Prostitusi Rumahan Dianggap Tak Menyimpang, Warisan Turun Temurun

23 Agustus 2018 12:47 WIB
comment
32
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prostitusi di rumah sendiri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prostitusi di rumah sendiri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sejumlah desa di daerah Subang, Jawa Barat, menjadi sorotan karena adanya bisnis prostitusi rumahan. Prostitusi di sana berbeda dengan yang biasanya ditemukan di lokalisasi atau di tempat-tempat hiburan malam.
ADVERTISEMENT
Bila dilihat sekilas, di desa itu tidak terlihat tanda-tanda adanya prostitusi. Rumah-rumah warga tampak biasa dan kegiatan warga di sana juga sama seperti desa-desa lainnya, bertani dan ada yang membuka usaha warung kelontong.
Namun bila ditelisik lebih dalam, di beberapa rumah warga itu ada tawar menawar dan transaksi yang dilakukan oleh penyedia dan pengguna jasa prostitusi. Hubungan intim dilakukan di rumah sendiri, atau di rumah warga lain yang berstatus sebagai muncikari
“Kalau muncikarinya nempatin di rumahnya ya di rumah. Kadang diajak ke rumah yang lain,” kata Yayah, salah satu PSK di desa itu saat berbincang dengan kumparan, Kamis (16/8).
Prostitusi di rumah sendiri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prostitusi di rumah sendiri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Fenomena prostitusi rumahan ini sudah dianggap biasa oleh warga di desa tersebut. Sebab kegiatan itu sudah ada sejak lama dan ‘diwariskan’ secara turun temurun. Alasannya tak lain adalah karena uang.
ADVERTISEMENT
“Udah lama banget itu (prostitusi rumahan) dari 1976 sampai hari ini masih ada di desa kami,” kata salah satu warga Subang, Pahlan saat ditemui di acara penyuluhan.
Sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida menilai apa yang terjadi di desa tersebut karena adanya perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang dipahami, sehingga warga di sana menilai prostitusi rumahan sebagai hal yang lumrah.
“Kalau di konteks masyarakat lainnya sebagai penyimpangan, bagi masyarakat tertentu dianggap sebagai pekerjaan saja,” jelasnya saat ditemui kumparan, Selasa (21/8).
Pekerjaan itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan rumah tangga. Supaya kebutuhan hidup terpenuhi maka istri, atau anak perempuan pun bekerja sebagai PSK.
“Praktik prostitusi itu dikembangkan di rumah, dan seolah-olah bagian dari strategi rumah tangga untuk kebutuhan ekonomi keluarga,” kata Ida.
ADVERTISEMENT
Menurut Ida yang pernah melakukan penelitian soal ini di sebuah desa di Subang, melihat bahwa prostitusi bukan hanya soal kemewahan dan kekayaan untuk diri sendiri, tetapi untuk memenuhi kebutuhan hidup satu keluarga demi kepentingan bersama.
Soal penyakit HIV/AIDS yang mengintai, menurut Ida, para pelaku itu tidak memikirkan hal itu. Mereka hanya memikirkan kelangsungan hidup hari ini. Tidak terlalu banyak memikirkan untuk keesokan hari. Bahkan penyakit seks yang akhirnya menimpa mereka, hanya dianggap nasib yang kurang beruntung.
“Mereka yang bekerja di industri seks itu sebenarnya menganggap (penyakit), ya takdir aja,” kata Ida.
Pemerintah dan negara diminta untuk mengambil peran memperbaiki pola pikir dan kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit kelamin ini. Meskipun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Seluruh usaha melawan prostitusi, tak hanya bertujuan untuk perempuan semata, tapi juga menyelamatkan generasi atau kelompok yang rentan.
ADVERTISEMENT
“Memotong rantai industri seks itu bukan suatu hal yang mudah karena melibatkan banyak pihak. Tapi menurut saya negara bisa bekerja sama dengan kelompok-kelompok strategis,” ujar Ida.
Simak selengkapnya dalam konten spesial Prostitusi di Rumah Sendiri dengan follow topik Kampung Prostitusi