Pilkada 2018 dan Jalan Para Perwira Menuju Pemilu 2019

18 Januari 2018 17:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Indonesia tengah bersiap memasuki tahun-tahun politik. Juni 2018 nanti, 171 daerah --termasuk di dalamnya 17 provinsi-- akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak. Satu tahun berselang, di tahun 2019, rakyat Indonesia ganti berhadapan dengan Pemilu Presiden dan anggota legislatif.
ADVERTISEMENT
Ada satu fenomena penting terkait gempita tahun politik ini, yaitu keikutsertaan TNI dan Polri dalam Pilkada 2018 nanti. Memang, di tahun sebelumnya pun nama-nama dari TNI/Polri juga beberapa kali ikut serta dalam pemilihan umum di daerah.
Bedanya, nama-nama sebelummnya terdiri dari perwira yang sudah non-aktif atau sudah pensiun. Kini, perwira aktif TNI/Polri rela mundur dari jabatan, relatif jauh dari masa pensiun mereka, demi menduduki posisi sipil sebagai kepala daerah.
Nama-nama yang dimaksud adalah: 1) mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, Letjen Edy Rahmayadi (bakal calon Gubernur Sumatera Utara); 2) Irjen Anton Charliyan (bakal calon Wakil Gubernur Jawa Barat); 3) Brigjen Edy Nasution (bakal calon Gubernur Riau); 4) Irjen Safarudin (bakal calon Gubernur Kalimantan Timur); dan 5) Komandan Korps Brimob Irjen Murad Ismail (bakal calon Gubernur Maluku).
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, politik Indonesia tidak pernah benar-benar lepas dari pengaruh militer. Dengan dihapusnya Dwifungsi ABRI, TNI/Polri yang masih aktif memang tidak boleh terlibat urusan politik praktis. Namun begitu, hasrat untuk tetap terjun ke ranah yang mestinya dikendalikan kelompok sipil itu tetap saja tinggi di kalangan perwira eks-ABRI.
TNI Polri dan Pilpres 2019 (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Gejala Remiliterisasi
Keputusan perwira TNI/Polri untuk mundur dari kesatuan demi memenuhi hasrat politik sebenarnya bukan fenomena yang lazim di era setelah reformasi ini. Di Pilkada 2018 ini, terdapat 15 calon perwira aktif yang mendeklarasikan diri maju mencalonkan diri sebelum mereka memasuki masa pensiun.
Fenomena itu jelas berbeda dibandingkan dengan Pilkada 2015 dan 2017 lalu, ketika calon berlatar belakang militer/kepolisian yang maju berkontestasi adalah mereka yang memang sudah menjadi purnawirawan atau sudah pensiun, bukan mundur atau pensiun dini. Di Pilkada 2015, terdapat 17 calon berlatar belakang militer/kepolisian yang maju berkontestasi. Sementara di Pilkada 2017, jumlahnya berkurang menjadi 7 calon eks TNI/Polri.
ADVERTISEMENT
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati, melihat fenomena ini sebagai penguatan gejala remiliterisasi di dunia politik Indonesia. Ini, tentu saja, bertolak belakang dari semangat reformasi yang mendorong militer kembali ke barak.
“Saya melihat munculnya calon kepala daerah dari perwira aktif, baik di TNI/Polri, sebagai gejala remiliterisasi yang mulai menguat kembali. Meskipun sekarang ini profesionalisme TNI bisa dikatakan sudah ditegakkan, tapi yang seperti itu (hasrat untuk terjun ke politik) belum pudar sama sekali,” ungkap Wasisto kepada kumparan, Senin (15/01).
Wasisto menambahkan, penguatan gejala remiliterisasi ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, soal jenjang karir perwira TNI/Polri yang sudah mentok di institusi mereka.
“Yang kedua, memang karena itu sudah menjadi naluri TNI untuk berpolitik,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Wasisto, wajar apabila apabila naluri berpolitik melekat pada diri TNI. Ini bisa dirunut dari doktrin: TNI adalah tentara rakyat yang lahir dari rakyat.
Selain karena dua faktor tersebut, ada faktor lain yang tidak kalah penting: permintaan pasar. Dalam hal ini, tidak dapat dinafikan bahwa latar belakang militer seorang figur punya pesona khusus bagi partai-partai politik dan masyarakat umum sebagai figur pemimpin.
Dari sudut pandang partai politik sendiri, kader berlatar belakang militer dianggap mempunyai daya tawar tersendiri. Parpol menganggap mereka punya elemen yang belum tentu dimiliki oleh politisi sipil, yaitu: citra diri yang karismatik dan tegas.
“Saya pikir sekarang ini publik menginginkan adanya ketegasan dalam politik. Hal itu yang kemudian tercitrakan dalam diri perwira militer,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Daya tarik calon berlatar belakang militer ini diperkuat dengan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi TNI yang terbilang tinggi, apabila dibandingkan dengan institusi pemerintahan lainnya.
Menurut survei Pew Research Center pada Oktober 2017, 90 persen responden menganggap TNI sebagai institusi publik yang memberikan pengaruh positif. Satu-satunya institusi yang mempunyai persentase lebih tinggi dibanding TNI adalah pemuka-pemuka agama.
Sementara itu, survei serupa oleh Saiful Mujani Research Center pada Januari 2016 lalu juga mengungkap hal yang nyaris sama. Hampir 90 persen responden menganggap TNI sebagai institusi publik yang paling dipercaya di Indonesia.
Namun demikian, daya tarik figur berlatar belakang militer dan tingginya kepercayaan publik terhadap militer ternyata bukanlah segalanya. setidaknya, begitulah yang tercermin dalam Pilkada 2015.
ADVERTISEMENT
Dalam pilkada serentak 2015 lalu, terdapat setidaknya 17 calon kepala daerah dengan latar belakang TNI/Polri. Hasilnya, 14 calon berlatar belakang TNI/Polri menderita kekalahan dan hanya tiga calon yang sukses memenangkan pilkada saat itu.
Wasisto menawarkan analisisnya tersendiri. Meski menawarkan banyak keunggulan, militer punya kelemahannya tersendiri. “Ada dua wajah yang ditunjukkan militer kepada masyarakat. Jadi, pandangan masyarakat terhadap militer itu bercampur antara terintimidasi secara psikis, namun mereka juga merasa terproteksi oleh militer,” kata Wasisto.
TNI dan Polri dari pilkada ke pilkada. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Eks-TNI/Polri di 2019
Menurut Wasisto, pencalonan perwira aktif TNI/Polri merupakan gejala penguatan remiliterisasi. Pertanyaannya, apakah tren ini masih akan berlanjut di Pilpres 2019 mendatang?
Sejarah membuktikan, elite politik berlatar belakang militer tidak pernah absen berpartisipasi dalam perhelatan pemilu presiden. Di tahun 2004 dan 2009, purnawirawan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono bersaing dengan purnawirawan jenderal lainnya, Wiranto. Tren tersebut kembali terulang di pilpres 2014, ketika purnawirawan Jenderal Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai presiden.
ADVERTISEMENT
Keadaan tak akan jauh berbeda di 2019 nanti. Kepala Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran, Muradi, memprediksi akan ada calon lain dari kalangan eks militer selain Prabowo Subianto. Hal itu, menurut Muradi, disebabkan karena Prabowo Subianto sebenarnya telah kehilangan momentum untuk memenangkan kursi kepresidenan.
“Akan ada calon lain selain Prabowo (pada pemilu 2019 nanti). Dan saya kira, secara usia pak Prabowo akan lebih bagus untuk menjadi tokoh nasional, bukan sebagai calon presiden,” ungkap Muradi kepada kumparan, Senin (14/01).
Muradi menambahkan, melihat usia dan pengalaman yang dimiliki oleh Prabowo, akan lebih baik apabila Prabowo berperan sebagai king maker seperti yang telah dilakukan oleh Megawati Soekarnoputri.
“Saya kira posisi beliau adalah mencari figur yang bisa didorong, seperti yang dilakukan Bu Mega. Tinggal siapa orang itu, apakah Pak Gatot (Gatot Nurmantyo mantan Panglima TNI) atau ada figur lain,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Wasisto memprediksi peta persaingan pemilu 2019 masih didominasi pertarungan antara Jokowi dan Prabowo. Namun, dirinya tidak menutup kemungkinan munculnya calon-calon berlatar belakang militer di luar Prabowo Subianto.
Jokowi dan Prabowo (Foto: Bay Ismoyo/AFP)
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh karakter perwira militer Indonesia yang menganggap perjuangan atau pengabdian mereka tidak serta merta usai setelah pensiun.
“Patriotisme tentara, ujarnya, kalau sudah menyinggung negara itu tidak main-main. Maka dari itu,” jelas Wasisto, “Kalau mereka melihat kondisi negara yang seperti ini, mereka merasa terpanggil untuk terjun ke politik.”
Yang jelas, siapapun yang akan maju pada pilpres 2019 nanti, baik dari kelompok berlatar belakang militer maupun sipil, tampaknya harus mengakui bahwa mengalahkan Joko Widodo sama sekali bukan perkara mudah. Betapa tidak, survei yang dilakukan sejumlah lembaga konsultan politik terus menunjukkan tingkat elektabilitas atau keterpilihan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Laporan Financial Times Confidential Research yang dirilis pada Januari 2018 ini menunjukkan hal serupa. Menurut survei tersebut, penerimaan publik (approval rating) terhadap pemerintahan Presiden Jokowi masih tetap kuat kendati performa ekonomi Indonesia menurun di akhir tahun lalu.
Menurut laporan yang sama, per Desember 2017, persentase penerimaan publik terhadap Jokowi berada di angka 56,4 persen. Angka itu hampir sama dengan angka penerimaan publik tertinggi yang pernah diperolehnya September 2017 lalu. Bahkan, capaian Desember itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding persentase yang diperoleh Jokowi di awal masa kepemimpinanya.
Laporan SMRC awal Januari 2018 juga mengungkap fakta yang kurang lebih sama. Menurut survei yang dilakukan kepada 1220 responden ini, tingkat elektabilitas Presiden Joko Widodo mencapai persentase 53,8 persen. Angka itu jauh mengungguli pesaing terdekatnya, Prabowo Subianto, dengan tingkat elektabilitas 18,5 persen saja.
ADVERTISEMENT
Masih berdasar pada survei ini, calon presiden alternatif berlatar belakang TNI/Polri ternyata memiliki tingkat elektabilitas yang relatif rendah. Tingkat elektabilitas mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo hanya sebesar 1,2 persen. Sementara, tingkat keterpilihan Kapolri Tito Karnavian malah jauh lebih rendah: 0,3 persen.
Murad Ismail, Edy Rahmayadi, dan Anton Charliyan (Foto: Antara/Wahyu Putro, Adhim Mughni/kumparan, Instagram @antoncharliyan)
Membangun Momentum
Meski berat, partai-partai politik dan calon presiden yang mereka usung masih punya waktu yang cukup panjang untuk mencari strategi pemenangan yang tepat. Waktu 1,5 tahun ke depan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun kembali momentum calon mereka lewat perhelatan Pilkada 2018 ini.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan bahwa Pilkada 2018 mempunyai beberapa nilai penting. Yang pertama, Pilkada 2018 dapat dikatakan sebagai “pemanasan” atau batu lompatan bagi partai politik sebelum menghadapi pemilu legislatif dan presiden di 2019.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, apabila bisa menang di Pilkada 2018, akan terbangun optimisme di internal partai sebagai modal untuk kerja pemenangan di Pemilu 2019. Sebaliknya, Titi juga menambahkan, kegagalan di Pilkada 2018 ini bisa menjadi modal untuk evaluasi strategi pemenangan partai pada Pemilu 2019 nanti.
Sedangkan nilai strategis yang kedua berkaitan dengan faktor psikologi politik massa. Titi berpendapat bahwa kemenangan partai di satu daerah pada Pilkada 2018 ini dapat mendorong masyarakat di daerah yang sama untuk memilih mereka lagi di 2019. Dengan kata lain, Pilkada 2018 sangat berguna sebagai ajang “test drive” bagi mesin politik partai membangun opini dan citra publik.
Aksi 212 di Silang Monas diikuti jutaan orang. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Terkait hal ini, Wasisto tidak memungkiri kemungkinan terbentuknya koalisi antara calon presiden berlatar belakang militer dengan kekuatan Islam populis seperti Garda 212. Menurutnya, meskipun di era Orde Baru kedua kelompok tersebut bertentangan, ke depannya hubungan dua kekuatan politik itu menjadi mesra.
ADVERTISEMENT
“Saya pikir koalisi itu dapat terjadi. Mereka saat ini dipersatukan oleh kepentingan yang sama, seperti kepentingan anti-komunisme dan anti-LGBT. Sangat besar peluang kekuatan Islam populis macam Garda 212 untuk berkoalisi dengan tokoh eks-militer seperti Prabowo Subianto atau Gatot Nurmantyo,” jelasnya.
Sementara, Muradi menilai hubungan antara tokoh-tokoh eks-militer seperti Edy Rahmayadi dan Gatot Nurmantyo dengan kekuatan Islam adalah suatu keniscayaan.
“Syaratnya, mereka bisa membangun momentum lagi, untuk bisa melakukan langkah-langkah politik seperti ketika mereka mengalahkan Ahok-Djarot di Pilkada DKI. Tanpa itu, mereka tidak terlihat cukup istimewa,” ungkapnya.
Kita lihat saja.