Ilustrasi keluarga retak karena Pilpres

Retak Keluarga karena Pilpres

13 Juni 2019 8:59 WIB
secaraIlustrasi keluarga retak karena Pilpres Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
secaraIlustrasi keluarga retak karena Pilpres Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Suempriadi tak bisa menahan emosi ketika Kholifatun Nikmah terus-menerus mengelukan calon presiden jagoannya. Kekesalan pria yang akrab disapa Jefri itu kepada sang istri memuncak. Meski sudah 15 tahun berumah tangga, situasi menjadi tak mudah ketika obrolan keduanya masuk ke tema Pemilihan Presiden 2019.
ADVERTISEMENT
Jefri dan Iva—sapaan Kholifatun—punya pilihan berbeda. Bila keduanya sama-sama ngotot, muncullah pertengkaran-pertengkaran seperti yang terjadi beberapa bulan lalu itu. Sekadar tayangan televisi yang menonjolkan keunggulan salah satu capres saja bahkan bisa menjadi pemantik.
“Jadi kita pernah debat keras sampai yang….apa ya...susah dijelasin,” kata Iva kepada kumparan, Rabu (12/6).
Kholifatun Nikmah (kiri) dan Suempriadi (kanan) saat ditemui di kediamannya. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Panasnya pembahasan juga merembet ke grup percakapan aplikasi pesan instan keluarga besar mereka. Di sana ada pendukung kedua kubu yang berlaga di Pilpres 2019. Masing-masing berusaha mempengaruhi yang lain dengan membagikan tautan berita untuk menunjukan keunggulan jagoannya.
Tak jarang ada yang terpancing karena calon yang didukungnya disudutkan. Kalau sudah begitu, menurut Jefri, suasana bakal memanas. Beruntung ada anggota keluarga yang berusaha mengendalikan keadaan.
ADVERTISEMENT
“Ada dari keluarga kita yang secara personal, tiba-tiba japri, udeh, jangan diteruskan,” Jefri berujar.
Konten Spesial: Retak Keluarga Karena Pilpres. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Ia bahkan memutuskan keluar dari grup. Ia beralasan tak mau emosinya terpancing. Saat itu, hanya beberapa jam setelah pencoblosan suara. Grup keluarga ramai berdebat sengit soal hasil hitung cepat Pilpres 2019. Baru setelah ketegangan mereda, Jefri kembali meminta dimasukan ke grup itu.
Tak sedikit ketegangan keluarga akibat beda pilihan politik di Pilpres 2019. Fenomena itu kembali muncul ke permukaan ketika sebuah akun Twitter sempat ramai menjadi perbincangan beberapa waktu lalu. Seorang anak curhat melaui cuitannya soal perubahan sikap kedua orang tuanya akibat terpengaruh propaganda politisi terkait Pilpres 2019.
Ada pula pengalaman Alif Ramadhan, yang berbeda pilihan dengan orang tuanya. Ia sempat merasa digiring untuk memilih salah satu calon yang tak sesuai hatinya. Lama kelamaan, ia gerah juga.
ADVERTISEMENT
Adu argumen dengan orang tua pun tak terhindarkan, meski akhirnya Alif memutuskan untuk tak memperpanjang perdebatan. Komunikasi Alif dengan orang tuanya memang tak terganggu. Namun ia merasakan suasana rumah yang berbeda. Ia bahkan sering disindir karena pilihannya.
“Kok suasana di rumah jadi bau politik banget,” katanya. Sambil setengah berkelakar, ia menambahkan, “Saya ngerasa pas pulang ke rumah, aduh ini jadi kenapa main ke rumah oposisi”.
Hamdi Muluk, Pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, menilai terbelahnya masyarakat hingga level keluarga didorong sentimen agama yang berkembang dalam politik hari ini. Sentimen yang membangkitkan sisi emosional semacam ini sanggup masuk ke setiap lapisan masyarakat.
Hamdi Muluk. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
“Agama, emosi kan enggak kenal batas, dia akan merembet ke kantor, ke individu, merembet ke bapak-bapak, merembet ke ibu-ibu, semua kena,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ia menunjuk hidung para politisi sebagai biang masalah ini. Baginya kedua kubu yang berkontestasi di Pilpres 2019 sama-sama melakukannya. Bila ditarik ke belakang, menurut Hamdi, kecenderungan penggunaan sentimen agama sudah muncul di Pilpres 2014. Saat itu, narasi keagamaan mulai muncul.
“Ini pangkal balanya sebenarnya. Ini yang memang merusak politik,” ucap Hamdi.
Sentimen dan politik identitas, dalam pandangannya, tak lepas dari ketiadaan basis ideologi jelas dalam polarisasi dua kekuatan politik di Pilpres. Alhasil, masyarakat sulit diarahkan kepada dukungan berbasis program tiap kandidat.
Pendukung calon presiden Prabowo Subianto. Foto: AFP/Juni Kriswanto
Yang kemudian muncul, lanjut Hamdi, pengubuan politik lebih berdasarkan figur belaka. Masalah itu bermuara kepada belum munculnya kedewasaan berpolitik masyarakat. Hamdi menambahkan, bila dibungkus sentimen identitas, daya rusak perbedaan pilihan politik bisa masuk hingga ke keluarga sebagai unit terkecil masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ia menyayangkan para politisi yang justru terus memanaskan tensi politik. “Elit juga kompor, bukannya menyejukkan malah ikut manas-manasin. Jadilah ketegangan ini enggak selesai-selesai,” tudingnya. Pada gilirannya masyarakat yang menjadi korban.
Hamdi menyayangkan retaknya hubungan keluarga sekadar karena urusan Pilpres yang temporer. Baginya, keluarga terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi suksesi politik.
“Kontestasi politik biasa, lima tahunan, sesuatu yang musiman sifatnya. Persahabatan, kekeluargaan itu lebih langgeng dan abadi. Kepentingannya jangka panjang jangan dikorbankan,” ia berpesan.
Sementara itu, Psikolog Keluarga Roslina Verauli berpendapat ada nilai yang dianut seseorang dalam setiap sikap politik. Suatu keluarga cenderung minim konflik ketika nilai yang dianut anggotanya punya kesamaan satu sama lain.
Masalah akan muncul bila nilai-nilai yang berbeda—bahkan bertentangan—ditampilkan secara demonstratif.
Roslina Verauli, M. Psi., Psi, Foto: Winda Dwiastuti/kumparan
“Ini jadi rentan konflik, bisa bikin orang jadi berantem, bisa musuhan, bisa mamanya enggak masakin selama seminggu, papanya enggak pulang, anaknya bisa keluar dari WhatsApp family, left group,” katanya mencontohkan.
ADVERTISEMENT
Ia mengingatkan agar setiap keluarga menekankan pada platform yang menjadi alasan kebersamaan. Menurutnya mengangkat persamaan lebih penting daripada mencuatkan perbedaan.
Semangat itu pula yang disadari Iva dan Jefri di sela perseteruan dukung mendukung capres di antara mereka. Pada akhirnya, pilihan tetap ditinggal di bilik suara, dan perbedaan politik jangan sampai membuat keluarga terberai lebih jauh.
“Kita sebenarnya intinya baik-baik saja. Orang kita masih tidur sekamar, masak kita beda mau pisah kamar?” katanya berseloroh.
Kemesraan Kholifatun Nikmah (kiri) dan suaminya, Suempriadi (kanan) Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Simak story selengkapnya dalam Konten Spesial dengan topik Retak Keluarga karena Pilpres.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten