Refly Harun: Banyak Partai Politik Masih One Man Show

15 Februari 2018 18:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sejak tumbangnya rezim otoriter Soeharto pada 1998, Indonesia memasuki era demokrasi. Upaya demokratisasi di daerah-daerah pun bergulir seiring kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah. Masyarakat dapat memilih langsung pemimpinnya melalui pilkada.
ADVERTISEMENT
Namun hingga saat ini, proses demokratisasi di daerah masih terbentur dinasti politik. Partai politik kerap dianggap belum mampu melakukan kaderisasi secara demokratis. Maka ‘raja-raja’ kecil di daerah pun tumbuh.
Selain tak demokratis, dinasti politik juga dianggap berpotensi besar terjebak dalam tindak pidana korupsi.
Refly Harun, ahli hukum tata negara sekaligus pengamat politik Indonesia, berbincang dengan kumparan di kantornya, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (6/2), soal politik dinasti di Indonesia.
Gurita Dinasti Politik di Daerah. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Bagaimana kedudukan hukum dinasti politik di Indonesia?
Kalau dari segi hukum, kita bicara apakah dinasti politik itu diperbolehkan atau tidak. Kita tahu bahwa UU 10 Tahun 2016 pernah melarang dinasti politik walaupun bahasanya tentu bukan ‘dinasti politik’, tapi melarang mereka (calon pemimpin daerah) yang punya konflik kepentingan. Conflict of interest dengan petahana.
ADVERTISEMENT
Tetapi ketentuan itu kemudian di-challenge di Mahkamah Kontitusi dan kemudian dikabulkan. Sehingga larangan dinasti politik secara tidak langsung dihilangkan atau ditiadakan.
Sejak saat itu, kemudian mereka yang memiliki hubungan darah, perkawinan, baik itu anak, saudara, bahkan istri sendiri, tetap bisa maju dalam pilkada. Kalau kita simpulkan dari sisi hukum, tidak ada larangan dinasti politik.
Alasan MK mengabulkan uji materi karena dinilai mengamputasi hak politik seseorang. Tanggapan Anda?
Saya setuju. Kenapa? Ada beberapa kodrat kemanusiaan yang tidak bisa kita hindari, yaitu kita lahir dari siapa. Kemudian mungkin kita terikat karena perkawinan dengan siapa dan lain sebagainya. Sehingga kalau melarang anak, ayah, istri, atau saudara untuk maju dalam pilkada hanya karena terikat hubungan darah atau perkawinan, maka hal tersebut menjadi tidak fair.
ADVERTISEMENT
Tentu saya tidak bisa menolak lahir dari ibu siapa atau ayah siapa. Sehingga putusan MK itu saya menyetujuinya, karena harus berlaku prinsip equality before the law--setiap warga negara bersamaan kedudukannya dengan hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali.
Tetapi persoalannya bukan di sana. Persoalannya adalah apakah kemudian petahana tersebut dicalonkan dalam sebuah proses nominasi yang benar atau tidak. Itu satu. Yang kedua, apakah yang bersangkutan punya kualifikasi, punya pengalaman untuk memimpin daerah. Itu paling tidak dua alasan yang harus digarisbawahi.
Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara (Foto: Tommy Wahyu Utomo/kumparan)
Apakah dinasti politik di Indonesia sudah fair?
Ini yang menjadi persoalan. Kalau kita kaitkan dengan incumbent, masalah itu bisa bertambah-tambah. Incumbent itu rata-rata muncul karena memang kebetulan saudaranya, ayahnya, ibunya, menjadi kepala daerah. Sehingga, untuk melanggengkan dinasti kekuasaan tersebut, kadang-kadang petahana sengaja mendorong putranya, anaknya, bahkan istrinya, untuk menjadi calon.
ADVERTISEMENT
Kalau dari perspektif negatif bisa juga karena dia ingin melindungi apa yang sudah dilakukan orang tuanya. Tapi kalau dalam perspektif positif, bisa saja ingin meneruskan apa yang sudah dibangun dan dirintis orang tuanya.
Apakah pencalonan kepala daerah sudah demokratis?
Secara umum persoalan berat atau mendasar dalam nominasi pilkada di Indonesia itu adalah, sering nominasi dilakukan dengan cara tidak demokratis. Pertama, oligarki partai terlalu besar bahkan kadang-kadang cenderung one man show. Coba kita lihat partai mana yang kemudian tidak one man show. Hampir semua partai politik itu calon-calon (kepala daerah) hanya ditentukan oleh satu orang.
Kita lihat partai-partai besar. Ada PDIP dengan Megawati-nya, Demokrat dengan SBY-nya, NasDem dengan Surya Paloh-nya, dan Gerindra dengan Prabowo-nya. Jadi rata-rata hanya one man show. Sehingga tidak ada proses demokratisasi.
ADVERTISEMENT
Begitu tidak ada proses demokratisasi, sesungguhnya tidak ada saringan yang cukup, yang kuat, untuk kemudian merekrut calon-calon pemimpin di daerah.
Prosesnya tidak demokratis juga, bahkan kadang-kadang cenderung dipaksakan. Saya tidak bisa mengatakan misalnya Agus Harimurti di Pilkada DKI Jakarta kemarin adalah sebuah proses yang baik. Menurut saya, itu proses yang buruk dalam proses pencalonan kepala daerah.
Tetapi tentu SBY memiliki perhitungan sendiri, yaitu bagaimana investasi jangka panjang dan launching untuk yang bersangkutan (Agus) masuk ke gelanggang politik. Dan memang berhasil. Tapi menurut saya itu contoh buruk bagi proses demokratisasi di partai politik.
Politik Dinasti di Tubuh Partai (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Dinasti politik cerminan kurangnya kaderisasi parpol?
Masalahnya bukan dinasti politiknya. Masalahnya di kelakukan elite partai politik, terutama ketua umum yang punya vested interest begitu besar. Sehingga dalam proses pencalonan pilkada, mereka tidak menghitung kapasitas dan akseptabilitas. Yang dia hitung adalah, misalnya, sejauh mana orang ini sekadar populer dan kemudian yang paling penting juga adalah bagaimana financial resources-nya.
ADVERTISEMENT
Jadi yang dicalonkan itu bukan orang yang punya elektabilitas saja, tapi mereka yang mau membayar untuk itu. Itu yang kita sebut dengan mahar politik. Karena banyak sekali orang yang berkualitas akhirnya tidak dapat ‘perahu’.
Ini menunjukkan bahwa kaderisasi di partai politik, kepentingan elite-elite partai politik, tidak melihat bahwa pencalonan itu menjadi sebuah ajang yang demokratis. Tapi hanya melihat bahwa pencalonan itu barangkali ajang mencari calon dengan biaya murah.
Dinasti politik kerap dianggap tidak demokratis, bagaimana menurut Anda?
Kalau kita bicara tentang dinasti politik, hanya ada tiga dinasti politik yang kuat di republik ini: dinasti politik Banten, dinasti politik Sulawesi Selatan, dan dinasti politik Kalimantan Tengah.
Tapi sekali lagi, proses demokratisasi di Indonesia itu hulunya bukan di sana. Hulunya adalah bahwa partai politik kita belum bisa berdemokrasi. Masih one man show, mengandalkan satu figur sentral. Dan kalau figur sentralnya tidak ada, maka partai itu pecah, kemudian akhirnya menjadi partai yang tidak signifikan.
ADVERTISEMENT
Selama demokratisasi di partai tidak berjalan dengan baik, maka hilirnya--kepala-kepala daerah yang terpilih--bukanlah dari proses yang demokratis. Tapi mungkin dari proses menyuap, membeli tanda tangan ketua umum partai dan sekjen, atau dari proses dinasti politik tadi--comot begitu saja, dan kemudian meyakinkan partai, meyakinkan ketua umum partai yang bersangkutan untuk mencalonkan si adik atau si anak.
Dan tentu tidak ada ‘makan siang’ yang gratis dalam politik ketika kita menominasikan orang yang sesungguhnya tidak jelas tingkat elektabilitasnya, tidak jelas bagaimana track record sebelumnya, tapi yang orang tahu adalah yang bersangkutan misalnya anak dari incumbent.
Ragam Bentuk Dinasti Politik (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Apa benar dinasti politik rawan korupsi?
Saya melihat penyebab korupsi yang utama adalah biaya politik tinggi. Akar persoalannya salah satunya pencalonan. Jadi begitu mahalnya kursi sehingga kursi itu dijual kepada mereka yang membutuhkan untuk nominasi, yakni syarat 20 persen suara atau 15 persen kursi.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, hampir tidak ada pilkada yang tidak ada mahar politiknya. Sekali lagi, kalau kita bicara tentang korupsi, maka dinasti politik tentu menjadi salah satu variabel. Tetapi variabel yang kecil sekali, yang barangkali agak sulit kita membuktikan.
Tetapi tingginya ongkos politik itu kita bisa pastikan, bisa lihat, sebagai salah satu faktor determinan yang menyebabkan kepala-kepala daerah jatuh ke lembah korupsi. Sementara kita tahu calon-calon di pilkada itu untuk membeli 'perahu' saja bisa mengeluarkan sampai belasan atau puluhan miliar.
Jadi bisa dibayangkan kalau mereka kemudian menjabat, hanya dua saja kemungkinannya. Satu, orang yang ikhlas hidupnya--rugi tidak apa-apa. Atau orang yang memang dari awal sangat populer dan betul-betul didukung oleh masyarakat ketika dia terpilih.
ADVERTISEMENT
Dua, mereka yang sudah punya niat untuk korupsi. Ingat, korupsi itu tidak hanya merugikan keuangan negara. Suap dan gratifikasi adalah bagian dari korupsi juga, yang dikategorikan korupsi. Dan kita tahu bahwa pendapatan-pendapatan kepala daerah yang terbesar itu ya asalnya dari dua hal saja: kalau enggak suap, berarti di pengadaan barang dan jasa. Lebih spesifik proyek-proyek pemerintah di pengadaan barang dan jasa selain di perizinan atau pemberian konsesi.
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.