Reza Indragiri: Pengeroyokan itu Titik Ekstrem Bullying

28 Februari 2019 10:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Insiden kekerasan kembali terjadi di lingkungan pesantren. Kali ini korbannya Robby Alhalim, santri Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Padang Panjang, Sumatra Barat. Remaja 18 tahun yang dikenal murah senyum itu mengembuskan napas terakhirnya, Senin (18/2) dini hari di RSUP M Djamil.
ADVERTISEMENT
“Sampai di rumah sakit, sudah terpasang semua alat. Enggak ada luka, cuma lebam-lebam. Diagnosa dokter pendarahan dan paru-paru bocor,” kenang Ikhsan, kakak korban saat menceritakan kronologis kematian sang adik.
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto, Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Robby dikeroyok 17 teman satu angkatannya, karena dituduh kerap mencuri uang dan barang-barang. Setelah tiga malam mengalami kekerasan, Robby tak sadarkan diri. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit. Namun sayang, nyawa bungsu dari empat bersaudara itu tak tertolong.
Selain kasus Robby, ternyata ada sederet kasus pengeroyokan dan penganiayaan yang terjadi di pondok pesantren selama lima tahun terakhir. Peristiwa tersebut sebagian besar dilatarbelakangi dugaan pencurian dan cek-cok. Pelaku dan korban merupakan teman satu angkatan bahkan satu asrama di pondok pesantren.
Deretan kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan berlatar agama, lantas memunculkan sejumlah pertanyaan. Untuk menjawabnya, kumparan berbincang dengan Reza Indragiri Amriel, seorang Master Psikologi Forensik. Pria kelahiran Jakarta 44 tahun lalu itu meraih gelar masternya dari University of Melbourne. Selain aktif sebagai akademisi, Reza juga aktif menjadi pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia. Berikut petikan wawancara dengan Reza Indragiri:
ADVERTISEMENT
Kenapa insiden kekerasan masih bisa terjadi di pesantren yang pengawasannya cenderung ketat?
Reza Indragiri, psikolog forensik. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dalam banyak kasus bullying, ini (pengeroyokan) kan bully yang mencapai titik ekstrem ya, yang mencapai titik fatal. Dalam kasus bullying memang korban acapkali merasa tidak menemukan tempat untuk mengadu, tidak menemukan orang atau figur yang diyakini bisa memberikan pertolongan, apalagi kalau kita bayangkan di satu sekolah itu jumlah siswanya itu ada ribuan, dengan berbagai macam agenda pendidikan yang sangat-sangat padat.
Artinya ada kesulitan pengelola pesantren mengawasi santrinya?
Barangkali. Tidak mudah bagi sekolah untuk menaruh perhatian terhadap hal-hal yang dalam tanda petik jumlahnya tidak banyak itu. Pengeroyokan sangat serius, kita prihatin. Tapi boleh jadi kasusnya tidak terlalu banyak. Sementara sekali lagi, ada isu-isu pendidikan, ada agenda-agenda pekerjaan yang boleh jadi menyita waktu, menyita energi dari pengelola sekolah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kalau itu benar merupakan gambaran di lapangan, maka tanda petik sekali lagi, wajar, masuk akal kalau kemudian ada korban bullying yang sampai berkali-kali di-viktimisasi, tapi tak kunjung berhasil menyelamatkan diri sendiri atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia di sekolah untuk menolong dirinya.
Apakah ada pola atau karakteristik yang khas dalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi di pondok pesantren?
Saya hingga saat ini belum menemukan adanya penjelasan tentang sebuah pola kekerasan yang khusus yang menjadi ciri khas di lembaga pendidikan berlatar agama semisal pesantren. Saya belum pernah menemukan itu, sekali lagi saya masih meragukan apakah ini sungguh-sungguh para siswa tersebut memang ingin menghabisi korban.
Ada 8 kasus kekerasaan yang berujung kematian di pesantren dalam lima tahun terakhir. Empat di antaranya kasus pengeroyokan santri yang dilatarbelakangi tuduhan pencurian. Kenapa tindakan main hakim sendiri terjadi?
ADVERTISEMENT
Kalau bertindak main hakim sendiri adalah vigilantisme. Vigilantisme biasanya didalihkan sebagai cara untuk menciptakan ketertiban, memastikan adanya penegakan aturan, memastikan adanya kepastian hukum. Tapi justru dengan cara-cara yang melanggar hukum atau melanggar nilai ketertiban itu sendiri. Maka sekali lagi, terjadilah vigilantisme.
Pertanyaan induknya adalah apakah para siswa itu sejak awal berniat untuk menghabisi siswa tersebut, menghabisi korban. Tetap sulit bagi saya membayangkan ada siswa yang dari rumah punya niatan kemudian berkonsolidasi sedemikian rupa dengan teman-temannya untuk menghabisi nyawa orang lain itu. Sampai saat ini saya belum cukup teryakinkan tentang itu.
Barangkali siswa-siswa pengeroyok tersebut tidak punya sungguh-sungguh niatan menghabisi temannya. Namun tindakan penganiayaan mereka kebablasan, barangkali juga korban tidak dalam kondisi yang fit sehingga mudah mengalami cedera parah ketika mendapatkan perlakuan sedemikian rupa, ujung-ujungnya adalah korban meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Lalu faktor apa yang mendorong kekerasan di kalangan santri?
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto/kumparan
Perilaku spontan iya, tipikal anak muda, vivere pericoloso, menyerempet-nyerempet bahaya itu satu. Yang kedua, tambah lagi ada kehadiran teman-teman sebaya, yang ketiga kita kombinasikan semua ini supervisi atau pengawasan dari pihak sekolah yang barangkali minim, lengkap sudah. Sekolah boleh jadi merupakan tempat yang ideal bagi berlangsungnya aksi-aksi kekerasan kalau situasinya seperti yang saya ceritakan barusan.
Aturan yang terlalu ketat di pesantren apakah juga punya potensi mendorong kekerasan di kalangan santri?
Dalam psikologi ada yang namanya teori kompensasi. Bahwa ketidakmampuan saya untuk mencapai sesuatu di satu sisi akan saya coba kompensasikan di lain sisi. Misalnya, anak yang terkekang luar biasa akan mencoba mencari kebebasan, mencari kemerdekaannya dengan cara-cara yang di luar ketentuan.
ADVERTISEMENT
Itu masuk akal, bahwa regulasi yang terlalu ketat, pengendalian yang terlalu ketat yang mengabaikan sisi insani para siswa hingga derajat tertentu boleh jadi akan produktif. Tapi melewati derajat tersebut boleh jadi akan kontraproduktif karena anak banyak kebutuhannya, kebutuhan untuk merasa jadi seorang pribadi, kebutuhan untuk eksistensi diri, kebutuhan untuk memerdekakan diri, kebutuhan untuk mencari sesuatu yang berbeda yang boleh jadi bertentangan dengan ketentuan yang ada di sekolah.
Apa bisa disimpulkan kekerasan sangat rentan terjadi pada lembaga pendidikan berbasis asrama?
Semakin lingkungan itu tertutup, segala bentuk penyimpangan akan tidak terpantau. Fungsi-fungsi watch dog, pengawasan dari masyarakat, dari otoritas terkait, dari orang tua tidak akan bisa menembus itu. Kalau kemudian lingkungan sekolah dibikin seperti benteng padat, tertutup.
ADVERTISEMENT
Karena itu kan kita selalu diingatkan bahwa bicara tentang dunia pendidikan anak, ada beberapa stake holder, siswa, sekolah, orang tua dan masyarakat. Artinya apa? ya memang harus dibikin terbuka dan komunikasi itu harus dibangun termasuk sekali lagi fungsi-fungsi watch dog, pengawasan ke pihak sekolah.
Langkah apa yang perlu dilakukan agar peristiwa serupa tidak terulang?
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto/kumparan
Menurut saya yang paling utama adalah dikunci dalam sistem. Berarti sistem akreditasi, sistem penilaian mutu. Karena ini borang yang khusus bicara tentang keamanan dan segala macam, maka boleh jadi untuk borang ini yang mengakses itu aksesornya itu dari pihak kepolisian, bukan dari diknas, bukan dari dikti. Apa yang diakses? sekali lagi kesiapan dan kemampuan sekolah menciptakan lingkungannya nirkekerasan.
ADVERTISEMENT
Simak cerita selengkapnya di topik Maut di Pondok Santri.