Polda Aceh Periksa 9 Saksi Dalam Kasus Pemukulan Anggota DPRA

18 Agustus 2019 15:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polda Aceh mengembangkan kasus pemukulan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Polda Aceh mengembangkan kasus pemukulan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Polda Aceh terus melakukan pengembangan terkait kasus pemukulan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang diduga dilakukan oleh oknum kepolisian. Dalam hal ini penyidik telah memeriksa 9 saksi, enam diantaranya polisi.
ADVERTISEMENT
Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Ery Apriyono, mengaku institusinya ikut prihatin atas insiden yang terjadi saat pembubaran aksi unjuk rasa mahasiswa di Gedung DPRA yang dilakukan personel Polresta Banda Aceh saat peringatan 14 tahun MoU Helsinki, Jumat (16/8).
“Kejadian di luar kendali berupa pembubaran aksi massa yang terdapat unsur emosional petugas di lapangan, sehingga terjadi reaksi atas aksi yang menyebabkan terpukulnya salah satu anggota dewan, Azhari alias Cagee selaku Ketua Komisi I DPRA,” kata Ery dalam konferensi pers di Mapolda Aceh, Minggu (18/8).
Ery mengatakan, Polda Aceh telah menerima laporan Azhari mengenai insiden pemukulan terhadap dirinya dengan nomor surat bernomor LP/136/VIII/Yan.2.5./2019/SPKT.
“Kita lakukan penyelidikan dan penyidikan serta pengusutan menyeluruh terhadap terduga petugas yang melakukannya, sudah periksa 9 saksi dalam kasus ini dari polisi atau para mahasiswa termasuk saksi korban. Bila terbukti (polisi), pasti akan dikenakan sanksi terukur dan sistematis sesuai dengan jenis pelanggaran SOP," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, polisi juga akan mengusut tuntas terkait dugaan adanya provokasi yang terjadi di lapangan yang diduga ikut mengatur aksi ini. Berdasarkan pendalaman yang dilakukan Dit Intelkam Polda Aceh, pada aksi itu terdapat unsur pesanan skenario yang dilakukan sistematis oleh sejumlah pihak.
"Kita paham pada aksi kemarin telah terjadi tindakan di luar kendali. Maka ini juga akan dilakukan pembinaan ke depan agar hal seperti tidak terulang lagi. Polda Aceh akan menuntaskan semua persoalan dari sejumlah kasus yang telah diusut oleh Polda Aceh," ujar Ery.
Ketua komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Azhari Cage. Foto: Zuhri Noviandi
Ery menceritakan, bendera merah putih adalah simbol dan lambang negara yang wajib dikibarkan, termasuk di Gedung DPRA. Dalam unjuk rasa itu, kata Ery, mahasiswa ingin menurunkannya dan menaikkan bendera bintang bulan. Padahal menaikkan bendera merah putih itu wajib di kantor DPRA.
ADVERTISEMENT
"Ini diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 35 ayat 19 dan 20 UU Nomor 24 Tahun 2009 serta Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia," katanya.
Menurut Ery, bendera bulan bintang adalah bendera yang pernah digunakan oleh kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Disebutkan secara eksplisit dan implisit dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh telah dilakukan pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri dalam Surat Nomor: 188.34/2723/SJ tertanggal 26 Juli 2016 yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia.
Sejumlah mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry turut menggelar unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Kamis (15/8). Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
"Menurunkan bendera merah putih dengan mengibarkan bendera bulan bintang adalah kesalahan dan melawan Undang-undang dan aturan yang berlaku. Bahkan, polisi dapat melakukan tindakan tegas terukur bila hal ini terjadi, tetapi Polresta Banda Aceh masih menggunakan tindakan persuasif humanis dengan membubarkan paksa aksi massa itu," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Azhari Cage diduga dipukuli oknum polisi. Dia terkena pukulan saat hendak ikut melerai kerusuhan unjuk rasa mahasiswa yang menginginkan bendera bulan bintang berkibar di tiang bendera gedung DPR Aceh.