pun yang suaminya katakan itu diyakini sebagai sebuah kebenaran.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan perempuan dalam gerakan ini untuk mempermalukan laki-laki, karena (seolah berkata) ‘Ke mana lo laki-laki, perempuan aja berani’. Jadi ini salah satu strategi. Satu, untuk mengelabui pihak keamanan. Kedua, untuk mempermalukan kaum laki-laki karena mungkin laki-laki dianggap sudah tidak banyak yang turut bergabung.
Faisal Magrie: Orang lebih gampang curiga pada laki-laki daripada perempuan. Di semua kondisi itu, kebanyakan lebih curiga sama laki-laki ketimbang perempuan, makanya digunakan untuk aksi bom.
Kedua, lebih nggak tega (menghadapi perempuan). Jadi efek psikologinya yaitu memperlambat kecurigaan atau reaksi pencegahan kalau pakai perempuan (sebagai pelaku).
Dari kacamata psikologi, yang namanya perilaku-perilaku ekstrem, entah itu ekstrem yang paling pintar atau ekstrem yang paling bodoh, banyaknya laki-laki. Perempuan lebih susah untuk ambil risiko, lebih enggan.
Duo Siska berencana menyerang polisi. (Foto: dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Duo Siska berencana menyerang polisi. (Foto: dok. Istimewa)
Kalau misalnya masalah doktrin, perempuan (biasanya) akan pikir-pikir kan, ‘Anak saya gimana, ibu saya gimana, bapak saya gimana’. Jadi akan lebih mikir ke arah situ. Karena hakikatnya perempuan itu menjaga kehidupan, jadi (seharusnya) lebih kecil perilaku ekstrem mereka ketimbang laki-laki.
ADVERTISEMENT
Perilaku ekstrem ini muncul karena ideologi. Fix karena ideologi. Kami pernah meneliti sebelumnya, mencoba untuk mencari tahu apa sih akar radikalisme. Ada beberapa alternatif penjelasan. Ada yang bilang kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan sebagainya. Ternyata itu semua kecil hubungannya. Yang paling besar adalah terdoktrinasi.
7 Lokasi Teror Surabaya dan Sidoarjo (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
7 Lokasi Teror Surabaya dan Sidoarjo (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
------------------------
Ikuti isu-isu mendalam di Liputan Khusus kumparan.
Ikuti pula perkembangan cepat Aksi Teroris Surabaya di Breaking News kumparan.