Politik Tempe Sandiaga

15 Oktober 2018 9:13 WIB
Lipsus Politik Tempe Sandiaga (Foto: AFP/Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus Politik Tempe Sandiaga (Foto: AFP/Adek Berry)
Mungkin, tak ada calon presiden atau calon wakil presiden yang begitu menggilai tempe seperti Sandiaga Uno. Sejak sebelum kampanye dimulai pada 23 September, ia sudah rajin blusukan ke pasar, dan tempe selalu jadi perhatiannya―serta sasaran komentarnya.
Awal bulan ini pun, Minggu (7/10), ia terlihat girang menemukan tempe seukuran tablet di Pasar Tanjung, Jember, Jawa Timur.
“Bungkusan tempe di berbagai daerah di Indonesia ternyata beragam. Ada yang setipis kartu ATM, ada yang saset, nah di Jember ini saya menemukan tempe sebesar tablet,” kata Sandi mengangkat tempe itu sambil tertawa lebar.
Di sekeliling Sandi, emak-emak sibuk memotretnya sambil memekik-mekik riuh, “Pak, lihat sini, Pak!”
Sandiaga Uno memegang tempe seukuran tablet di Pasar Tanjung, Jember, Jawa Timur. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Sandiaga Uno memegang tempe seukuran tablet di Pasar Tanjung, Jember, Jawa Timur. (Foto: Dok. Istimewa)
Masih tampak terpukau dengan tempe berukuran jumbo itu, Sandi mengangsurkan uang Rp 100 ribu kepada sang pedagang tempe. Ia membeli tempe tablet seharga Rp 10 ribu itu dengan harga 10 kali lipat.
Sontak, ibu pedagang tempe bungah bukan main. “Rezeki, alhamdulillah,” katanya sembari menempelkan uang merah jambu itu ke dahinya.
Semua soal tempe itu bermula sebulan sebelumnya, Jumat (7/9). Itu kali pertama Sandi berucap perkara tempe yang kemudian menjadi viral. Saat itu, ia berada di kediaman Prabowo Subianto untuk mengikuti rapat partai koalisi pengusungnya guna membahas kenaikan harga bahan pokok.
“Katanya, tempe sekarang sudah dikecilkan dan tipisnya hampir sama dengan kartu ATM. Ibu Yuli di Duren Sawit jualan tahu juga dikecilkan ukurannya karena dia tidak bisa menaikkan harga, nggak akan laku, daya beli pasti lesu,” kata Sandiaga.
Gara-gara ‘tempe ATM’ itu, Sandi mendapat oleh-oleh spesial dari Sinta Nuriyah Wahid saat bertamu ke kediaman istri almarhum Gus Dur itu tiga hari kemudian, Senin (10/9).
Ia pulang dengan sekotak tempe mendoan di tangan. Tempe itu, tentu saja―kata Sandi―“Tidak setipis kartu ATM.”
Sandiaga Uno membawa pulang tempe mendoan saat menyambangi kediaman Sinta Nuriyah Wahid, istri almarhum Gus Dur. (Foto:  Antara Foto/Hafidz Mubarak A.)
zoom-in-whitePerbesar
Sandiaga Uno membawa pulang tempe mendoan saat menyambangi kediaman Sinta Nuriyah Wahid, istri almarhum Gus Dur. (Foto: Antara Foto/Hafidz Mubarak A.)
“Saya kebetulan sedang puasa. Tempe ini nanti buat buka puasa,” ujar Sandi yang hari itu sedang berpuasa sunah Senin-Kamis.
Dua minggu berikutnya, di hari kedua masa kampanye, Senin (24/9), giliran kosakata “tempe saset” yang keluar dari mulut Sandi saat ia melihat tempe mini seharga Rp 350 dijual di Pasar Wonodri, Semarang, Jawa Tengah.
“Memang sampo aja bisa saset? Tempe juga bisa,” ujar mantan wakil gubernur DKI Jakarta itu―yang seperti biasa, diakhiri aksi murah hatinya membeli tempe sang pedagang sambil ramai-ramai berfoto salam dua jari bersama emak-emak.
“Salam dua jari,” seru Sandi, yang kemudian disahuti meriah oleh emak-emak pedagang, “Sukses ya, Saay!”
Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno (kiri) berbincang dengan warga saat berkunjung di Pasar Wonodri Semarang, Jawa Tengah, Senin (24/9). (Foto: ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
zoom-in-whitePerbesar
Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno (kiri) berbincang dengan warga saat berkunjung di Pasar Wonodri Semarang, Jawa Tengah, Senin (24/9). (Foto: ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Tempe sebetulnya menjadi salah satu ‘pintu masuk’ bagi Sandi untuk mendekati, membuka komunikasi, dan mengambil hati masyarakat, terutama emak-emak yang sejak awal menjadi target kampanye Prabowo-Sandi.
“Tempe itu makanan yang hampir setiap hari ada di meja makan orang Indonesia, dan saya suka tempe. Isu (harga tempe) ini konkret di masyarakat, tidak ngawang-ngawang seperti kalau kita omong mengenai pilpres, demokrasi, dan politik,” kata Sandi kepada kumparan di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, Sabtu (13/10).
Istilah “tempe setipis kartu ATM” yang lalu banyak dibicarakan pun, ujar Sandi, bukan berasal darinya.
“Itu Bu Yuli di Duren Sawit yang bilang, ‘Pak, gimana nih sekarang tempe udah setipis kartu ATM?’ Ketawa semua. Yang omong itu bukan Sandi, tapi Bu Yuli dan kawannya,” kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia periode 2005-2008 itu.
“Tempe” ialah satu di antara topik yang telah digodok oleh Sandi bersama tim kampanyenya.
“Itu ide inisiatif Bang Sandi, lalu didiskusikan. Kami lihat bahan makanan apa yang paling banyak dibicarakan di medsos dan media mainstream, kemudian kami siapkan datanya. Kami juga cek peran pemerintah di situ apa dan yang kurang apa,” kata Harryadin Mahardika, anggota Tim Riset Ekonomi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi.
Dalam perbincangan dengan kumparan di Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (11/10), Harryadin menyatakan strategi kampanye Prabowo-Sandi ialah “membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa hidup makin sulit.”
Dan “membangkitkan kesadaran” itu, lanjut Dosen Fakultas Ekonomi UI dan calon legislatif Gerindra tersebut, “tidak bisa menggunakan analisis kompleks, tapi dengan mengingatkan yang ‘receh-receh’ seperti harga tempe naik, harga BBM naik, harga kebutuhan bahan pokok naik.”
Menurut Harryadin, segala ucapan yang ‘receh-receh’ itu penting karena “Masyarakat sebenarnya tahu kehidupan mereka makin sulit, tapi belum punya alasan untuk tidak memilih petahana lagi.”
“Dengan bicara harga cabai, harga tempe, orang diingatkan lagi bahwa harga-harga fluktuatif. Dan kami menduga semakin dekat pilpres, semakin banyak harga naik. Jadi kami tinggal templok-templok saja,” kata Harryadin.
Hal tersebut diamini Gamal Albinsaid, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi.
“Sesuai survei Indo Barometer, ketidakpuasan masyarakat itu sekarang karena ketidakstabilan harga dan lapangan pekerjaan,” ujarnya kepada kumparan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (10/10).
Survei Indo Barometer yang dimaksud Gamal digelar 15-22 April 2018. Berdasarkan survei bertajuk Evaluasi 20 Tahun Reformasi itu didapat kesimpulan antara lain, lima persoalan yang dianggap publik paling penting di Indonesia ialah perekonomian rakyat (20,4 persen), sulitnya lapangan pekerjaan (9,3 persen), korupsi kolusi nepotisme (7,8 persen), harga bahan kebutuhan pokok mahal (5,9 persen), dan kemiskinan (4,2 persen).
Sandi sadar ucapan-ucapannya soal tempe―juga tentang “sepiring nasi ayam di Jakarta yang lebih mahal daripada di Singapura”―mengundang ragam komentar khalayak, termasuk yang bernada nyinyir.
“Yang ingin saya garis bawahi, semua ini harganya mahal karena kebijakan kita yang terlalu memanjakan impor, tidak mendukung sumber-sumber produksi nasional,” kata Sandi.
Ia lantas mendetailkan problem tempe―lauk sejuta umat itu.
“Harga tempe sekarang mestinya naik karena dolar naik. Sebab, tempe banyak diproduksi menggunakan kedelai, dan kedelai itu impor. Tapi harga tempe tidak naik, dan di sinilah hebatnya pedagang. Mereka berinovasi. Ukuran tempe dikecilkan, dari agak tebal jadi tipis-tipis. Karena kalau harga dinaikkan, nggak laku,” ujar Sandi.
Hal tersebut memang dialami oleh pedagang tempe di sejumlah daerah seperti Jakarta, Banjar, Sukabumi, Magelang, Yogya, Sidoarjo, dan lain-lain.
Produksi tempe di Kemayoran, Jakarta Pusat. (Foto: Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Produksi tempe di Kemayoran, Jakarta Pusat. (Foto: Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay)
“Harga kedelai naik turun nggak tentu, kalau harga tempe tetap. Kalau dibuat mahal―Rp 7 ribu, 8 ribu―pada nggak mau. Pembeli kabur,” kata Kasturah, perempuan 60 tahun yang berjualan bahan pangan di Pasar Slipi, Jakarta Barat, Jumat (12/10).
Ia menjual tempe dengan panjang 20-21 sentimeter dan lebar 8 sentimeter seharga Rp 6.000. Tempe dengan ukuran hampir sama namun tanpa pembungkus plastik, dijual Yuni dengan harga Rp 5.000 di pasar yang sama.
Ia mengaku kena imbas kenaikan dolar, namun―seperti Kasturah dan pedagang tempe lain―tak mau menaikkan harga jual tempenya.
“Pokoknya harganya Rp 5.000, dan yang lebih kecil Rp 3.000. Kalau harga kedelai naik, paling ukuran tempe dikecilin, takaran kedelainya dikurangin,” ujar Yuni kepada kumparan.
Kebutuhan kedelai Indonesia yang meningkat setiap tahun, memang bergantung dari impor karena produksi dalam negeri tak mencukupi.
Sandiaga Uno menari bersama penari Topeng Ireng di Temanggung, Jawa Tengah. (Foto: Antara Foto/Anis Efizudin)
zoom-in-whitePerbesar
Sandiaga Uno menari bersama penari Topeng Ireng di Temanggung, Jawa Tengah. (Foto: Antara Foto/Anis Efizudin)
Kuskridho ‘Dodi’ Ambardi, pengamat politik dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, menilai gagasan yang hendak disampaikan Sandi ke publik belum terlalu jelas.
“Gambaran Indonesia mau dibawa ke mana itu tidak jernih, malah yang muncul kemudian hal-hal kontroversial. Soal tempe setipis ATM, nasi ayam mahal, dan seterusnya itu tidak ditautkan dengan gagasan besar tentang ide kebijakan,” kata Dodi di Cikini, Jakarta Pusat.
Ucapan-ucapannya yang kontroversial memang membuat Sandi kian populer dan semakin banyak dibicarakan orang. Hanya, menurut Dodi, popularitas belum tentu berbuah dukungan politik luas dari masyarakat.
“Popularitas tidak sama dengan elektabilitas. Butuh lebih dari sekadar ramai dibicarakan. Harus ada pesan yang kredibel untuk pemilih,” ujar Dodi.
Sementara Harryadin dari Tim Riset Ekonomi Prabowo-Sandi merasa optimistis cara Sandi “menyadarkan rakyat dengan yang ‘receh-receh’” telah berjalan efektif sejauh ini.
“Tantangannya adalah mencapai titik untuk mendapatkan critical match―jumlah orang yang yakin bahwa tempe makin tipis dan makin mahal. Dan itu sudah mulai diyakini emak-emak yang antusias sekali.”
Benar atau tidak berbagai ucapan Sandi itu, simak di artikel berikutnya: Membongkar Data ‘Dapur’ Sandiaga
Uji Data Sandiaga (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Uji Data Sandiaga (Foto: Basith Subastian/kumparan)
------------------------
Sibak Politik Dapur Sandi di Liputan Khusus kumparan