Ribuan Anak di Aceh Terpapar Gizi Buruk

12 Maret 2019 19:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pianto Syahputra Laia, bayi yang menderita gizi buruk di Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pianto Syahputra Laia, bayi yang menderita gizi buruk di Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Angka penderita gizi buruk di Aceh masih memprihatinkan. Selain disebabkan faktor kebutuhan nutrisi anak yang tidak terpenuhi, edukasi orang tua dalam menyajikan makanan bagi bayi dan balita juga menjadi penyebab tingginya kasus gizi buruk terhadap anak di Aceh.
ADVERTISEMENT
Dari hasil data yang terekam dalam sistem milik Dinas Kesehatan Aceh yang diisi oleh Tenaga Gizi Puskesmas Kabupaten/kota se-Aceh, berdasar anak yang diukur hingga usia 5 tahun, terpapar data. Jumlah bayi penderita gizi buruk sejak beberapa tahun terakhir hingga 26 Februari 2019 tercatat sebanyak 3.125 anak.
Gizi buruk yang dimaksud ialah berat badan anak berdasarkan umur atau disebut penyakit global acute malnutrition. Penyakit ini bisa diintervensi dengan pemberian makanan baik itu pokok, atau makanan tambahan sesuai kalori yang dibutuhkan.
Kabid Kesehatan Masyarakat Dinkes Aceh, dr Evi Safrida, mengatakan perhitungan jumlah angka kasus gizi buruk di Aceh itu, merujuk pada indikator berat badan per umur. Sementara jika menggunakan indikator berat badan per tinggi badan, jumlah kasusnya lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
“Jika melihat jumlah angka menggunakan indikator berat badan per tinggi badan, itu jumlahnya lebih tinggi lagi. Dari jumlah kasus 3 ribuan itu, juga teridentifikasi sebanyak 12.000 anak balita yang masuk dalam kategori gizi kurang,” kata Evi Safrida saat ditemui kumparan, Selasa (12/2).
Pianto Syahputra Laia, bayi yang menderita gizi buruk di Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Evi melihat ada tiga fenomena yang terjadi di tengah mayarakat hingga menyebabkan tingginya kasus gizi buruk di Aceh. Pertama berhubungan dengan pola asuh. Anak pada saat lahir hingga usia enam bulan sejatinya harus diberikan ASI eksklusif.
Namun demikian, Evi mengaku, masih terdapat kebiasaan masyarakat memberikan makanan terlalu dini sehingga porsi untuk pemberian ASI-nya sendiri tidak mencukupi.
“Pola asuh ini sangat berkaitan dengan edukasi (pengetahuan orang tua). Sehingga hal inilah yang kita dorong terhadap keluarga dan semua masyarakat bahwa pemberian ASI eksklusif tanpa makanan pendamping lainnya itu menjadi isu yang strategis,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian fenomena kedua, disebabkan faktor kesehatan lingkungan di sekitar tempat tinggal. Gizi buruk juga bisa disebabkan oleh lingkungan seperti sampah, sanitasi air, jamban tidak sehat dan ketiga, pola pemberian makanan.
“Tiga fenomena inilah yang mempengaruhi tingginya angka kasus gizi buruk. Dan ini yang sedang gencar kita sosialisasi, melakukan pendekatan melalui edukasi di tengah masyarakat,” katanya.
Ribuan angka gizi buruk itu tersebar di seluruh Aceh. Namun dari jumlah angka itu terdapat daerah yang paling dominan yaitu Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie, dan Aceh Tengah.
“Namun data atau jumlah yang kita terima ini belum semuanya terverifikasi secara intens di beberapa kabupaten. Ini hanya baru data sementara. Besok kita akan bergerak ke Aceh Utara didampingi tim dari pusat, kemudian ke Aceh Timur. Untuk Aceh Tengah sudah dilakukan verifikasi. Tapi saya belum bisa mengatakan ini sudah masuk dalam kondisi kritis,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan Salah Satu Faktor Bayi Alami Gizi Buruk
Salah satu yang mempengaruhi masalah gizi buruk adalah faktor kemiskinan karena berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap pangan yang ada. Di sisi lain, daya beli ada, namun pangan tidak tersedia. Sehingga kata Evi, ketersediaan daya pangan juga memberikan kontribusi terhadap tingginya angka masalah gizi buruk
“Masalah kemiskinan juga merupakan hambatan ataupun faktor yang berkontribusi. Dinas Kesehatan sendiri berdasarkan kesepakatan Kementerian Kesehatan, kita menyediakan buffer stock untuk pemberian makanan tambahan. Baik melalui ibu hamil, maupun untuk balita. Anak di atas 24 bulan, baru diberikan makanan pendamping ASI dan stok itu ada,” kata Evi.
“Sosialisasi dan edukasi tetap gencar dilaksanakan. Bahkan, di beberapa puskesmas di Aceh memiliki ambulans yang memiliki jadwal dalam sepekan mereka turun ke desa menjumpai kelompok-kelompok masyarakat untuk memberikan informasi tentang layanan kesehatan,” tambahnya.
ADVERTISEMENT