Profil Hun Sen, 33 Tahun Memimpin Kamboja dengan Tangan Besi

30 Juli 2018 11:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Mentri Kamboja Hun Sen  (Foto: REUTERS/Erik De Castro)
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Mentri Kamboja Hun Sen (Foto: REUTERS/Erik De Castro)
ADVERTISEMENT
Hun Sen telah 33 Tahun memimpin Kamboja, salah satu perdana menteri terlama di dunia. Dan sepertinya pria 65 tahun ini belum bosan berada di tampuk pimpinan, masih betah berkuasa walau harus bertahan dengan tangan besi.
ADVERTISEMENT
Partai Hun Sen, Partai Rakyat Kamboja (CPP), menang telak dalam pemilu Minggu (30/7). Kemenangan CPP sudah hampir pasti. Pasalnya tidak ada rival yang berarti setelah Hun Sen membubarkan partai koalisi utama Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) tahun lalu. Hasilnya, CPP mendapat 100 dari 125 kursi parlemen.
Hun Sen dipuji lantaran membantu peningkatan perekonomian Kamboja dan menjadikan negara itu produsen garmen utama dunia. Namun dia juga dikecam karena memimpin dengan intimidasi, pemenjaraan, dan penyiksaan lawan politik selama lebih dari tiga dekade.
Lahir dari keluarga petani pada 1952, Hun Sen dididik oleh para biksu Buddha di Phnom Penh. Karier politiknya bermula pada 1960-an ketika dia bergabung dengan Partai Komunis.
Hun Sen menjadi komandan tempur Khmer Merah dalam perang melawan rezim Pol Pot pada 1970-an. Pada pertempuran April 1975, Hun Sen kehilangan mata kirinya pada sebuah baku tembak.
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengikuti pemilu keenam sejak negaranya merdeka dari perang. (Foto: AFP PHOTO / Manan Vatsyayana)
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengikuti pemilu keenam sejak negaranya merdeka dari perang. (Foto: AFP PHOTO / Manan Vatsyayana)
Pada 1977, Hun Sen membelot dari Khmer Merah dan bergabung dengan pasukan Vietnam untuk menggulingkan pemerintahan Kamboja. Pada pemerintahan yang baru, karier Hun Sen moncer. Berawal dari posisi Menteri Luar Negeri, dia ditunjuk jadi Perdana Menteri di pemerintahan Kamboja yang pro-Vietnam pada 1985. Usianya kala itu baru 33 tahun.
ADVERTISEMENT
Sifat diktator Hun Sen lantas mulai terlihat. CPP selalu menang pemilu kecuali pada 1993 karena kalah dari Partai Funcinpec pimpinan Pangeran Norodom Ranariddh. Hun Sen menolak mengakui hasil pemilu itu dan mendeklarasikan diri menjadi Perdana Menteri kedua bersama dengan Ranariddh.
Pada 1997, Hun Sen melakukan kudeta berdarah yang berhasil menggulingkan Ranariddh dan mengusirnya keluar negeri. Sedikitnya 40 orang tewas dalam pertempuran kedua kubu.
Sejak saat itu, CPP terus memenangkan pemilu lima tahunan di Kamboja. Namun pada pemilu 2013, kekuasaan Hun Sen sempat goyang dengan kehadiran Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), gabungan dua partai oposisi, pimpinan Sam Rainsy yang tinggal dalam pelarian di Prancis.
Rainsy diizinkan kembali ke Kamboja atas desakan Amerika Serikat. Untuk pertama kalinya, CPP tidak menang telak pada pemilu. CPP mendapat 68 suara, sementara CNRP 55 suara.
Perdana Mentri Kamboja Hun Sen  (Foto: REUTERS/Erik De Castro)
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Mentri Kamboja Hun Sen (Foto: REUTERS/Erik De Castro)
CNRP mengatakan pemilu itu telah dicurangi. Protes panjang selama setahun dilakukan kubu oposisi di Kamboja, termasuk aksi duduk ribuan orang di taman Phnom Penh. Ini adalah protes terbesar yang mempermalukan kepemimpinan Hun Sen selama tiga dekade.
ADVERTISEMENT
Hun Sen lantas membuat kesepakatan dengan Rainsy, namun gagal. Rainsy kembali kabur ke luar negeri. Pada 2016, pemberangusan oposisi berlangsung sporadis, terutama jelang pemilu 2017.
Pada September 2017, Kem Sokha, pemimpin baru CNRP ditangkap atas tuduhan pengkhianatan. Rezim Hun Sen menuding Sokha membawa agenda asing untuk menggulingkan pemerintah Kamboja. Dua bulan kemudian, Mahkamah Agung membubarkan CNRP, menjadikan CPP partai terkuat di Kamboja.
Memimpin dengan Tangan Besi
Kepemimpinan Hun Sen menuai kritikan karena dianggap tidak demokratis dan otoriter. Pada 2015 lalu, di 30 tahun kepemimpinan Hun Sen, lembaga HAM Human Right Watch (HRW) merilis laporan soal demokrasi di Kamboja yang sarat kekerasan dan intimidasi.
Rezim Hun Sen, tulis HRW, bertahan dengan melakukan pembunuhan, penyiksaan, penahanan, pengadilan yang tidak adil, penyensoran media, pelarangan perkumpulan, dan intimidasi rakyat.
ADVERTISEMENT
"Hun Sen memimpin dengan kekerasan dan ketakutan," tulis HRW.
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (Foto: REUTERS/Samrang Pring)
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (Foto: REUTERS/Samrang Pring)
Menurut data HRW, selama Hun Sen memimpin, ada ratusan tokoh oposisi, jurnalis, pengusaha, dan warga lainnya yang dibunuh dalam kasus-kasus bermotifkan politik. Penyelidikan soal kasus-kasus ini tidak pernah rampung dan pembunuhnya tak pernah diadili, kata HRW.
Hun Sen juga terang-terangan mengatakan akan memerangi oposisi. Ada beberapa contoh, pada 18 Juni 2005 misalnya, Hun Sen mengatakan para lawan politiknya adalah "pemberontak" dan "mereka harus mempersiapkan peti mati dan menyampaikan wasiatnya kepada istri mereka".
Pada pidato 5 Agustus 2009, dia memperingatkan rakyat untuk tidak menyebut kepemimpinannya "diktator". Pada 20 Januari 2011, Hun Sen menanggapi perkataan oposisi bahwa dia harus khawatir jika "Arab Spring" - revolusi yang menggulingkan para pemimpin Arab - juga akan dicontoh di Kamboja.
ADVERTISEMENT
Hun Sen ketika itu mengatakan: "Saya tidak hanya akan melemahkan oposisi, saya akan membuat mereka mati. Dan jika ada orang yang cukup kuat menggelar demonstrasi, saya akan memukuli semua anjing itu dan memasukkan mereka ke kandang."