Pidana Penghinaan Presiden Masuk di Revisi UU KUHP, Jadi Delik Aduan

18 September 2019 20:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Arsul Sani saat diwawancara di Gedung DPR. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Arsul Sani saat diwawancara di Gedung DPR. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi III DPR memastikan pasal penghinaan presiden dalam revisi UU KUHP bukan pasal karet. Hal itu disampaikan oleh anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, meski pasal penghinaan presiden sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), namun DPR bersama pemerintah sepakat untuk tetap memasukkan pasal itu. Hanya saja, pasal penghinaan presiden menjadi delik aduan yang hanya bisa dipidana didasarkan laporan presiden atau kuasa hukumnya.
"Maka kami atur sekarang supaya penegak hukumnya itu tidak, katakan lah cari muka ke presiden kemudian nangkep-nangkepin orang, kemudian nyari-nyari orang, maka kita atur, ini tidak lagi menjadi delik biasa, tetapi menjadi delik aduan. Siapa yang bisa ngadu? Ya Pak Presidennya atau kuasa hukumnya. Jadi ini jadi delik aduan," kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9).
"Jadi kita sepakat untuk tetap diatur supaya demokrasi kita, kritik kita itu tetap menjaga kultur kesantunan masyarakat kita. Tidak kemudian seenak perutnya bisa ngata-ngatain presiden," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Arsul menjelaskan, ketentuan pasal penghinaan presiden dengan pasal penghinaan biasa itu berbeda ancaman pidananya. Namun, untuk penghinaan presiden di RKUHP ini pemerintah dan DPR sepakat memasukan ancaman pidana di bawah 5 tahun.
"Pertanyaannya kemudian ngapain kalau itu jadi delik aduan kan sudah ada pasal penghinaan yang berlaku untuk semua orang. Itu tetap beda coy, kalau menghina orang biasa seperti Arsul Sani ya pakai itu, tapi ancaman pidananya yang berbeda. Tapi kami buat tetap ancamannya di bawah 5 tahun," tutup Arsul.